Pendahuluan
Jika kita ingin membuat sebuah gerakan dengan tujuan progresif baik dalam
jangka panjang maupun jangka pendek sebagai strategi survival, maka kita harus
mempunyai sebuah cara pandang yang mampu mengantarkan kita kepada tujuan
tersebut. Sebut saja, misalnya, cara pandang tersebut sebagai paradigma, maka
kita memerlukan sebuah paradigma gerakan yang tentunya berangkat dari kebutuhan
kita sendiri, bukan gerakan “orang lain”.
Perdebatan paradigmatik tentunya
telah lama terjadi di PMII, bukan saja semenjak periode kepemimpinan Sahabat A.
Muhaimin Iskandar ketika kata “paradigma” mulai diperbincangkan di dalam
lingkaran-lingkaran kecil (small groups) di kantong-kantong PMII seluruh
Indonesia, tetapi juga telah dimulai, barangkali, sejak PMII sendiri berdiri,
sekalipun kata paradigma belum digunakan.
Posisi-posisi yang telah diambil
PMII selama hampir setengah abad usianya tentunya menggambarkan perdebatan
paradigmatik ini, walaupun antara satu periode yang satu dengan periode yang
lain hampir selalu tidak terjadi kesinambungan (continuity) yang mampu
membuat aktivis-aktivis PMII “naik-kelas”. Jika suatu kepengurusan selesai,
maka pengurus berikutnya harus memulai lagi dari nol. Sehingga, hampir
dipastikan posisi-posisi yang diambil PMII adalah sekadar reaksi bukan aksi.
Belajar dari pengalaman historis
yang penting inilah, PMII harus berhasil menjamin sebuah kontinuitas gerakan
yang berbasis pada kenyataan bangsanya sendiri.
Mengapa Harus Dimulai dari
Paradigma?
Sebuah gerakan yang rapi harus
mengandaikan terbentuknya faktor-faktor produksi, distribusi dan wilayah
perebutan (warring positions). Tanpa menggunakan logika ini, maka
gerakan selalu akan terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa
meninggalkan apa-apa selain kemasyhuran dan kebanggaan diri belaka.
Katakanlah kita sedang akan
membangun sebuah gerakan, maka kita harus memahami di mana wilayah perebutan
yang akan kita temui dan, oleh karena itu, apa yang harus kita produksi dan
menggunakan jalur distribusi seperti apa agar produk-produk gerakan kita tidak
disabotase di tengah jalan. Rangkaian produksi-distribusi-perebutan ini adalah
sebuah mata rantai yang tidak boleh putus, karena putusnya salah satu mata
rantai ini berarti matinya gerakan, atau setidak-tidaknya gerakan hanya akan
menjadi tempat kader-kadernya berheroisme-ria. Dan yang lebih penting gerakan
semacam ini akan dengan mudah diaborsi.
Nah, di mana paradigma menempati
posisinya?
Yang pertama-tama perlu dikembangkan
di PMII adalah bahwa sejarah itu berjalan dengan masa lalu, bukan semata-mata
karena masa lalu itu ada, tetapi karena masa lalu telah membentuk hari ini dan
hari esok. Artinya, capaian tertinggi dari sebuah gerakan adalah ketika satu
generasi telah berhasil mengantar generasi berikutnya menaiki tangga yang lebih
tinggi. Visi historis inilah yang akan menjadikan PMII sebagai organisasi besar
yang berpandangan ke depan dan universal. Karena PMII tidak didirikan hanya
untuk bertahan selama sepuluh atau duapuluh tahun. PMII didirikan untuk
melakukan perubahan tata struktur dan sistem. Inilah cita PMII menurut penulis
seharusnya.
Dengan demikian, paradigma
menempati posisi yang sangat vital dalam membangun gerakan PMII ke depan, bukan
semata-mata karena kita membutuhkan paradigma, tetapi karena paradigma itu
seharusnya memandu gerakan PMII dalam longue duree dalam bingkai
sistem-dunia.
Selama ini, perdebatan
paradigmatik di PMII hanya bersifat reaksioner, bukan sebuah inisiatif yang
didasarkan pada gerak-maju yang terencana. Kondisi seperti inilah yang kemudian membatasi ruang
lingkup gerakan PMII yang hanya melingkar di orbit internal NU dan tidak mampu
melakukan pendudukan sektor-sektor strategis yang memiliki resonansi luas
kepada publik.
Sejauh berkaitan dengan perubahan
struktural yang dicitakan PMII, maka pendudukan sektor-sektor publik adalah
suatu keniscayaan. Masalahnya, selama ini yang dipuja-puja oleh sebagian
aktivis PMII adalah gerakan kultural an sich, yang mengabaikan segala
sesuatu yang bersifat struktur. Katakanlah dikotomi gerakan “kultural” dengan
gerakan “struktural” yang menjadikan PMII sebagai penjaga gerbang “kultural”
sementara HMI, misalnya, sebagai pemain “struktural” telah menimbulkan
kesesatan berfikir sedari awal tentang ‘gerakan yang dibayangkan/imagined
movement’ oleh kader-kader PMII, bahwa PMII cukup hanya bergerak di LSM-LSM
saja, tidak perlu berorientasi kekuasaan.
Jadi, paradigma merupakan suatu
keniscayaan yang dibangun berdasar atas pandangan PMII tentang dunia (world-view)
dalam realitas sistem dunia yang saat ini sedang berjalan. Apakah gerakan PMII
selama ini telah berbasis pada kenyataan Indonesia dalam bingkai sistem dunia?
Historisitas PMII lah yang akan menjawabnya.
Historisitas Gerakan PMII
Sebagai sebuah organisasi yang
telah berusia hampir setengah abad, semestinya PMII telah mencapai periode
kematangan. Didirikan pada 17 April 1960 sebagai bagian integral dari
organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia, NU, PMII memang berfungsi
sebagai sayap-mahasiswa NU di samping GP Ansor di sayap-pemuda, Fatayat di
sayap-remaja putri, Muslimat di sayap-ibu-ibu, IPNU/IPPNU di sayap pelajar dan
banom-banom lain, maka komitmen PMII kepada jam’iyyah NU adalah sesuatu
yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Maka, keterlibatan PMII di masa-masa awal
berdirinya sebagai penyokong Partai NU adalah sebuah keniscayaan.
