Abstrak
Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan terjadi semakin gencar. Melalui berbagai cara, aktivis perempuan
berusaha menyadarkan masyarakat mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan.
Salah satunya ditunjukkan dengan munculnya kepekaan pemerintah terhadap
kesetaraan gender. Melalui pusat perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan
gender pada siswa sebagai generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku
teks. Namun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak
dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih
banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan
kutipan karya sastra yang bias gender.
Karya sastra sebagai salah satu media pembelajaran bahasa Indonesia
mempunyai peran yang cukup besar dalam menyampaikan semangat persamaan
gender. Memahami karya sastra menjadi salah satu kompetensi yang harus dicapai
siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, selain kebahasaan. Dalam buku
teks Bahasa Indonesia tersebut, karya sastra menjadi contoh bacaan yang wajib
dibaca siswa.
Diberlakukannya Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia yang sekarang digunakan oleh guru di sekolah,
memberikan kebebasan kepada guru untuk mengajarkan materi Bahasa Indonesia
dengan menyesuaikan pada potensi, sarana, dan prasarana yang dimiliki siswa,
sekolah, dan lingkungan sekitarnya. KTSP memberikan peluang lebih besar
kepada guru untuk memperkenalkan wacana gender kepada siswa. Berbagai
upaya dapat dilakukan, di antaranya adalah dengan pemilihan karya sastra (cerpen
anak) bernuansa kesetaraan gender sebagai bahan ajar merupakan jalan untuk
memperkenalkan wacana gender pada siswa. Dengan demikian, siswa sudah
mengenal wacana gender sejak dini, sehingga di masa yang akan datang, siswa
diharapkan dapat memahami dan menerapkan kesetaraan gender dalam
kehidupannya.
Kata Kunci: KTSP, Wacana Gender, Kreativitas Guru.
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 2 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
Pengantar
Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan terjadi semakin gencar. Melalui berbagai cara, aktivis perempuan
berusaha menyadarkan masyarakat mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan.
Salah satunya ditunjukkan dengan munculnya kepekaan pemerintah terhadap
kesetaraan gender. Melalui pusat perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan
gender pada siswa sebagai generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku
teks.
Pada proyek pengadaan buku teks untuk tingkat dasar tahun 2005, pusat
perbukuan (PUSBUK) menunjukkan beberapa hal yang diinginkan atau
disyaratkan pemerintah, di antaranya adalah pemilihan bacaan (sastra maupun
ilmiah) dan contoh-contoh soal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang secara
sederhana mengangkat kesetaraan gender. Namun dalam kenyataannya, upaya
penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara
maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia
untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra dan contoh-contoh
kalimat yang bias gender
Karya sastra sebagai salah satu media pembelajaran bahasa Indonesia
mempunyai peran yang cukup besar dalam menyampaikan semangat persamaan
gender. Memahami karya sastra menjadi salah satu kompetensi yang harus dicapai
siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, selain kebahasaan. Dalam buku
teks Bahasa Indonesia tersebut, karya sastra menjadi contoh bacaan yang wajib
dibaca siswa. Dengan demikian, karya sastra atau kutipan karya sastra serta
kalimat-kalimat yang terkandung di dalamnya, dapat dijadikan sebagai alat untuk
menyampaikan semangat kesetaraan gender kepada generasi penerus bangsa
melalui jalur formal.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Perubahan yang terjadi pada kurikulum pendidikan di Indonesia selalu
didasari pada alasan perbaikan, menyesuaikan dengan kondisi zaman. Namun
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 3 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
sayangnya, perubahan tersebut justru mengarah pada opini publik yang
menganggap ganti menteri ganti kurikulum. Opini tersebut dapat diterima ketika
perubahan tersebut memang seakan-akan terjadi setiap kali pergantian menteri.
