PENGERTIAN
Paradigma merupakan cara pandang yang mendasar dari
seorang ilmuwan. Paradigma tidak hanya
membicarakan apa yang harus dipandang, tetapi juga memberikan inspirasi,
imaginasi terhadap apa yang harus dilakukan, sehingga membuat perbedaan antara
ilmuwan satu dengan lainnya. Paradigma merupakan konstelasi teori, pertanyaan,
pendekatan, dan prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi
sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas
sosial. Paradigma merupakan konstelasi dari unsur-unsur yang bersifat
metafisik, sistem kepercayaan, filsafat, teori, maupun sosiologi, dalam
kesatuan kesepakatan tertentu untuk mengakui keberadaan sesuatu yang baru.
Paradigma adalah model atau sebuah pegangan untuk memandu mencapai tujuan.
Paradigma,
juga merupakan pegangan bersama yang dipakai dalam berdialog dengan realitas.
Paradigma dapat juga disebut sebagai prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan
acuan dalam segenap pluraltas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan
juang.
Dengan
paradigma pergerakan, diharapkan tidak terjadi dikotomi model gerakan di dalam
PMII, seperti perdebatan yang tidak pernah selesai antara model gerakan
“jalanan” dan gerakan “pemikiran”. Gerakan jalanan lebih menekankan pada
praksis dengan asumsi percepatan transformasi sosial. Gerakan ini terjun
langsung pada basis-basis masyarakat yang menjadi korban perubahan sosial.
Sedangkan model gerakan pemikiran bergerak melalui eksplorasi teoritik,
kajian-kajian, diskusi, seminar dan pertemuan ilmiah yang lainnya, termasuk
penawaran suatu konsep kepada pihak-pihak yang memegang kebijakan, baik
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Perbedaan antara kedua model tersebut
tidak hanya terlihat dalam praksis gerakan, tetapi juga berimplikasi pada obyek
dan lahan garapan. Apa yang dianggap penting dan perlu oleh gerakan jalanan
belum tentu dianggap penting dan perlu oleh gerakan intelektual dan begitu
sebaliknya, walaupun pada dasarnya kedua model tersebut merupakan satu
kesatuan.
Dalam
sejarahnya, gerakan mahasiswa selalui diwarnai perdebatan model jalanan dengan
intelektual. Begitu juga sejarah PMII selalui diwarnai dengan “pertentangan”
yang termanifestasikan dalam gerakan politik-struktural dengan gerakan
intelektual-kultural. Padahal semestinya kedua kekuatan model tersebut tidak
perlu dipertentangkan sehingga memperlemah gerakan PMII itu sendiri. Upaya
untuk mencari prinsip dasar yang menjadi acuan segenap model gerakan, menjadi
sangat penting (urgen) untuk dirumuskan. Sehingga pluralitas setinggi apapun
dalam model dan strategi gerakan, tidak menjadi masalah, dan bahkan secara
sinergis bisa saling menguatkan dan mendukung. Letak paradigma adalah dalam
menjaga pertanggungjawaban setiap pendekatan yang dilakukan sesuai dengan
lokalitas dan kecenderungan masing-masing.
Dalam
pembahasan lebih lanjut akan diuraikan paradigma PMII, dimulai dengan (1)
pembacaan kondisi sosio-politik bangsa, yang telah melahirkan dealiranisasi
partai politik dan depolitisasi aliran, pembacaan latar belakang identitas diri
PMII, kultur-sosial dan pendidikan. Selanjutnya, akan dibahas (2) teologi
antroposentrisme-transendental; (3) filosofi gerakan yang meliputi liberasi dan
independensi; (4) teori dan etika sosial, yang meliputi pandangan PMII dan
pilihan pendekatan dalam memperjuangkan keadilan (al-adalah), persamaan (al-musawwah); dan demokrasi (asy-syura); (5)
rakayasa dan transformasi sosial yang berbentuk free market of ideas dan advokasi; dan out-put gerakannya dapat berwujud pressure group dengan wilayah kerja grassroot, mediator dan
profesional lobby.
I.
LATAR BELAKANG
A.
Kondisi Sosio-Politik Bangsa
Restrukturisasi politik yang dilakukan Orde Baru telah
menghasilkan sebuah format politik baru yang ciri-ciri umumnya tidak jauh
berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) di beberapa negara Amerika Latin dan
Asia. Ciri-ciri itu antara lain adalah
1) munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya kemudian
“mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya, 2) menonjolnya
peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi
dan politik, 3) semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam
masyarakat – termasuk kaum intelektual, 4) diterapkannya model politik
eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan
politik dan 5) penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh
dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada.