Pada tahun 1974 ketika NU telah
melakukan fusi politik dengan partai-partai Islam lain dalam PPP, maka
Deklarasi Independensi di Murnajati Malang juga merupakan pilihan sejarah yang
sangat penting. Dengan tegas PMII menyatakan independen dari NU karena PMII
memang harus menegaskan visinya bukan sebagai bagian dari partai politik.
Demikian pula, Deklarasi
Interdependensi pada dekade 1980-an, yang kembali menegaskan kesaling-tergantungan
antara PMII-NU adalah bukti bahwa PMII tidak akan dapat meninggalkan
komitmennya terhadap jam’iyyah NU.
Pilihan-pilihan
dependensi-independensi-interdependensi ini sebenarnya tidak perlu terlalu
dipermasalahkan. Perdebatan-perdebatan selama tiga dekade awal PMII tampaknya
hanya berkisar di sekitar pilihan-pilihan ini belaka. Ini berakibat pada
terbengkalainya rancangan-rancangan ke-depan yang berada di luar batas-batas
NU. Ini tentunya kontra-produktif terhadap PMII sebagai sebuah gerakan yang
mengandaikan adanya perubahan sistem dan struktur dalam jangka panjang, karena
tidak akan pernah dapat bergerak ke luar dari batas-batas kulturalnya. Ini yang
penulis sebut sebagai jebakan primordialisme dalam gerakan, karena PMII tidak
akan dapat pernah berperan sebagai agen transformasi ke dalam NU yang
nyata-nyata adalah komunitas dari-mana ia lahir, alih-alih menjadi bagian dari
kemapanan NU yang membekukan.
Dengan demikian komitmen PMII
terhadap NU adalah komitmen yang mengambil bentuknya dalam class of struggle
yang akan mengawal visi dan misi NU ke depan di samping transformasi internal
tersebut.
Perdebatan yang lebih produktif
baru muncul dekade 1990-an seiring dengan semakin luasnya pengaruh pemikiran
KH. Abdurrahman Wahid di kalangan muda NU, terutama PMII. Figuritas Gus Dur
sebagai tokoh demokrasi dan pengusung civil society yang critical
terhadap pemerintahan rezim Suharto sangat berpengaruh dalam pembentukan
pola-pikir aktivis-aktivis PMII.
Yang perlu dicatat adalah bahwa
secara paradigmatik, kepengurusan Sahabat A. Muhaimin Iskandar pernah
mensosialisasikan “paradigma arus-balik masyarakat pinggiran” yang implikasinya
sangat luas terhadap pola gerakan PMII hampir di seluruh Indonesia. Dipandu
oleh gagasan free market of ideas, periode ini menyaksikan sebuah massive
enlightenment di tubuh PMII. Selama, setidak-tidaknya, paruh kedua dekade
1990-an PMII dengan gigih memperjuangkan demokrasi dan civil society sebagai
nilai-nilai pembebasan. Dari masa inilah muncul optimisme baru tentang gairah
gerakan di PMII.
Selama ini, kepengurusan di PMII
dan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra lainnya semisal HMI, IMM, PMKRI,
GMNI, dan GMKI adalah sebagai batu loncatan untuk menduduki kursi-kursi di KNPI
yang didukung oleh pemerintah. Nyata-nyatanya hanya organisasi-organisasi
pro-pemerintah yang pada akhirnya mendapatkan kursi di KNPI dan selanjutnya
kursi di DPR/MPR RI. Organisasi-organisasi kritis tidak akan mendapatkan tempat
dalam kultur politik Orde Baru yang sangat nepotis. Artinya, antrian menuju
kursi kekuasaan tidak akan pernah sampai kecuali dengan melalui strategi lain
yang berada di luar mainstream. Dan PMII melakukan itu tatkala HMI yang
menjadi rival utamanya selama ini justru sedang bermesraan dengan rezim Orde
Baru melalui politik ijo royo-royo, di mana lebih dari 300 orang anggota
MPR RI adalah alumni HMI.
Akhirnya, PMII bersama
organ-organ mahasiswa Forum Cipayung minus HMI mendirikan sebuah forum bernama
Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) sebagai bentuk keprihatinan atas mengentalnya
politik aliran di Indonesia yang ditandai dengan semakin massifnya
kelompok-kelompok yang tergabung di dalam ICMI mengusung bendera representasi
Islam yang mayoritas di dalam kekuasaan. Dengan dukungan pemerintahan Suharto,
ICMI melakukan ekspansi ke berbagai lini dengan mengusung isu Islamisasi, baik
di sektor ekonomi dengan mendirikan Bank Muamalat, di media dengan mendirikan
Republika yang diasumsikan sebagai koran Islam, maupun di permodalan dengan
mendirikan BPR-BPR Syari’ah. Di sektor ekonomi, isu yang diusung adalah
kemandirian ekonomi umat dan anti-Cina, sebagai kelompok yang dianggap
menghancurkan ekonomi Indonesia.
Klimaks dari resistensi terhadap
pemerintahan rezim Orde Baru adalah gerakan mahasiswa di penghujung dekade
1990-an, di mana PMII berdiri di barisan paling depan dalam menghancurkan rezim
Orde Baru, sebagaimana NU juga berdiri di barisan paling depan dalam
mengganyang PKI pada paruh kedua tahun 1960-an.
Dus, paradigma Arus Balik
Masyarakat Pinggiran yang dipandu oleh gagasan Free-Market of Ideas
tersebut berhasil menciptakan kader-kader PMII yang kritis dan memiliki
militansi gerakan yang memadai dan sikap yang terbuka. Keterbukaan itu ditandai
dengan luasnya pergaulan aktivis-aktivis PMII dengan kelompok-kelompok
minoritas yang selama ini selalu terkucilkan. Dengan bekal pemahaman teologis
yang inklusif para kader mampu melampaui sekat-sekat agama yang selama ini
dipelihara demi kelanggengan kekuasaan. Hampir di semua level, komunikasi
(baca: silaturrahim) kader-kader PMII dengan kalangan Katolik, misalnya,
berjalan dengan natural dan tidak dibuat-buat. Sampai sekarang pergaulan lintas
agama ini telah jauh melampaui gagasan dialog agama atau konsep masyarakat
multikultur yang didukung kuat oleh funding agencies. Jika orang-orang
masih ramai berbicara tentang teologi inklusif melalui dialog-dialog formal,
maka kader-kader PMII telah jauh berinteraksi dan secara timbal balik meresap
di dalam keberagaman itu sendiri. Singkatnya, don’t teach me how to act
inclusively since I am coming from such a society!