Kondisi tersebut menyebabkan berbagai reaksi masyarakat ketika muncul kabar
diberlakukannya suatu kurikulum baru. Penerbit buku pendidikan jelas
mengambil ancang-ancang untuk melakukan revisi pada buku teks yang
diterbitkannya, guru-guru sibuk mengikuti berbagai seminar yang berkaitan
dengan kurikulum baru tersebut, dan orang tua siswa harus bersiap-siap
menyisihkan dana untuk membeli buku baru yang sesuai dengan kurikulum baru
karena tentu saja siswa tidak dapat menggunakan buku lama, bekas kakak
kelasnya, yang menggunakan kurikulum lama. Dengan kata lain, perubahan
kurikulum tersebut memunculkan dua kubu, yaitu kubu yang diuntungkan dan
kubu yang dirugikan.
Perubahan kurikulum merupakan salah satu persoalan yang menghiasi
sistem pendidikan di Indonesia. Persoalan tersebut hingga kini masih menjadi
pembicaraan para pemerhati pendidikan. Kurikulum terbaru yang kini marak
dibicarakan adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Beragam
reaksi masyarakat bermunculan. Bahkan, masyarakat yang pesimis membuat
plesetan KTSP sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai atau Kurikulum Tingkat
Sengketa Pembelajaran. Jika terus-menerus pesimis, kapan pendidikan di
Indonesia akan maju? Oleh karena itu, perlulah kiranya kita mengkaji lebih dalam
mengenai KTSP agar kita benar-benar memahami esensi kurikulum tersebut.
KTSP menurut Mulyasa (2006: 19-22) adalah kurikulum operasional yang
disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Mulyasa juga
menyebutkan bahwa KTSP bertujuan (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui
kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola
dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; (2) meningkatkan kepedulian
warga sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan kurikulum melalui
pengambilan keputusan bersama; dan (3) meningkatkan kompetisi yang sehat
antarsatuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan di capai.
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 4 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
Berdasarkan pengertian dan tujuan tersebut, KTSP tampaknya berbeda
dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi). KTSP memberikan kelonggaran dan kebebasan pada satuan
pendidikan untuk menyususn kurikulumnya sendiri sesuai dengan kemampuan
atau potensi yang dimiliki sekolah. Selain itu, KTSP juga memungkinkan
keterlibatan masyarakat dalam penyususnan dan pengembangan kurikulum.
Meskipun hal itu sebenarnya tidak betul-betul baru, mengingat pada kurikulum
sebelumnya memungkinkan keterlibatan masyarakat, seperti adanya keterlibatan
Komite Sekolah dalam pelaksanaan pendidikan, tetapi paling tidak KTSP
memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri,
yang belum pernah ada sebelumnya pada CBSA maupun KBK.
Kelonggaran dan kebebasan yang terdapat dalam KTSP hendaklah
dimaknai sebagai sebuah peluang yang harus dimanfaatkan oleh para pengelola
pendidikan. Peranan guru dan kepala sekolah menjadi salah satu kunci sukses
penerapan KTSP di setiap sekolah. Inisiatif, gagasan-gagasan baru, semangat
membangun, semangat bangkit untuk maju dan berkembang, semangat persaingan
sehat benar-benar dituntut dari guru dan kepala sekolah. Pelaksanaan KTSP di
sekolah sangat dipengaruhi oleh banyak hal, di antaranya adalah sumber daya
manusia, sarana dan prasarana, serta atmosfer di setiap sekolah. Hal itulah yang
kemudian memunculkan berbagai masalah. Selain karena KTSP menuntut
perubahan cara berpikir, KTSP juga menuntut perubahan sistem pendidikan
menjadi otonomi.
Dalam kaitan dengan materi pelajaran Bahasa Indonesia, Sarumpaet
(2007: 29) mengungkapkan bahwa KBK yang bersifat alamiah dan karenanya
sangat mengutamakan siswa sebagai subjek, dapat menolong siswa dalam
mengembangkan dan menghidupkan potensinya. Dengan demikian, jika KBK
mengisyaratkan kompetensi berdasarkan pengalaman langsung yang dapat diukur
secara objektif, maka materi yang harus disampiakan juga sebaiknya
mempertimbangkan faktor siswa (sebagai individu yang akan memelajari),
lingkungan belajar yang kondusif, dan waktu. Hadirnya KTSP ditengarai sebagai
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 5 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
upaya untuk mempercepat keberhasilan dan peningkatan pendidikan di Indonesia
sehingga wajar apabila semua faktor, ciri, dan kekuatan yang ada dalam KBK
dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Dari materi itu pulalah semua syarat yang ada
dalam KBK dan KTSP menuntut kompetensi tinggi dari setiap guru sebagai
pengajar. Dengan demikian, kunci utama keberhasilan pendidikan terletak pada
dua faktor, yaitu guru dan siswa.