Kondisi sosio-politik bangsa semenjak satu dasawarsa
kelahiran PMII (1970-an) sampai sekarang dapat disimpulkan menjadi dua; adanya
hegemoni penafsiran realitas sosial oleh pemerintah dan terjadinya proses
dealiranisasi partai politik dan depolitisasi aliran.
Hegemoni penafsiran realitas sosial ini ditandai dengan empat
kenyataan. Pertama, budaya politik Orde Baru didasarkan pada elisitas
dibanding sikap terbuka dan populis dalam setiap perekrutan elite penguasa.
Selama ini tidak ada transparansi sistem rekruitmen anggota DPR-MPR, menteri
dan posisi strategis pemerintah lainnya yang memungkinkan setiap individu dapat
melakukannya dengan demokratis. Perekrutan elite pemerintah selalu didasarkan
pada sistem patronase dan jaringan perkoncoan
yang sangat tertutup serta tidak dapat menjadi kontrol publik. Masyarakat umum
tidak mempunyai ruang bebas untuk membicarakan pikiran secara transparan,
sehingga terjadilah rasa dan sikap-sikap a-demokratis di antara semua komponen
bangsa.
Kedua, semua agenda dan wacana perpolitikan nasional selalu dimulai
dari negara. Dengan kata lain, semua persoalan sosial-politik harus menegara,
sehingga tidak memberikan ruang gerak kepada rakyat untuk tidak membicarakan
apa yang diagendakan oleh negara. Dengan lima pilar dasarnya – lembaga
kepresidenan, ABRI, Birokrasi, Pers dan Agamawan – pemerintah dengan leluasa
membuat agenda nasional, dan mana yang harus menjadi wacana publik. Sehingga
walau ada organisasi ataupun individu-individu yang kuat integritasnya
melakukan counter wacana akan tetap
tenggelam dalam arus besar penyeragaman wacana pemerintah.
Ketiga, kuatnya hegemoni struktur negara atas independensi rakyat.
Semua pembangunan disentralisir dalam satu titik pusat yang mengakibatkan
kapasitas, kemampuan serta keunikan daerah hilang dan tidak mempunyai daya
tawar untuk melakukan pembangunan sesuai dengan keragaman lokalitas yang
dimilikinya. Dengan sentralisasi, aparat struktur kekuasaan selalu legitimate dalam mengklaim kepentingan
diri dan kelompoknya menjadi kepentingan rakyat banyak.
Keempat, komponen bangsa ataupun negara cenderung menggunakan
legitimasi kuantitas massa untuk menuntut kepentingan politik. Kepentingan
politik, baik berupa representasi kekuasaan maupun tindakan penekanan selalu
menggunakan alur dan ranah kekuatan massa yang dimilikinya. Perebutan dan
percaturan politik tidak lagi didasarkan pada kapasitas dan kualitas individu
yang semestinya dapat memperkuat bangunan institusi negara yang demokratik.
Proses deideologisasi dan dealiranisasi partai-politik dan
depolitisasi aliran sebagai gejala umum dari negara berkembang pasca
kemerdekaan. Tahun-tahun setelah Perang Dunia II, berkembang dengan pesat
kecenderungan dalam percaturan politik: deideologisasi dalam lingkup sangat
luas. Idologi-ideologi besar di dunia harus memberikan tempat pada pemunculan
kehidupan politik tanpa ideologi. Kalaupun ideologi masih dipertahankan itu
hanyalah semacam formalitas yang tidak meyakinkan siapapun.
Setelah Indonesia merdeka, bukan utama berupa nasionalisme
yang berkembang, melainkan serangkaian varian dari sebuah ideologi yang umum,
yang bentuk utamanya adalah paham kebangsaan diluar nasionalisme sebagai
ideologi. Paham kebangsaan sementara itu hanyalah gambaran samar dari kobaran
api nasionalisme semula. Ia hanyalah sekedar kekuatan pengikat yang tidak memiliki daya dobrak apapun.