Namun, di luar keberhasilan
paradigma Arus Balik dan FMI tersebut selalu ada yang terasa belum selesai
dibangun di PMII. Indikasi yang paling jelas adalah ketika KH. Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai Presiden RI yang keempat pada November 1999. Secara
serta merta para aktivis PMII (dan NU dan juga aktivis-aktivis Civil Society
pada umumnya) mengalami kebingungan apakah perjuangan civil society harus
berakhir ketika Gus Dur yang selama ini menjadi tokoh dan simbol perjuangan
civil society di Indonesia telah naik ke tampuk kekuasaan. Nampaknya, sikap
para kader PMII terbelah dua pada saat itu. Ada yang menghendaki agar PMII tetap bergerak di jalur kultural dan ada
pula yang menghendaki bahwa PMII harus membela Gus Dur. Dari sinilah kemudian
mulai muncul dikotomi NU Kultural dan NU Struktural, yang secara otomatis juga
terjadi di PMII. PMII Kultural dan PMII Struktural, yang kedua-keduanya tidak
saling ketemu dan cenderung saling menyalahkan. Sampai sekarang, dikotomi itu
masih sedikit terasa sekalipun telah kehilangan relevansinya semenjak Gus Dur
dijatuhkan oleh sebuah konspirasi politik maha tinggi.
Artinya, paradigma Arus Balik
telah patah di sini. Paradigma ini kemudian diganti dengan paradigma
Kritis-Transformatif yang nalar penyusunannya tidak jauh berbeda dengan nalar
penyusunan paradigma Arus Balik. Dengan kata lain, paradigma ini melanjutkan
kegagapan PMII dalam bersinggungan dengan kekuasaan.
Setidak-tidaknya, ada tiga alasan
untuk menjelaskan patahnya kedua paradigma ini. Pertama, keduanya
didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa
mengandaikan kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait dengan
perubahan di tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai
contoh, maraknya LSM pro-demokrasi dan gencarnya isu anti-militerisasi pada
dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet (USSR) sebagai rival USA
dalam kompetisi hegemoni dunia. Bagaimana ini terjadi?
Secara siklis dapat dijelaskan
sebagai berikut. Suharto berhasil merebut tampuk kekuasaan dari Presiden
Sukarno pada tahun 1966 melalui Super Semar dengan dukungan penuh dari politik
luar negeri AS yang sedang gencar-gencarnya melakukan containment
terhadap komunisme. Saat itu adalah sedang panas-panasnya persaingan antara
Blok Barat yang kapitalis dan Blok Timur yang komunis. Posisi Indonesia
demikian pentingnya pada waktu itu karena seandainya Indonesia jatuh ke tangan
komunisme maka negara-negara yang berada di sebelah utara Indonesia seperti
Malaysia, Thailand, Filipina dll. Secara otomatis akan jatuh. Maka, Indonesia
harus dibebaskan dari hantu komunisme (le spectre de la communisme).
Nah, Suharto adalah seorang jenderal tentara yang dapat menjalankan misi AS
tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, komunisme jatuh pada tahun 1989 dan
ini berakibat pada merosotnya dukungan AS kepada Suharto. Dengan kata lain,
Suharto harus dijatuhkan. Dari saat inilah kemudian AS mulai mendorong
demokratisasi di Indonesia melalui isu-isu HAM dan Civil Society melalui berbagai
LSM yang didanai melalui funding agencies. Pada sisi lain, Suharto pun
menjalin kekuatan dengan kelompok-kelompok Islam yang justru selama ini
dimarjinalkannya. Puncaknya adalah berdirinya ICMI pada awal dekade 1990-an
sebagai sayap politik baru Suharto pasca hilangnya dukungan AS kepada
pemerintahannya. Dari sini, kemudian juga terjadi pembelahan: mereka yang
bergerak dengan isu HAM dan Civil Society melawan rezim otoriter Suharto yang
mulai didukung oleh organisasi-organisasi Islam politik di bawah payung ICMI.
Dan PMII terlibat di sini di pihak pertama sebagai pengusung isu demokrasi dan
civil society. Sebenarnya, jika para aktor politik Indonesia tidak terjebak
pada peristiwa-peristiwa politik lokal dan mencoba sedikit melihat keluar,
hampir dipastikan Suharto dapat dijatuhkan tanpa harus menunggu terlalu lama.
Kedua, kedua paradigma ini hanya
menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara real menjadi habitus atau
laku di PMII. Akibatnya, bentuk resistensi yang muncul adalah resistensi tanpa
tujuan, yang penting melawan. Sehingga ketika perlawanan itu berhasil
menjatuhkan Suharto terlepas ada aktor utama yang bermain, PMII dan organ-organ
pro-demokrasi lainnya tidak tahu harus berbuat apa. Dari sini, dapat dibaca
bahwa paradigma itu tidak disertai dengan semacam contingency plan yang
dapat menyelamatkan organisasi dalam situasi apapun.
Ketiga, pilihan paradigma ini tidak
didorong oleh strategi (not strategy-driven paradigm) sehingga
paradigmanya dianggap sebagai suatu yang baku. Mustinya, ketika medan
pertempurannya telah berganti, maka strateginya pun harus berbeda. Ketika medan
pertempuran melawan otoritarianisme Orde Baru telah dikalahkan, PMII masih
berfikir normatif dengan mempertahankan nalar paradigma lama. Ini membuktikan
bahwa PMII tidak berfikir strategis.
Membangun Paradigma berbasis-kenyataan (reality-based paradigm)
Membangun paradigma gerakan
memang sesulit membaca kenyataan yang semestinya menjadi pijakan paradigma itu.