Kompetensi Guru
KTSP memberikan peluang kepada sekolah untuk menyusun
kurikulumnya sendiri. Setiap guru mata pelajaran wajib menyusun kurikulumnya
mata pelajarannya. KTSP hanya memberikan kompetensi dasar, sedangkan
indikator yang harus dicapai siswa berkaitan dengan kompetensi dasar tersebut
dibuat oleh guru yang bersangkutan. Dengan demikian, dibutuhkan kompetensi
guru untuk menilai potensi siswa dan lingkungannya.
Pelaksanaan KTSP di sekolah harus dibarengi dengan peningkatan
kuantitas dan kualitas guru yang selama ini menjadi masalah serius yang dihadapi
pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional tahun 2004 diperoleh data yang menyebutkan bahwa dari total jumlah
guru SD sebanyak 1.234. 927 orang, jumlah guru SD negeri yang tidak memenuhi
kriteria layak untuk mengajar sesuai dengan bidang keilmuannya adalah 558.675
orang atau sebesar 45,2% dan pada SD swasta sebanyak 50. 542 orang atau setara
dengan 4,1%.
Kondisi tersebut jelas memprihatinkan. KTSP memang sejalan dengan
dinamika sosial-politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Namun, apakah KTSP
dapat dilaksanakan dengan baik di setiap sekolah mengingat kualitas guru yang
belum memadai? KTSP memberikan kebebasan untuk menyusun silabus, mencari
dan memilih bahan ajar, tetapi wawasan dan pengetahuan guru yang bersangkutan
sangat terbatas.
Dalam KTSP mata pelajaran Bahasa Indonesia, guru memiliki wewenang
untuk membuat silabus yang berisi sejumlah indikator yang harus dicapai oleh
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 6 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
siswa. Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, sastra menjadi bagian materi yang
harus disampaikan kepada siswa. Penyatuan antara materi bahasa dengan materi
sastra dalam mata pelajaran bahasa Indonesia menuntut guru yang tidak hanya
mengerti mengenai bahasa, tetapi juga mengenai sastra. Namun, apakah guru
Bahasa Indonesia memiliki wawasan yang cukup mengenai sastra?
Dari pengalaman mengajar materi pembelajaran Bahasa Indonesia PGSD
di Universitas Terbuka pada tahun 2008, dari 35 peserta, 20 orang salah dalam
menentukan bahan ajar sastra kepada siswa Sekolah Dasar, 10 orang mengambil
bahan ajar langsung dari buku teks, dan 5 orang mengambil bahan ajar secara
tepat dari berbagai sumber, seperti majalah anak-anak.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mencari dan menentukan bahan ajar
sastra kepada siswa sekolah dasar membutuhkan kreativitas guru agar tujuan
kegiatan belajar mengajar dapat tepat sasaran. Buku ajar sebaiknya tidak dijadikan
kitab suci oleh guru karena akan membatasi kreativitas guru dalam menerapkan
KTSP di sekolah, tetapi buku ajar hanya dijadikan sebagai pelengkap (suplemen)
bagi guru untuk mengajar.
Di luar permasalahan tersebut, sesungguhnya KTSP dalam pelajaran
Bahasa Indonesia merupakan peluang untuk memperkenalkan wacana gender
kepada siswa sejak dini. Kebebasan guru dalam mencari dan menentukan bahan
ajar yang tepat berdasarkan potensi, sarana, dan prasarana di sekolah dan
daerahnya, mempermudah wacana gender memasuki ruang pendidikan formal.
Melalui berbagai cara, wacana gender dapat ditanamkan kepada siswa dengan
bantuan guru dan media pendukung proses belajar mengajar. Dengan demikian,
diskriminasi gender yang selama ini terjadi di masyarakat dapat terhapus secara
perlahan-lahan.