Nasionalisme lama yang berkembang dalam era 30-an sampai
50-an dalam perkembangan selanjutnya mengalami penurunan, bahkan perlahan-lahan
memudar digantikan oleh perbenturan antar golongan dan antar kelompok. Walau
dalam era “Orde Lama” , dicoba untuk dibangun kembali seperti dengan keluarnya
Dekrit 5 Juli 1959, terlahirnya slogan Nasakom sebagai ideologi gabungan guna
merangsang semangat kesatuan yang akan mendukung persatuan bangsa yang paling
dalam akhirnya juga mengalami kemacetan ideologis, dan terakhir dengan
memunculkan “Nekolim” (neokolonialisme), sebagai ideologi untuk mengatasi
bahaya dari luar juga tidak banyak menolong.
Kelahiran Orde Baru merupakan kelahiran masa yang sama sekali
menghilangkan perdebatan dan kemacetan ideologi, sebagaimana yang terjadi pada
masa Orde Lama. Dengan memunculkan tema pembangunan (developmentalisme), telah mensubordinasikan paham kebangsaan kepada
sesuatu yang sama sekali tidak ideologis; yaitu pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi sebagai kuasi ideologi menghasilkan teknokrasi yang secara
umum memang bebas ideologi.
Dalam kondisi demikian muncul aliansi baru, yaitu antara kaum
profesi, birokrat pemerintahan dan militer. Aliansi ini, dengan sendirinya
untuk kepentingan kongkrit akan rekayasa masyarakat guna mendukung program
pembangunan ekonomi secara massif, menggeser kedudukan ideologi, yang selama
masa sebelumnya menjadi tumpuan kehidupan politik. Orde Baru, disadari atau
tidak telah menurunkan suhu ideologis dalam kehidupan politik. Berbagai
pendekatan substitutif ditampilkan untuk menghilangkan ketergantungan terlalu
tinggi kepada ideologi, dari dorongan olahraga hingga terbentuknya
kelompok-kelompok minat di kalangan generasi muda dalam berbagai kehidupan.
Kekuatan partai-partai politik dengan ideologi lama
(Nasionalisme, Sosialisme dan Islam) dipotong untuk digantikan dengan munculnya
partai-partai politik baru (PPP dan PDI) dan organisasi politik Golkar, yang
dengan sengaja menunda untuk sementara pengembangan ideologis kehidupan politik
secara keseluruhan. Titik terjauh (klimaks) dari upaya ini adalah
dihilangkannya ideologi di luar Pancasila, melalui asas tunggal.
Fenomena di atas telah melahirkan kenyataan-kenyataan lain,
yaitu, pertama, lemahnya kekuatan
partai politik. Partai-partai politik (PPP dan PDI) yang semestinya mampu
memerankan daya tawar masyarakat tidak lagi mempunyai “taring” yang dapat
menekan. Dihilangkannya ideologi partai dan digantikannya adu konsep dan
program pembangunan membuat partai-partai politik hanya mampu menilai
keberhasilan pembangunan yang ada. Kelaupun mengadakan koreksi atas jalannya
pembangunan, itu-pun mampet dalam penawaran konsep pembangunan yang masih
diragukan pengalaman aplikasinya. Ketidakmampuan partai politik di atas,
mengakibatkan mandulnya lembaga-lembaga yang semestinya mampu menyuarakan hari
nurani rakyat, seperti DPR dan MPR. Kenyataan ini membuat pincangnya sistem
politik demokrasi di Indonesia. Partai politik yang semestinya menjadi saluran
aspirasi rakyat, kehilangan garis perjuangan sebagai akibat dari hilangnya
ideologi. Partai politik tidak lagi mempunyai garis perjuangan yang baku,
sebagaimana yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Kedua, sebagai akibat langsungnya adalah munculnya kekuatan-kekuatan
politik di luar lembaga politik yang ada. Dalam sejarah Orde Baru,
kekuatan-kekuatan politik silih berganti menemani, melegitimasi dan menjadi
mediator serta menopang proses pembangunan yang ada. Pada awal-awal Orde Baru,
pemerintah lebih memberikan tempat kepada CSIS sebagai think-thank pembangunan ekonomi sampai akhir PJP I. Memasuki PJP
II, pemerintah mulai memberikan ruang kepada kelompok Islam yang tergabung
dalam ICMI dengan CIDES sebagai think
thank-nya. Demikian juga dengan ormas lainnya, mengalami silih berganti
sebagai “teman” yang melegitimasi sekaligus memberikan masukan
kritis-konstruktif bagi perjalanan pembangunan. Dengan kata lain, di saat
memudarnya kekuatan partai politik, muncul kekuatan politik yang memerankan
sebagai kelompok penekan (pressure group)
dan mempunyai daya tawar cukup tinggi.