Gerakan manapun yang dibangun tidak di atas landasan kenyataan hanya akan
menjadi korban sejarah atau, katakanlah, agen, tidak pernah menjadi struktur
apalagi peradaban.
Paradigma yang baik adalah
paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan
dengan kenyataan hari ini. Kenapa sejarah penting dalam penyusunan paradigma
gerakan? Sebagaimana telah penulis ungkapkan pada awal tulisan ini bahwa
sejarah itu menyimpan masa lalu yang telah menyusun masa kini dan masa depan.
Jadi, dengan mengkombinasikan sejarah dengan real-life hari ini, kita akan
mampu membaca kenyataan secara benar sehingga kita tidak akan terjebak dalam
kenyataan mediatik yang manipulatif dan menyesatkan.
Dengan selalu berangkat dari
kenyataan real, kita akan mampu menangkap struktur apa yang saat ini sedang
bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila (free-wheel)
peradaban yang hegemonik.
Selama ini, nalar mainstream yang
digunakan dalam penyusunan paradigma di PMII adalah nalar yang berangkat dari
asumsi teoritis yang belum tentu terkait dengan kenyataan yang sehari-hari
terjadi. Jadi, konsep ideal (logos) itu dianggap lebih penting dan ideal
dari pada kenyataan. Ambillah contoh, misalnya tentang paradigma arus balik dan
paradigma kritis-transformatif. Nalar penyusunannya adalah civil society yang
mengandaikan adanya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara. Ada
beberapa kerancuan dalam paradigma ini, sebagian telah penulis kemukakan pada
bagian historisitas gerakan di PMII. Pertama, secara praktis resistensi
terhadap negara dewasa ini telah usang karena yang berkuasa bukan lagi negara
tetapi berbagai MNCs dan TNCs yang telah berhasil menawan negara. Kedua,
asumsi kemandirian yang dibayangkan di dalam konsep civil society tidak
pernah terjadi dalam kenyataan. Artinya, lagi-lagi kita dibuat terjebak pada
logosentrisme seolah-olah yang namanya CS adalah kita yang telah melawan negara
tadi.
Sampai hari ini, nalar umum yang
berlaku di dalam tubuh PMII adalah nalar resistensi ini. Sehingga ketika kita
bertanya kepada kader-kader baru PMII di berbagai daerah kenapa anda masuk
PMII. Jawabannya, karena PMII adalah gerakan perlawanan terhadap rezim
otoriter. Jika disadari bahwa semua rezim sebenarnya adalah otoriter maka
roda-gila perlawanan-rezim otoriter ini tidak pernah dapat diputus karena perlawanan
yang terjadi bukan perlawanan dalam pengertian merebut struktur kekuasaan
tetapi perlawanan menegakkan ‘kebenaran dan keadilan’. Post-resistence
schenario-nya tidak pernah disusun sehingga selalu kelompok lain yang
menunggangi perlawanan ini. Dan anehnya kader-kader PMII merasa bangga dengan
pola semacam ini dan tidak pernah mau belajar dari kegagalan masa lalu.
Nah, paradigma berbasis-kenyataan
(reality-based paradigm) akan membalik pendekatan ini.
Selama ini, nalar penyusunan
gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka lebih bersifat akademik. Artinya
diawali dengan berbagai konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang
berasal dari Barat. Konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita
semuanya berbau liberalisme, sehingga secara akademis tidak ada kemungkinan
untuk meloloskan diri dari arus liberalisme. Semenjak dari pikiran, gerakan itu
memang tidak akan pernah berhasil. Yang dibayangkan di sini, setiap konsep itu
berlaku secara universal tanpa mempertimbangkan kenyataan yang menjadi setting aplikasi
konsep tersebut.
Contoh yang sering dikemukakan
tentang tidak nyambungnya antara konsep ideal-Barat dengan kenyataan Indonesia
adalah konsep-konsep politik-ekonomi yang dibawa oleh para elit politik dan
tokoh gerakan Indonesia semenjak kemerdekaan sampai sekarang ini. Pada
awal-awal kemerdekaan isu “revolusi” menjadi semacam isu tunggal, dengan asumsi
revolusi a-la Marx yang mengandaikan adanya pertentangan kelas-kelas
sosial. Sukarno yang dengan gigih mengusung isu revolusi ini justru akhirnya gagal
dan terguling dengan kekuasaannya. Demikian pula dengan isu “pembangunan” yang
diusung oleh rezim Orde Baru, yang diasumsikan bahwa setelah mengikuti beberapa
tahapan yang telah digariskan Indonesia akan dapat melakukan tinggal landas
menjadi negara industri maju.
Konsep-konsep revolusi dan
pembangunan yang di negeri asalnya berjalan dengan baik, justru tidak berjalan
di Indonesia. Apa yang salah? Konsepnyakah yang memang mempunyai keterbatasan
kontekstual ataukah memang kondisinya yang salah sehingga konsep-konsep ideal
itu tidak dapat bersanding dengan kenyataan real yang setiap hari dijalani oleh
masyarakat?
Atau, belum lama ini muncul
gagasan tentang ekonomi kerakyatan yang bertujuan untuk memandirikan masyarakat
Indonesia pribumi. Anehnya, isu kemudian malah menjadi praksis bukan lagi
ekonomi kerakyatannya, tetapi isu anti-Cina yang selama ini dianggap menjadi
biang kerok hancurnya ekonomi Indonesia. Isu ekonomi kerakyatan berubah menjadi
isu rasial yang sangat merugikan Indonesia karena etnik Cina lah yang secara
real memegang jalur-jalur distribusi ekonomi sampai level yang paling bawah.
Jika isu anti-Cina yang diusung oleh beberapa gelintir elit pribumi yang
dikompori oleh rezim hegemoni dunia tersebut menjadi kenyataan, maka yang
paling dirugikan adalah masyarakat Indonesia sendiri.
Dari sini, kita melihat bahwa di
kepala para elit kita sekalipun belum terbentuk satu cara pandang yang memadai
dalam membaca kenyataan Indonesia dan kemudian mencoba menggunakan hasil bacaan
tersebut sebagai pijakan untuk menjadikan Indonesia naik-kelas.