Wacana Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam
Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm, 2002: 177 178), gender diartikan
sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 7 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
pada laki-laki atau perempuan. Perbedaan gender antara manusia laki-laki dan
perempuan telah terjadi melalui proses panjang. Mufidah dalam Paradigma
Gender (2003: 4 6) mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan
oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat,
bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi
agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan
perempuan. Pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi
masalah. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan
ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu.
Masalah gender dalam masyarakat patriarkal telah menempatkan
perempuan sebagai objek yang selalu dikendalikan sehingga menimbulkan reaksi
dari kelompok perempuan di seluruh dunia. Menurut Mosse (2003:69 70),
mereka menuntut seksualitas sebagai sebuah wilayah yang memberikan
kesempatan pada perempuan untuk dapat menolak penindasan atas dirinya.
Mereka menyoroti masalah pemahaman tentang seksualitas perempuan yang telah
diterima, yang mengaitkan subordinasi ekonomi dan sosial perempuan dengan
subordinasi seksualnya.
Heddy Shri Ahimsa Putra (dalam Mufidah: 3-6) menegaskan bahwa istilah
gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini.
1. Gender sebagai Istilah Asing dengan Makna Tertentu
Sering orang berpandangan bahwa perbedaan gender disamakan dengan
perbedaan seks sehingga menimbulkan pengertian yang keliru.
2. Gender sebagai Fenomena Sosial Budaya
Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik yang jelas,
tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa
mengindahkan perbedaan seks yang ada sama halnya dengan mengingkari
suatu kenyataan yang jelas. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat
relatif dan kontekstual. Gender yang dikenal orang Minang, berbeda
dengan gender dalam masyarakat Bali, dan berbeda juga dengan gender
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 8 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
bagi masyarakat Jawa. Hal itu diakibatkan oleh konstruksi sosial budaya
yang membedakan peran atas dasar jenis kelaminnya.
3. Gender sebagai Suatu Kesadaran sosial
Pemahaman gender dalam wacana akademik perlu diperhatikan
pemaknaannya sebagai suatu kesadaran sosial.
4. Gender sebagai Suatu Persoalan Sosial Budaya
Fenomena pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan
menjadi masalah bagi mayoritas orang. Pembedaan tersebut menjadi
bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, di mana jenis kelamin
tertentu memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin
lainnya.
5. Gender sebagai sebuah Konsep untuk Analisis
Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis merupakan gender yang
digunakan oleh seorang ilmuwan dalam mempelajari gender sebagai
fenomena sosial budaya.
6. Gender sebagai Sebuah Perspektif untuk memandang suatu Kenyataan.
Seorang peneliti menggunakan ideologi gender untuk mengungkap
pembagian peran atas dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial
budayanya, termasuk ketidakadilan yang ditimbulkannya. Dalam hal ini,
peneliti dituntut untuk memiliki sensitivitas gender dengan baik.
Masalah gender juga menyentuh bidang sastra dan memunculkan sebuah
bentuk kajian yang disebut kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis seperti yang
disampaikan Tinneke Hellwig (2003:17) merupakan salah satu komponen dalam
bidang kajian perempuan, yang di Barat dimulai sebagai suatu gerakan sosial pada
masyarakat akar rumput karena studi perempuan dianggap sebagai suatu bagian
dari agenda politik feminis. Bagi kritikus sastra feminis, semua interpretasi
bersifat politis. Oleh karena itu, pada masa sekarang, peng(k)ajian perempuan dan
sastra terlebih dahulu harus mengklarifikasi posisinya.
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 9 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
Penjelasan lebih jauh mengenai proses kerja yang dilakukan dalam kritik
sastra feminis disampaikan Jane Moore (dalam Hellwig: 29) sebagai sebuah kerja
berkesinambungan. Kritikus feminis meneliti bagaimana kaum perempuan
ditampilkan dan bagaimana suatu teks membahas relasi gender dan perbedaan
jenis kelamin. Dari perspektif feminis, sastra tidak boleh diisolasi dari konteks
atau kebudayaan karena karya sastra menjadi salah satu bagian dari konteks atau
kebudayaan tersebut. Suatu teks sastra mengajak para pembacanya untuk
memahami makna menjadi perempuan atau laki-laki, kemudian mendorong
mereka untuk menyetujui atau menentang norma-norma budaya yang berlaku di
masyarakat. Jadi, jelaslah bahwa pekerjaan mengkritik teks sastra dengan sudut
pandang feminisme membutuhkan penilaian kritikus pada aspek-aspek lain di luar
teks.