Ketiga, semakin kuatnya peran kelompok teknokrat yang berafiliasi
dengan birokrat pemerintahan dan militer. Sebagaimana menjadi wataknya,
pembangunan (developmentalisme)
merupakan refleksi dari paradigma Barat tentang perubahan sosial, dengan
mengangankan terjadinya gerakan selangkah demi selangkah menuju higher modernity, sebuah tatanan
kemajuan ekonomi dan teknologi sebagaimana yang telah dicapai oleh
negara-negara industri maju. Dalam konteks Indonesia (dan negara-negara
berkembang lainnya), developmentalisme dipahami hanya sebagai “general improvement in the standard of
living”.
Karena pembangunan hanya dipahami sebagai upaya untuk
mencapai kemajuan ekonomi dan teknologi, maka sangat membutuhkan tenaga-tenaga
terampil dan profesional dari kalangan teknokrat dan ekonom yang ditopang oleh
para birokrat (sebagai pelaksana keputusan pembangunan) dan militer (sebagai
institusi yang mengamankan jalannya pembangunan). Kelompok yang berada di luar
garis ini, dengan sendirinya tersingkir dari proses modernisasi tersebut.
Padahal, yang menjadi permasalahan utama dalam perubahan sosial adalah
bagaimana mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembangunan secara
partisipatoris.
Keempat, munculnya ideologi-ideologi baru sebagai manifestasi dari
nilai-nilai tradisional dan keagamaan. Ketika diberlakukan deideologisasi
terhadap partai politik, memang cukup memperoleh hasil: lemahnya peran partai
politik. Tetapi di balik keberhasilan tersebut mendorong munculnya
ideologi-ideologi alternatif, yang sama sekali jauh dari ideologi resmi pada
masa lalu yang sangat kultural. Hal ini juga disebabkan oleh adanya penjelasan
pembangunan yang serba positivistik, sehingga memunculkan solidaritas baru
dalam masyarakat dengan menggunakan ideologi sebagai penggeraknya.
Reideologisasi ini muncul dengan dua pola perkembangan utama.
Di satu sisi, langkanya ikatan ideologis dan kuatnya rekayasa teknokratis
memunculkan kecenderungan menampilkan semacam ideologi alternatif yang diambil
dari berbagai ideologi masa lalu, baik nasionalisme, agama maupun ikatan
komunal. Di sisi lain, munculnya ideologi baru tersebut dalam bentuk yang
sangat kultural, yaitu dengan merangkai nilai sehingga membentuk sebuah
ideologi yang lengkap dan utuh. Oleh karena itu, ideologi baru tersebut juga tidak
berupa ideologi politik, melainkan ideologi kultural seperti tuntutan
dihidupkannya nilai-nilai tradisional dan agama yang membutuhkan kerangka
ideologis. Tuntutan diperkuat dan diwujudkannya civil society yang akhir-akhir ini semakin menggelembung adalah
bagian dari agenda yang juga membutuhkan kerangka ideologis yang tidak mudah
dirumuskan.
Kebutuhan untuk menumbuhkan civil society dalam rangka mewujudkan negara demokrasi adalah
kesadaran akan lemahnya segenap komponen masyarakat berhadapan dengan negara,
sehingga kehidupan bangsa Indonesia diwarnai oleh marginalisasi rakyat
terus-menerus di hadapan negara. Akibat yang langsung dapat dilihat adalah,
lemahnya penegakan hukum, tidak adanya ruang publik bagi kontrol masyarakat,
dan lain-lainnya, yang ujungnya adalah kebobrokan sistem sosial, politik dan
budaya bangsa Indonesia.
Sementara itu, umat Islam sebagai bagian terbesar bangsa
Indonesia, belum mampu memberikan kontribusi kualitatif-konsepsional bagi
terwujudnya masyarakat bangsa yang mandiri, berdaya dan kreatif, hal ini
diperparah oleh peran agama yang sangat normatif dan formal. Hampir dapat
dipastikan bahwa kegairahan beragama di Indonesia tidak sebanding dengan
pelaksanaan substansi batas-batas kepantasan hidup sebagai bangsa, terkadang
malah terlibat dalam legitimasi berbagai penyimpangan dan penyelewengan
struktural.