Dengan kata lain persoalan
sulitnya membangun paradigma berbasis-kenyataan di PMII itu paralel dengan
kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia.
Sehingga, apabila PMII merintis sebuah paradigma semacam ini, sekalipun untuk
sementara akan tersisih dari pergaulan mainstream, maka suatu hari nanti
sejarah akan mencatat PMII sebagai gerakan sosial yang menjadi pelopor
Indonesia baru yang benar-benar merdeka.
Memang, saat ini orang selalu
berfikir instan dan hanya mau melihat hasil tanpa mau melihat bagaimana sebuah
proses terjadi untuk mewujudkan utopia. Sehingga benturan pertama bagi sebuah
paradigma untuk berjalan adalah dampak jangka-pendeknya. Atau dengan kata lain,
problem survival menuntut kita untuk meninggalkan pikiran-pikiran
panjang kita. Gerakan harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan
gelombang pendek agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek
tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang rapuh.
Bagaimanapun, untuk membangun
gerakan kita harus mendahulukan realitas ketimbang logos.
Membaca Kenyataan Indonesia dalam World-System: modal awal gerakan
Selama ini kita membaca
perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia semata-mata sebagai dinamika
internal yang terputus dari perubahan-perubahan global. Setiap perbincangan
yang mengarah kepada skenario global untuk perubahan di Indonesia dianggap
sebagai pemikiran konspiratif yang tidak ilmiah, tidak jernih dan menimbulkan
permusuhan di kalangan masyarakat. Versi resmi sejarah Indonesia, misalnya,
tidak pernah berani mengungkap keterlibatan pihak-pihak asing dalam berbagai
pergolakan di daerah selama dekade-dekade awal kemerdekaan. Pendek-kata,
sejarah Indonesia adalah sejarah yang manipulatif karena tidak mengungkapkan
fakta apa-adanya sehingga tidak saja banyak aktor-aktor sejarah yang
dihilangkan tetapi juga peristiwa-peristiwa penting yang sebenarnya mengubah
sejarah itu sendiri pun dihilangkan. Itu semua, kalau kita mau jujur, tidak
dapat dilepaskan dari tekanan-tekanan internasional terhadap para elit politik
kita pada masanya. Nah, bukankah dengan demikian secara de facto itu
terjadi, sekalipun secara akademis kita tidak menemukannya dalam
literatur-literatur sejarah?
Paragrap di atas hanya untuk
menjelaskan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan perubahan-perubahan di
Indonesia tanpa mengaitkannya dengan konteks global hanya akan menemui
kegagalan. Gagal dalam pengertian bahwa kita hanya akan ikut menikmati
keramaian pasar malam tapi kita tidak akan pernah mendapat apa-apa dari
keramaian itu selain hanya menjadi penonton yang harus membayar harga tiket,
padahal kita menonton di dalam gedung pertunjukan kita sendiri. Demikian pula,
hingar-bingar politik-ekonomi yang terjadi selama ini sebenarnya lebih menjadi
permainan orang-orang yang ada jauh di seberang sana sementara kita tidak
mengetahui bahwa itu semata-mata sebuah permainan. Ambil contoh, misalnya,
globalisasi dan free trade. Kita selama ini ikut terlibat dalam
diskusi-diskusi tentang globalisasi dan free trade hanya untuk
membenarkan masuknya modal-asing dan produk-asing ke dalam negeri Indonesia
tanpa dikenakan aturan-aturan yang ketat. Itu semua karena kita tidak melihat
panggung yang namanya Indonesia ini senyata-nyatanya sehingga kita selalu salah
mengeja kata Indonesia itu sendiri.
Oleh karena itu, kita perlu
melihat Indonesia di dalam gambar yang lebih besar lagi, yaitu dunia. Dengan
melihat Indonesia sebagai bagian dari sebuah sistem dunia yang sedang berjalan
kita dapat mengenali relasi apa yang sedang terjadi di dalam sebuah peristiwa.
Dengan mengenali relasinya kita dapat melihat pola-pola yang digunakan oleh
sistem tersebut untuk beroperasi. Katakanlah, kita perlu melihat dengan
perspektif sistem dunia ini, lalu
bagaimana kita menghubungkan perubahan-perubahan internal Indonesia dengan
sistem dunia ini?
Adalah Immanuel Wallerstein dan
teman-temannya di Fernand Braudel Center Binghamton University yang mencoba
memperkenalkan perspektif sistem-dunia ini sebagai alat-baca. Dalam pandangan
para world-systemizers, dunia ini terbagi ke dalam dua wilayah kerja (international
divison of labor), yaitu core dan periphery. Dan di antara
keduanya terdapat wilayah transisi (katakanlah, wilayah penyangga), yang
disebut sebagai semi-periphery. Dilihat dari arus umum
produksi-distribusi-wilayah perebutannya, maka negara-negara yang tergolong
dalam kategori periphery adalah penyedia raw materials sekaligus
sebagai pasar bagi produksi negara-negara yang disebut core tersebut.
Dalam praktiknya, saat ini kita
melihat bagaimana negara-negara seperti AS dan sekutu-sekutunya berusaha
melakukan akumulasi secara besar-besaran atas raw materials di
negara-negara tertentu dengan dalih memerangi terorisme demi kelangsungan
industri mereka. Sebagai contoh, misalnya, rencana serbuan ke Iraq sebenarnya
tidak didasari atas potensi Iraq sebagai ancaman nuklir dan senjata biologis,
tetapi lebih disebabkan oleh ambisi AS untuk menguasai kawasan Timur Tengah dan
Asia Tengah yang mempunyai cadangan minyak yang melimpah. Setelah Arab Saudi
dan masalah Palestina (Palestina Question) sebagai pintu masuk bagi
kehadiran militer AS di kawasan ini, maka satu per satu negara-negara minyak di
kawasan Teluk akan jatuh ke dalam kendali AS.