Mengenai hal itu, Murniati (2004: 27) dalam Getar Gender menyebutkan
bahwa kebudayaan menjadi faktor dominan ketika sebuah ideologi
dioperasionalisasikan dalam kehidupan manusia. Jika agama dipakai sebagai
alasan, maka kebudayaan adalah mesin penggerak, bagaimana ideologi gender
meresap dan masuk ke tulang sumsum seluruh anggota masyarakat, baik laki-laki
maupun perempuan.
Masalah diskriminasi gender hingga saat ini masih menjadi wacana yang
diusung kaum feminis, termasuk feminis di Indonesia. Sejumlah penelitian
terhadap masalah itu sudah banyak dilakukan. Saat ini, penulisan fiksi di
Indonesia yang mengangkat masalah feminisme salah satunya dilakukan dengan
cara mengkritik diskriminsi gender dan kritik sastra mengenai masalah itu
banyak dijumpai. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masalah perempuan tidak
hanya menjadi bagian kepedulian para ahli ilmu sosial, tetapi para sastrawan dan
kritikus sastra pun memiliki kepedulian akan hal itu.
Sekaitan dengan itu, pada proyek pengadaan buku teks untuk tingkat dasar
tahun 2005, pusat perbukuan (PUSBUK) menunjukkan beberapa hal yang
diinginkan atau disyaratkan pemerintah, di antaranya adalah pemilihan bacaan
(sastra maupun ilmiah) dan contoh-contoh soal pada mata pelajaran Bahasa
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 10 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
Indonesia yang secara sederhana mengangkat kesetaraan gender. Meskipun dalam
kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak
dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks
Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra
yang bias gender.
Pada penelitian ini, kajian gender digunakan untuk mengetahui bagaimana
posisi perempuan dan laki-laki ditanamkan pada siswa dalam proses belajar
mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD, khususnya dalam
pemilihan karya sastra (cerpen anak) sebagai bahan ajar.
Cerpen anak
Cerpen anak adalah salah satu bahan ajar yang harus dicari dan ditentukan
oleh guru dalam mengajarkan sastra. Cerpen anak sesungguhnya adalah cerpen
yang memiliki segmentasi pembaca sangat jelas, yaitu anak-anak berusia 7-12
tahun. Sesuatu yang khas dari cerpen anak adalah cerita yang disampaikan sangat
dekat dengan dunia anak-anak. Pada umumnya cerpen anak di Indonesia
mengangkat tema tentang persahabatan, permainan, dan hal-hal yang mengandung
nilai pendidikan moral, seperti: suka menolong adalah hal yang baik, menyontek
adalah hal yang buruk, dan mematuhi perintah orangtua adalah sesuatu yang wajib
bagi anak. Baik dan buruk dalam cerpen anak tersebut dipaparkan secara hitam
putih dengan tujuan menanamkan nilai-nilai moral kepada anak secara jelas.
Cerpen anak sebagian besar ditulis oleh orang dewasa. Oleh karena itulah,
banyak cerpen anak yang disadari atau tidak oleh penulisnya, menggunakan
bahasa yang tidak sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Selain itu, banyak
cerpen yang mengandung upaya penanaman budi pekerti yang disampaikan
dengan cara menggurui, bahkan tidak sesuai dengan kondisi psikologis anak. Halhal
seperti itulah yang menyebabkan perlunya memilih bahan ajar yang tepat
dalam mengajarkan sastra, terutama cerpen, pada anak-anak.
Tokoh dan peristiwa dalam cerpen dapat menjadi karakter yang
menginspirasi anak. Melalui tokoh-tokoh tersebutlah, nilai-nilai budi pekerti
disampaikan kepada anak sebagai pembaca karya sastra. Oleh karena itu, proses
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 11 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
pemilihan cerpen sebagai bahan ajar di sekolah membutuhkan kepekaan guru.