Meskipun demikian, gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang
secara real memiliki basis massa (grass-root),
seperti NU, secara bertahap dan pasti telah mengambil peran penguatan rakyat (civil society), meskipun belum utuh
secara konsepsional. Masuknya tema HAM, Demokrasi dan Penegakan Hukum ke dalam
wacana agama adalah bukti bagi prospek peran agama di masa depan.
B.
Identitas Diri
Latar belakang warga PMII, sebagaimana masyarakat bangsa
Indonesia pada umumnya, secara antropologis hidup dan dibesarkan dalam budaya
masyarakat agraris yang indegeneuos
(asli). Padahal, dalam budaya dan mental agraris, tersirat sifat dasar seperti
menerima kenyataan dan keadaan dengan tanpa reserve (nrimo ing pandhum), feodal, dan lain sebagainya.
Secara sosiologis, masyarakat PMII berasal dari perkampungan
dan pedesaan yang tersebar di 27 propinsi Indonesia, dengan ragam budaya, suku,
etnis dan ras. Warga PMII sebagian besar juga dibesarkan dalam suasana dan
tradisi santri dengan kemampuan dasar agama dan semangat “tradisionalisme” yang
tinggi. Sumber aliran warga PMII adalah basis masyarakat dengan posisi politik
dan ekonomi yang marginal. Di sisi lain, warga PMII berasal dari “elite”
setempat, baik sebagai anak kyai, guru mengaji maupun imam masjid.
Secara teologis, sebagaimana bangsa Indonesia pada umumnya,
warga PMII menganut Aswaja sebagai ideologi dogmatis dengan karakter sejarah
yang bergantung pada alur sejarah teologi Islam masa lalu (abad pertengahan).
Basis teologi warga PMII pada awalnya berdiri dengan karakter sejarah yang
statis-romantis. Ruang dinamika kesejarahannya terhenti pada perdebatan yang
bercorak transendental-metafisik dan tidak empirik.
Dalam konteks disiplin keilmuan, masyarakat PMII dibentuk
dalam tradisi keilmuan yang berbasiskan ilmu-ilmu agama dan sosial humaniora.
Sementara itu, ilmu-ilmu eksakta dan teknologi tidak mendapat ruang sehingga
tidak terjadi diversifikasi peran keilmuan yang seimbang antara eksakta dan humaniora.
Secara politik dan ekonomi, PMI menjadi bagian dari – dan
lekat – dengan masyarakat yang berada dalam marjinalitas tertentu. Kesadaran
sebagai bagian dari keompok pinggiran ini dapat dijadikan roh, ideologi dan
spirit dari gerakan yang dilakukannya. Dan dari kesadaran ini pula akan
memunculkan identifikasi kultural dan rekayasa sosial yang spesifik dan sesuai
dengan kondisi latar belakang di atas.
Dari pembacaan kondisi sosio-politik bangsa dan identitas
diri kemudian muncul kebutuha akan adanya kerangka teori datau paradigma
gerakan PMI. Karena, di satu sisi PMII harus mengadakan penyadaran dan
pemberdayaan dari kondisi kultural-internalnya, di sisi lain juga harus
membebaskan sistem sosio-politik yang hegemonik menuju masyarakat bebas,
merdeka, adil dan makmur. Penyadaran,
pemberdayaan dan pembebasan ini sangat terkait dengan nilai keimanan yang
dianut oleh warga PMII, yaitu Ahlussunnah
waljama’ah.
PMII sebagai bagian dari student
movement di Indonesia telah mengukir berbagai gerakan pencerahan dan
pengembangan moralitas, khususnya di kalangan mahasiswa dan kaum muda. Melalui struggle for value building, PMI diakui menjadi kekuatan demokratisasi di Indonesia.
Sebagai bagian dari keluarga besar gerakan Islam, PMII dengan
totalitas kebangsaannya, secara produktif menjaga pilar-pilar pemikiran
pluralisme. Keislaman PMII adalah pribumisasi ajaran universal Islam, dengan
keteguhan total kepada segenap khazanah Islam dan bangsa Indonesia.
Komitmen keislaman dan keindonesiaan menyatu
gairah penggalian lebih lanjut spiritualitas dan substansi ajaran.
Walhasil, identitas PMII terletak pada tiga ruang gerak.