Konflik Arab yang terjadi selama
setengah abad terakhir memang dipelihara untuk memberikan legitimasi bagi
kehadiran AS dan sekutu-sekutunya. Dari pendirian negara Israel sampai Perang
Teluk, Penyerbuan Afghanistan dan, yang terakhir, rencana penyerbuan Iraq
melibatkan aktor dan kepentingan yang kurang-lebih sama, yaitu penguasaan
sumber-sumber energi terbesar dunia. Dilihat dari pernyataan Presiden AS Bush
Jr. beberapa saat yang lalu tidak lama setelah penyerangan Gedung WTC di New
York, 11 September 2001, pada saat serbuan ke Taliban Afghanistan sedang
gencar-gencarnya bahwa ada poros kejahatan (axis of evil) yang harus
dihancurkan karena mengancam keamanan manusia (human security), yaitu
Korea Utara, Iraq dan Iran. Dua yang pertama, Korea Utara dan Iraq, sedang
bersiap-siap untuk menghadapi serbuan AS dan sekutu-sekutunya. Kedua negara ini
dituduh telah mengembangkan senjata pemusnah massal tanpa ijin. Sementara Iran
tinggal menunggu gilirannya.
Artinya, yang lebih dominan
bermain pada hakikanya bukanlah internal actors, tetapi aktor-aktor
global yang berusaha mempertahankan sebuah pola pembagian kerja tertentu yang
lebih menguntungkan pihak mereka sekalipun harus melakukan penindasan terhadap
kelompok-kelompok lemah.
Ini adalah sebuah struktur
sekaligus sistem-dunia, yang dapat ditangkap hanya melalui analisis siklus
sistem dunia itu sendiri, tidak dari peristiwa tertentu saja.
Jika kita telah sepakat bahwa ada
suatu international division of labor yang dipaksakan terhadap
negara-negara di dunia, maka sebenarnya kita dapat membandingkannya dengan
situasi zaman kolonial ketika penduduk negara-negara jajahan dipaksa untuk
memproduk bahan-bahan tertentu demi kepentingan negara-negara penjajah. Hanya
saja, pola baru ini menggunakan perangkat ilmiah yang canggih: ‘globalisasi’,
‘free-trade’, ‘privatisasi’ dan sebagainya. Dengan perangkat akademik yang
canggih, negara-negara yang diperkosa justru tidak merasa sedang diperkosa.
Dengan masokisnya, para elit negara-negara ini justru meminta diperkosa karena
pemerkosaan itu mendatangkan kebahagiaan tertentu.
Dewasa ini, gerak maju struktur
dan sistem global ini memang tidak terbendung lagi. Saat ini, hampir-hampir
tidak ada jalan-keluar yang mungkin dari sistem pasar dunia yang terintegrasi.
TINA, There Is No Alternative. Ini lah kemudian yang mengubah orientasi
ideologi partai-partai berhaluan kiri seperti Partai Buruh Inggris dan Partai
Demokrat AS menjadi penyeru kebijakan-kebijakan kanan. Dunia tengah digeser ke
kanan, sehingga kebijakan-kebijakan negara yang pro-rakyat kecil semakin dikucilkan
dari wacana publik. Semuanya diserahkan kepada pasar yang dalam kapasitasnya
sebagai spontaneous order dapat mengatur dirinya melalui invisible
hands.
Lalu, apa arti semua ini bagi
Indonesia?
Mekanisme pasar sejauh membuka
kesempatan kepada semua pihak untuk berinteraksi secara setara dapat diterima.
Tetapi dalam sistem neoliberal seperti yang sekarang kita temui ini, dijumpai
sebuah kondisi di mana prinsip kesetaraan tidak ada, atau terjadi interaksi
yang asimetris. Prinsip perdagangan bebas yang dipandu dengan sistem
monetarisme hampir-hampir tidak menyisakan ruang bagi ekonomi kecil untuk dapat
survive. Para pemilik modal besar lah yang memiliki kesempatan emas untuk
bermain dalam sistem ini.
Nah, Indonesia sekalipun baru
akan masuk dalam perdagangan bebas dengan diresmikannya AFTA (persetujuan pasar
bebas Asia), tetapi jika dianalisis lebih dalam Indonesia tidak akan dapat
berbuat banyak di hadapan modal-modal asing raksasa. Kita dapat membayangkan
bagaimana seandainya sektor-sektor ekonomi yang menguasai hajat-hidup orang
banyak akan dikuasai oleh segelintir individu yang dengan leluasa akan dapat
memainkannya untuk kepentingan pribadinya. Negara yang seharusnya mengabdi demi
hajat hidup orang banyak telah dipreteli kekuasaannya oleh pasar, sehingga
tidak lebih hanya akan bertindak sebagai agen pasar berhadapan dengan
masyarakatnya sendiri.
Dengan agenda payung privatisasi,
misalnya, kita telah dan akan melihat bagaimana banyak BUMN (SOEs)
diprivatisasi demi memenuhi budget pemerintah yang telah mengalami defisit.
Yang menarik adalah privatisasi itu terjadi atas desakan IMF, yang merupakan
kepanjangan tangan negara-negara core dalam moneter dunia. Ini secara
gamblang menjelaskan bagaimana pemerintah (baca:negara) tidak berdaya di
hadapan sistem pasar yang telah mapan (neoliberalisme).
Yang sangat ironis, di tengah
kencangnya gerak maju neoliberalisme justru tidak ada struktur lokal yang mampu
menghadapinya. Struktur lokal telah terfragmentasi sedemikian rupa sehingga
neoliberalisme dapat menjebol benteng Indonesia tanpa perlawanan sama sekali.
Dalam hubungan antara negara, bangsa, pemerintah dan rakyat yang sama sekali
tidak saling terkait kita menyaksikan bahwa Indonesia telah benar-benar
terkunci dalam gerak sejarah. Jika hari ini adalah lima puluh tahun yang silam
dan kita telah memiliki keawasan seperti hari ini, niscaya kita akan memilih
jalan Mao Tse Tung atau jalan Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated
independence seperti yang telah kita alami. Seandainya kita memiliki
kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri dalam
interaksi global yang asimetris ini, maka politik isolasi mungkin adalah
pilihannya. Resikonya adalah seperti apa yang telah dialami Cina (RRC), selama
beberapa dekade sibuk berbenah diri, melakukan reformasi struktur internal dan
kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon
dunia. Tentu, Cina memiliki berbagai kekhasan yang tidak dapat disamakan dengan
Indonesia, tetapi paling tidak ia merupakan gambaran bahwa There is (an)
Alternative (TIA) selain blue-print AS yang harus diikuti
negara-negara periphery.