Guru diharapkan mampu menentukan cerpen yang tepat bagi anak untuk
digunakan sebagai bahan ajar di kelas, yaitu bahan ajar sastra yang bicara tentang
dunia anak-anak dengan bahasa anak-anak dan dengan tokoh yang bisa
memunculkan kesan pada anak bahwa tokoh tersebut adalah dirinya atau
kawannnya, bukan orang tua atau gurunya yang terkesan menggurui. Dengan kata
lain, cerpen yang memberikan pesan-pesan moral secara alami pada anak,
mengalir begitu saja tanpa terkesan menggurui.
Selain itu, guru diharapkan tidak hanya mengandalkan buku ajar sebagai
sumber bacaan, tetapi juga mencari bahan ajar lain yang lebih tepat dengan
kondisi siswanya. Bahan ajar, khususnya cerpen, yang terdapat dalam buku ajar
(buku teks), sebaiknya tidak dijadikan sebagai kitab suci yang selalu diikuti
karena biar bagaimanapun, gurulah yang mengetahui kondisi siswa di kelasnya.
Dengan demikian, pelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia,
diharapkan akan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi siswa dan bermanfaat
dalam membentuk karakter mereka.
Cerpen sebagai salah satu bahan ajar yang diterapkan pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia dapat dijadikan sebagai media pengenalan wacana gender pada
siswa. Guru dapat memilih cerpen-cerpen yang berwawasan gender untuk
diperkenalkan kepada siswa melalui pencapaian empat aspek, yaitu: menyimak,
membaca, berbicara, dan menulis. Pada tahap menyimak, siswa diberikan sebuah
cerpen anak sebagai bahan pembelajaran cerpen. Pada kesempatan inilah, guru
dapat memilih cerpen anak yang mengandung wacana gender.
Cerpen anak yang berwacana gender, di antaranya dapat dilihat dari sisi
tokoh, karakter tokoh dan peristiwa yang dialamai tokoh. Jika selama ini yang
tertanam di benak anak adalah pembedaan lakai-laki dan perempuan melalui
simbol-simbol, seperti; anak perempuan memiliki karakater cengeng, menyukai
boneka, memakai warna pink, dan rajin membuat catatan pelajaran, sedangkan
laki-laki memiliki karakter jagoan, nakal, memakai warna biru, dan malas
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 12 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
mencatat pelajaran, maka pada pemilihan cerpen untuk bahan ajar, guru dapat
menghindari cerpen-cerpen yang berisi simbol-simbol yang bias gender tersebut.
Siswa harus ditanamkan pemikiran bahwa laki-laki bisa menangis
(cengeng) dan perempuan juga bisa menjadi jagoan. Oposisi biner yang selama
ini melekat di benak siswa merupakan dasar pembedaan gender tersebut. Dengan
penanaman wacana gender pada siswa melalui pilihan cerpen, diharapkan ketika
mereka dewasa, mereka akan lebih menghargai seseorang berdasarkan
kemampuannya, tidak berdasarkan jenis kelaminnya.
Pemilihan Contoh Kalimat dari Kutipan Cerpen Anak
Pada pelajaran menulis, siswa diberikan pengenalan mengenai subjek,
predikat, objek, dan keterangan. Setelah itu, mereka diminta untuk membuat
kalimat seperti contoh kalimat yang diberikan oleh guru. Pada kesempatan itulah,
guru dapat mengenalkan wacana gender pada anak.
Guru harus menghindari contoh kalimat yang bias gender, seperti:
Ayah pergi ke kantor, Ibu pergi ke pasar, dan aku pergi ke sekolah.
Contoh kalimat tersebut jelas mengandung diskriminasi gender. Kondisi
yang terdapat pada kalimat tersebut, sangat tidak tepat dengan kondisi saat ini di
mana perempuan bisa bekerja di luar rumah, tidak hanya mengurus rumah tangga.
Kalimat tersebut membentuk kesan bahwa ayah adalah kepala rumah tangga yang
bekerja mencari uang untuk menghidupi keluarga dan ibu hanya sebagai pengurus
rumah tangga, yang berperan sebagai sekunder di rumah tangga karena kepala
rumah tangga adalah ayah.
Contoh kalimat tersebut dapat diubah menjadi kalimat yang bewawasan
gender menjadi kalimat:
Bapak dan Ibu pergi ke kantor, sedangkan aku pergi ke sekolah.