Pertama, intelektualitas, kedua religiusitas karena PMII, Islam, dan yang
ketiga adalah kebangsaan. Dengan menyadari identitas diri inilah kemudian PMII
dituntut untuk mampu kreatif dalam menggeliat dari arus penyeragaman yang dalam
sejarahnya pernah menjebak PMII menjadi sangat politis.
II.
DASAR TEOLOGI
Dalam sejarahnya, teologi ditekankan melalui pendekatan
intelektual terhadap iman, ditekankan pula nada iman yang penuh kepasrahan.
Pada saat sekarang perlu menekankan iman pada tindakan, dalam dunia dan
sejarahnya, yang memberi motivasi dan mengarahkan kegiatan hidup muslim dalam
sejarah dunia ini. Sejalan dengan itu pemahaman mengenai Tuhan harus dimulai
dari fakta historis. Tauhid hendaknya diletakkan sebagai tindakan. Kalau tidak,
dikhawatirkan terjadi seperti pada perkembagan saat ini; agama hanya terletak
pada institusi dan simbol belaka. Teologi mengarahkan kepada upaya melahirkan
konstruksi masyarakat ideal, masyarakat yang tidak dijamin oleh kekerasan,
melainkan kehidupan bersama yang dibangun atas dasar kasih sayang (rahman-rahim) tanpa pamrih, adil tanpa
kekerasan.
Dengan Ahlussunnah wal-jama’ah yang dipahami melalui manhaj al-fikr, menuntut adanya
perumusan ulang terhadap posisi manusia, baik di hadapan Tuhan maupun di sisi
manusia dan makhluk lainnya. Rumusan teologi ini tidak hanya membicarakan dan
membela Tuhan, baik yang berkaitan dengan keesaan, kekuasaan, keadilan maupun
sifat-sifat lainnya. Tetapi juga memberikan cakrawala yang luas dari aplikasi
sifat-sifat tersebut dalam kehidupan nyata manusia, seperti bagaimana sifat
keadilan Tuhan diterapkan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam
tatanan dunia modern. Jadi rumusan teologi ini tidak hanya membela Tuhan yang
“di sana”, tetapi juga membela manusia dan alam yang “di sini”, sebab membela
manusia di bumi adalah bagian utama dari membela Allah. Berkebudayaan dalam
bentuk kreasi, mencipta dan berperadaban adalah bagian dari proses manusia
berusaha menjadi hamba sejati Tuhan (Abdullah).
Mengenal Allah, bukanlah hal yang jauh dari diri manusia,
sebab Allah ada dalam diri kemanusiaan itu, sifat-sifat keilahian ada dalam
diri manusia sebagai wakil Allah (Khalifat
al-Allah). Implikasinya berwujud pada penegakkan nilai-nilai kemanusiaan
dan hak asasi manusia dengan penuh tanggung jawab. Baik secara individu melalui
perjuangan melahirkan kreatifitas, mencipta, untuk menebarkan kesejahteraan,
maupun penciptaan masyarakat yang otonom, mandiri dan tidak mudah digiring oleh kekuatan hegemonik apapun,
baik antar sesama manusia maupun dalam bentuk kebendaan.
Rumusan dasar di atas, disebut sebagai Teologi
Antroposentrisme-Transendental, sebuah teologi yang meletakan manusia
sebagai subjek utama (khalifatullah fi
al-Arld) yang mewakili tugas-tugas ketuhanan di bumi, yang berjalan dan
berproses hidup dalam sumbu-poros keilahian. Manusia memiliki kemerdekaan dan
kekuatan untuk menentukan nasib dirinya berdasarkan amanah Tuhan. Rekayasa
kebudayaan sepenuhnya berada dalam tanggung jawab manusia, berdasarkan
inspirasi, petunjuk dan nilai-nilai ketuhanan. Karena tingginya derajat dan
nilai kemanusiaan ini, maka manusia memiliki tugas ketuhanan untuk melahirkan
sebuah tatanan masyarakat baru yang tidak ada penguasaan orang satu atas
lainnya.
Tugas khalifatullah
dalam rekayasa sosial bukan berarti reduksi melalui kemajuan tatanan yang
material-temporal, melainkan satu tata baru yang dinamis. Segala bentuk
kehidupan kebudayaan melalui pelaksanaan pencerahan yang berjalan, tidak boleh
dimutlakkan dan “mandeg”, melainkan harus berkembang terus menuju kepenuhan.