Tetapi, yang namanya kesadaran
memang selalu datang terlambat setelah segala sesuatunya telah lewat. Dan
itulah struktur dunia, yang dapat kita lihat tatkala segala sesuatunya telah
terlambat. Kita hanya mampu meratapinya di tengah-tengah ketidakberdayaan
menghadapi tekanan struktur global. Struktur lokal kita telah lama pecah karena
tekanan struktur global terlalu kuat. Tugas gerakan paling tidak adalah memompa
kembali gelembung-gelembung struktur yang tersisa (jika masih ada), sembari
menghambat daya tekan struktur global yang telah terlanjur masuk sampai ke
halaman belakang (back-yard) rumah kita.
Paradigma Menggiring Arus: konsep dan operasinya
Akhir abad XX dan awal abad XXI
ini telah menyaksikan maraknya gerakan anti-globalisasi yang telah
mengharu-biru Seattle sampai Genoa dan sekarang mulai menyebar ke negara-negara
dunia ketiga (baca: periphery). Gerakan ini bagi penulis adalah gerakan
melawan arus, yaitu arus maju neoliberalisme.
Menurut penulis, gerakan seperti
ini akan mengalami kegagalan dalam situasi seperti ini karena nalar
anti-globalisasi sama dengan nalar globalisasi. Tidak ada ruang strategi yang
tersisa dengan gerakan yang demikian frontal. Di negara-negara maju gerakan
semacam ini dimungkinkan karena ditopang oleh kesadaran strategis yang
mendalam, sementara di negara-negara periphery seperti Indonesia,
gerakan ini berubah menjadi semacam konsorsium LSM, konsorsium LSM
Anti-Globalisasi yang mengajukan diri untuk mendapatkan kucuran dari funding
agencies sebagai kepanjangan tangan dari TNCs dan MNCs atau bahkan
kepanjangan tangan langsung dari suatu pemerintah. Artinya, gerakan
anti-globalisasi di Indonesia menjadi lelucon bahan tertawaan di siang hari.
Atau katakanlah gerakan itu
benar-benar didasari oleh suatu keyakinan bahwa globalisasi telah membunuh
ekonomi masyarakat kecil, tetapi karena gerakan itu tidak mempertaruhkan sebuah
skenario pasca-perlawanan (skenario sukses), maka gerakan itu akan berubah
bentuk menjadi heroisme individu-individu belaka, yang justru dimanfaatkan oleh
para aktor politik untuk meraih keuntungan dari gerakan ini. Lantas, apakah
gerakan yang tepat adalah gerakan pro-globalisasi tanpa reserve?
Saya kira, gerakan
pro-globalisasi tanpa reserve berarti menghanyutkan diri dalam arus globalisasi
tanpa pengetahuan yang cukup bagaimana harus menepi, karena sekali tersedot
arus, maka akan sulit untuk kembali. Bentuknya yang paling kongkrit adalah menjadi
agen kepentingan-kepentingan global baik pada aras wacana maupun pada aras
operasi khusus mereka. Hanyut dalam arus neoliberalisme berarti menjadikan uang
sebagai tanah air dan bangsa, karena ideologi pasar bebas tidak mengenal
batas-batas teritori negara-bangsa. Yang dikenal adalah hambatan-hambatan
tarif, proteksi, subsidi, nasionalisasi. Itulah batas-batas “negara-pasar” (market-state).
Gerakan yang berangkat dari kedua
paradigma di atas, mengikuti arus dan melawan arus, akan mengalami kegagalan karena
tidak mempertaruhkan sesuatu yang lebih besar dari pada proyek politik isu
tunggal dan heroisme belaka. Atau gerakan ini memang tidak didesain untuk
melakukan perubahan sistem dalam jangka panjang. Karena nalarnya yang mediatik
(ukuran keberhasilannya diukur dari coverage media terhadap
aksi-aksinya), maka sangat jelas bahwa orientasinya hanya bersifat jangka
pendek. Gerakan-gerakan inilah yang didorong justru oleh struktur
neoliberalisme karena gampang dipatahkan dan diaborsi.
Mari kita mencoba melihat nalar
masing-masing gerakan ini. Gerakan Anti-Globalisasi (jika sungguh-sungguh)
didominasi oleh nalar anti-asing (xenophobia), yang melihat setiap orang
luar yang masuk ke dalam wilayahnya sebagai ancaman tanpa mencoba mengambil
manfaat dari interaksi yang mungkin terjadi antara keduanya. Karena globalisasi
berintikan pemain-pemain asing yang dilihat sebagai ancaman, maka untuk
melawannya harus dengan gerakan anti-globalisasi. Gerakan ini menafikan
interaksi dan komunikasi, pertukaran antara global structure dengan local
structure. Nalar anti-asing ini bermanfaat jika secara strategis dapat
digunakan untuk membangkitkan semangat dan kreatifitas internal berhadapan
dengan global threat tadi. Tetapi dampak yang ditimbulkan oleh nalar
semacam ini adalah isolasi diri dari pergaulan dunia, tanpa mencoba untuk
belajar dari keberhasilan negara-negara lain, walaupun tidak harus mengikuti
jalan mereka.
Sementara, nalar para pendukung
buta globalisasi adalah nalar agent (baca: marsose) jika diletakkan
dalam kondisi kerapuhan dan fragmentasi struktur lokal ini. Nalar ini bekerja
sesuai dengan keinginan supplier dan produsennya, tidak mempunyai
kesetiaan terhadap komunitas besar dari mana ia berasal dan menghanyutkan diri
dalam hiruk-pikuk kepentingan sang juragan. Yang menarik, di level praxis
gerakan anti-globalisasi akan dihadapkan dengan agen-agen ini. Jadi medan
pertempuran kedua gerakan ini tetap di dalam kampung sendiri, sehingga ketika
pertempuran usai hanya menyisakan puing-puing, sementara barang-barang berharga
milik kampungnya telah dijarah oleh sang juragan.