Kalimat tersebut jelas menunjukkan sebuah kondisi yang bernuansa
kesetaraan gender. Pada kalimat tersebut, perempuan melalui tokoh ibu,
digambarkan sebagai perempuan yang bekerja di luar rumah, tidak hanya
berurusan dengan masalah rumah tangga. Hal itu dapat membentuk sebuah
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 13 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
wacana pada siswa bahwa sosok perempuan dapat maju dalam hal pekerjaan atau
karier seperti halnya sosok laki-laki.
Contoh kalimat seperti itu dapat dijumpai dari cerpen anak yang
digunakan sebagai bahan ajar. Dalam hal ini, diperlukan kepekaan guru untuk
memilih dan menentukan kalimat-kalimat yang tepat untuk mengajarkan konsep
pembentukan kalimat sekaligus menanamkan konsep kesetaraan gender kepada
siswa.
Pemilihan Buku Teks
Buku teks pelajaran Bahasa Indonesia membantu siswa dalam mencapai
kompetensi yang harus mereka capai pada mata pelajaran tersebut. Pada proses
pemilihan buku teks untuk siswa, guru memiliki kebebasan penuh untuk
menentukan buku dari penerbit mana yang paling tepat digunakan untuk
siswanya. Pada kesempatan itu, guru memiliki peluang untuk memilih buku yang
tidak bias gender.
Pusat Perbukuan pada 2005 telah menyeleksi sejumlah buku dari berbagai
penerbit yang akan digunakan untuk kegiatan belajar mengajar di sekolah. Pada
proses penyeleksian tersebut, salah satu butir yang disampaikan panitia adalah
pengenalan wacana gender pada siswa. Panitia mengharapkan tidak ada lagi
kalimat-kalimat yang bias gender, seperti pada pembahasan contoh kalimat di
atas. Panitia mengharapkan sebuah buku teks yang mendukung kesetaraan gender.
Pada salah satu buku teks karya Muh. Darisman berjudul Mari Belajar
Bahasa Indonesia untuk Kelas 5 SD, misalnya, wacana gender tersebut sudah
mulai diterapkan dengan memunculkan tokoh perempuan bernama Rima. Rima
adalah tokoh yang menjadi narator pada buku teks tersebut. Tokoh Rima
digambarkan sebagai siswa perempuan yang aktif, kreatif, dan pandai bergaul.
Wacana gender tersebut beberapa di antaranya disampaikan melalui penggalan
cerita pendek, seperti berikut ini.
Membantu Korban Kebakaran
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 14 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
Rima mendengar berita bahwa beberapa siswa SD Indrasari yang tinggal
di Desa Pasir Muncang menjadi korban kebakaran yang terjadi kemarin.
Peristiwa kebakaran itu mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Para
korban kehilangan harta benda bahkan ada yang kehilangan keluarganya karena
terbakar api. Sampai sekarang para korban belum mendapatkan tempat
penampungan yang layak. Mereka masih tinggal di tenda-tenda penampungan
yang sempit.
Sebagai anggota palang merah remaja (PMR), Rima mengusulkan agar
seluruh siswa SD Indrasari ikut meringankan beban para korban dengan
memberikan sumbangan berupa uang atau pakaian layak pakai. Ide Rima tersebut
mendapat dukungan dari Pak Mamat, pembina PMR SD Indrasari.
Ide yang bagus, Rima! Besok semua anggota PMR mulai mengumumkan
rencana ini ke setiap kelas, kata Pak Mamat.
lalu, kapan kita memberikan sumbangan pada para korban kebakaran itu,
Pak? tanya Rudi.
Setelah sumbangan terkumpul, kita langsung menyerahkannya ke tempat
penampungan mereka, jawab Pak Mamat.
Lima hari kemudian, sumbangan dari seluruh siswa Indrasari diberikan
secara langsung kepada para korban kebakaran. Bu Yanti, salah satu perwakilan
dari para korban mengucapkan terima kasih.
Sumbangan ini sangat berarti bagi kami, ucap Bu Yanti. Matanya
berkaca-kaca menahan rasa haru.