Kedua model gerakan ini tidak
memiliki contingency plan, karena memang tidak didesain untuk dapat survive.
Ini dapat terlihat dari jalur-jalur produksi-distribusi-warring position
yang tidak tepat. Atau dengan kata lain, nalar yang dipakai adalah nalar
inlander dan heroisme LSM.
Lalu, gerakan seperti apa yang mampu menjamin terbangunnya jalur-jalur produksi-distribusi-warring
position seperti yang kita diskusikan di awal tulisan ini?
Gerakan seharusnya ditujukan
untuk kemajuan (progress) komunitas besar dari mana ia berasal. Kemajuan
dalam pengertian “naik-kelas” dari komunitas yang tidak dapat berbuat apa-apa,
menjadi bersuara dan didengar oleh orang lain.
Tentu, naik kelas di sini berada pada level dunia. Kerja-kerja gerakan
adalah kerja-kerja sistem dunia (baca: peradaban), sehingga para aktivis
gerakan tidak terjebak dalam kenikmatan sesaat yang ditawarkan oleh sistem yang
hendak diubahnya.
Dalam situasi dan kondisi yang
penulis telah paparkan di muka, yaitu kuatnya penetrasi struktur global di atas
fragmentasi struktur lokal, maka strategi gerakan yang paling dimungkinkan dan
memiliki tingkat survival yang tinggi adalah gerakan yang mampu bermain di
tengah-tengah tekanan ini. Dari sini, gerakan ini setidaknya melakukan
perebutan (warring positions) di tiga front sekaligus: local front,
global front, dan internal-movement front. Karena itu, strategi
yang harus digunakan adalah multi-level strategies. Kita harus
meninggalkan single strategy yang selama ini kita gunakan dengan dalih
konsistensi gerakan. Jadi, bukan lagi anti-systemic movement a-la
Wallerstein, bukan juga systemic movement, tetapi non-systemic
movement. Kenapa bukan anti-sytemic movement, karena ini dapat
terpeleset menjadi korban. Bukan systemic movement pun karena tidak
ditujukan untuk memperkuat sistem yang berjalan. Tetapi non-systemic
movement, berjalan di dalam sistem yang tengah beroperasi tetapi tidak
bekerja untuk sistem tersebut sambil menciptakan conditions of possibilities
untuk membangun sistem yang sama sekali berbeda. Ini terkait erat dengan
strategi gerakan multi-level dalam front yang berbeda. Dengan demikian, ini
meniscayakan multi-centers yang saling memahami posisi masing-masing.
Dalam tataran tertentu, memang, diperlukan central-planner.
Nah, gerak di tiga front tersebut
secara terpusat memerlukan kelenturan yang luar biasa. Ini terkait dengan
energi di ketiga front. Pada suatu ketika struktur global diperlukan untuk
menghapuskan local structural constraints yang membahayakan gerakan.
Demikian pula, struktur lokal juga diperlukan untuk menghambat gerak maju
struktur global tersebut. Di luar keduanya, front dalam-gerakan (internal
movement) menempati posisi yang paling penting dalam kontinuitas gerakan
membangun sistem karena front ini adalah home-base bagi kedua yang lain.
Justru, semua energi yang diperoleh dari perebutan di front lokal dan global
tersebut harus dipertaruhkan untuk memperkuat front ini. Di sini lah hidup-mati
gerakan.
Demikianlah, kira-kira “konsep”
paradigma menggiring arus yang non-sistemik.
Di tingkat operasional, paradigma
ini dapat dimulai dengan hal-hal yang sangat sederhana. Untuk front global
dapat dimulai dengan membangun sebuah pusat kajian untuk menemukan pintu masuk
ke lapangan perebutan, seperti pusat kajian pasar bebas, pusat kajian Cina dan
sebagainya. Sementara untuk front lokal, dapat dimulai dengan membangun kajian
tentang kerja-sama antar pulau (insular cooperation) dan sebagainya
untuk membangun jalur-jalur produksi dan distribusi di tingkat lokal yang
memungkinkan terjadinya kecukupan di tingkat lokal (nasional) ketika
jalur-jalur konvensional patah. Pada gilirannya front dalam-gerakan menyediakan
mekanisme kaderisasi yang secara terus-menerus menyediakan para pemain untuk didistribusikan
di semua front. Sebagai home-base, maka front ini harus totally
secured. Secara akumulatif-sirkular, gerakan ini akan memperbesar ruang
pengaruhnya (sphere of influence) sehingga berhasil membangun
tata-peradaban yang baru.
Penutup
Paradigma menempati posisi yang
sangat penting dalam gerakan sebagai pemandu-gerak. Diawali dengan pembacaan
realitas masalah yang demikian kompleks, maka paradigma harus mencerminkan
masalah sebenarnya yang tengah dihadapi oleh kita semua sebagai komunitas besar
‘bangsa’ Indonesia. Tanpa diawali dengan pembacaan semacam ini, perdebatan
paradigma pasti akan terjebak ke dalam logosentrisme yang sia-sia.
PMII selama hampir 50 tahun
usianya belum menjadi gerakan yang terstruktur dengan paradigma seperti ini.
Sehingga, tidak pernah terjadi akumulasi yang dapat menghantarkan generasi
berikut menuju tangga gerakan yang lebih tinggi. PMII tetap terkotak di dalam
NU, tidak mampu bermain di luar dan kemudian melakukan transformasi internal di
NU.
Nah, di tengah-tengah derasnya
gelombang liberalisme pasar dan fragmentasi struktur lokal, maka PMII
menghadapi setidaknya tiga front besar, yaitu: front lokal, front global, dan
front dalam-gerakan. Karena itu, PMII harus membangun multi-levels
strategies dalam gerakan yang multi-centers. Dengan kata lain, PMII
harus memindah ruang gerakan. Hanya dengan strategi semacam ini PMII dapat survive
untuk memenuhi misi-visi panjangnya, membangun peradaban.
0 komentar:
Posting Komentar