(Muh. Darisman, 2006: 97)
Pada penggalan cerita pendek di atas, Rima tampak sebagai anak
perempuan yang memiliki ide cemerlang, berjiwa sosial, dan berani
mengungkapkan gagasannya. Keberadaan tokoh Rima tersebut diharapkan dapat
membangkitkan semangat siswa perempuan untuk berani menunjukkan potensi
diri, tidak hanya berdiam diri. Tokoh Rima pada buku teks tersebut merupakan
tokoh yang membawa nuansa gender pada pelajaran Bahasa Indonesia. Ia tidak
hanya mandiri, tetapi juga dapat bersaing dengan teman-temannya, terutama siswa
laki-laki. Ia menjadi sosok perempuan yang patut diperhitungkan di dalam
lingkungannya.
Namun sayangnya, dalam buku teks tersebut, masih terdapat pilihan bahan
ajar yang bias gender. Misalnya, pada pemilihan cerita rakyat Bawang Merah
Bawang Putih . Pada cerita tersebut, mucul penanaman karakter ibu tiri yang
kejam dan tidak berperi-kemanusiaan. Hal itu tentu saja dapat memunculkan
kesan pada siswa bahwa ibu tiri adalah sosok perempuan yang jahat. Pilihan cerita
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 15 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
tersebut tidak sejalan dengan semangat kesetaraan gender seperti pada
pemunculan tokoh Rima sebagai narator pada buku teks tersebut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa wacana gender yang hendak
diperkenalkan kepada siswa sekolah dasar belum dilakukan secara maksimal.
Oleh karena itu, peran guru sangat diperlukan dalam memilih bahan ajar yang
tepat bagi siswa. Proses pemilihan buku teks diharapkan akan dimanfaatkan guru
untuk mendampinginya dalam mengenalkan wacana gender pada siswa. Pada
proses tersebut, selain kreativitas guru, kepekaan guru terhadap wacana gender
pun sangat menentukan keberhasilan pemilihan buku teks yang tepat bagi guru
dalam upaya memperkenalkan wacana gender pada siswa.
Simpulan
KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan kebebasan
kepada guru untuk menentukan materi yang akan diajarkannya kepada siswa.Pada
bidang studi Bahasa Indonesia, KTSP memberikan keleluasan kepada guru untuk
menyampaikan materi bahasa dan sastra Indonesia kepada siswa secara kreatif.
Guru harus menyesuaikan pengajaran Bahasa Indonesia dengan potensi, sarana,
dan prasarana yang ada di lingkungan sekitar siswa. KTSP sangat tepat dengan
atmosfer demokrasi dan otonomi yang sekarang sedang diterapkan di Indonesia.
Kebebasan yang diperoleh guru dalam KTSP tersebut membutuhkan
semangat dan kreativitas guru. Oleh karena itu, kompetensi guru pun harus terus
ditingkatkan agar sejalan dengan tujuan KTSP, baik yang disampaikan secara
eksplisit maupun implisit.
Di luar itu, KTSP memberikan peluang yang besar kepada guru untuk
memperkenalkan, bahkan menanamkan wacana gender kepada siswa. Berbagai
cara dapat dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui jalur formal
ini, di antaranya adalah:
1. Melalui pemilihan contoh karya sastra dalam hal ini pemilihan cerpen
anak sebagai bahan ajar.
Ade HM Irawan -Meti Istimurti,
Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 16 dari 16
Batu, 12 14 Agustus 2008
2. Melalui penyampaian contoh-contoh kalimat yang terdapat dalam kutipan
karya sastra (cerpen anak)
3. Melalui pemilihan buku teks yang memuat kutipan karya sastra yang
berwawasan gender.
Cara-cara sederhana tersebut diharapkan mampu memperkenalkan wacana
gender kepada siswa sejak dini, sehingga kelak siswa memiliki semangat
kesetaraan gender. Dengan demikian, bias gender yang selama ini masih melekat
di masyarakat secara perlahan-lahan dapat terkikis hingga habis.
DAFTAR PUSTAKA
Darisman, Muh. 2006. Mari Belajar Bahasa Indonesia untuk Kelas 5 SD. Bogor:
PT Yudhistira.
Hellwig, Tinneke. 2003. In The Shadow of Change; Citra Perempuan dalam
Sastra Indonesia (


0 komentar:
Posting Komentar