Memang proses pencerahan terjadi dalam peristiwa sejarah, tetapi tidak berhenti
di sana dan terus-menerus harus dikritik, agar kekhalifahan tidak menjadi
penuhanan atas manusia dan kebendaan.
Pemahaman Islam sebagai agama tauhid, kehadirannya di dunia
tidak terlepas dari teologi pembebasan. Islam datang untuk menegakkan kalimat Laa ilaaha illa Allah, tiada Tuhan selain Allah. Suatu keyakinan (aqidah) yang menempatkan kepercayaan
kepada Allah SWT secara transendental, dengan menisbikan tuntutan ketaatan
kepada segenap kekuasaan duniawi serta segala perbedaan manusia dengan berbagai
jenis kelamin, status sosial, warna kulit, dan lain sebagainya.
Teologi ini tidak menempatkan manusia di antara dua titik
yang kontradiktif: sebagai khalifatullah
yang mempunyai tugas memakmurkan dengan keadilan, dengan sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah.
Akan tetapi, justru meletakkan manusia dalam totalitas khalifatullah sekaligus kesatuan dari proses abdullah.
Teologi antroposentrisme-transendental menempatkan manusia
pada tiga dimensinya. Pertama,
manusia ditempatkan pada kedudukan kemakhlukan yang sangat tinggi, yang
termaktub dari kerangka penciptaannya oleh Allah sebagai makhluk yang memiliki
kesempurnaan keadaan (ahsan al-taqwim).
Penempatan manusia pada tingkat yang tinggi ini pada dasarnya menuntut pula
penghargaan pada nilai-nilai dasarkehidupan manusia yang sesuai dengan
martabatnya: pelestarian hak-hak asasinya secara individual maupun kolektif,
pelestarian hak mengembangkan pemikiran sendiri tanpa takut terhadap ancaman
pengekangan, hak mengemukakan pendapat secara terbuka dan pengokohan hak untuk
mengembangkan kepribadian tanpa campur tangan dari orang lainnya. Kedua, menempatkan manusia dengan
memberikan hak sebagai pengganti Allah (khalifah
Allah) di muka bum, sebuah fungsi kemasyarakatan yang mengharuskan manusia
untuk memperjuangkan dan melestarikan cita hidup kemasyarakatan yang mampu
mensejahterakan manusia secara menyeluruh dan tuntat (rahmatan li al-alamin). Posisi demikian mengharuskan manusia
menjadi subyek perdamaian, kasih sayang, saling kasih, asah-asih-asuh dengan
sesamanya tanpa mempertimbangkan perbedaan apapun secara lintas kultur dan
lintas etnis. Manusia juga memiliki tugas untuk menentang pola kehidupan
bermasyarakat yang ekspolitatif, tidak manusiawi dan tidak berasaskan keadilan
dalam arti yang mutla. Ketiga,
menempatkan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri, akali dan
persepsi kejiwaan untuk hanya mementingkan masalah-masalah dasar kemanusiaan
belaka.
Kemampuan ini disalurkan melalui sejulah pranata keagamaan,
seperti teori filsafat, hukum, pendidikan, agama, ke dalam jalur penumbuhan
pandangan dunia yang mementingkan keseimbangan antara hak-hak perorangan dan
kebutuhan masyarakat manusia dalam penyelenggaraan hidup kolektif yang berwatak
humanis-universal.
Penempatan manusia sebagai pusat kebudayaan ini, mengandung
pemahaman bahwa manusia memiliki hak pemuliaan dan hak pelebihan seperti yang
telah dijamin sendiri oleh Allah dalam Al Qur’an sebagai haq al karomah dan haq
al-fadlillah.
III. DASAR FILOSOFI
Filosofi gerakan PMII didasarkan pada dua nilai yang sangat
fundamental: liberasi dan independensi. Liberasi merupakan kepercayaan dan
komitmen kepada pentingnya – dengan berbagai metode dan cara – untuk mencapai
pembebasan tiap-tiap individu. Praktek dan pemikiran liberasi mempunyai dua
tema pokok. Pertama tidak menyetujui
adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat. Kedua, menentang dari ekspansi dan hegemoni negara terhadap
keinginan bebas individu dan masyarakat.
Dari pemikiran di atas, minimal ada tiga tujuan dari liberasi
yang harus dikembangkan. Pertama,
memberikan kebebasan bereskpresi setiap individu. Kedua, memberikan kepercayaan kepad individu dan masyarakat untuk
mengekspresika kebebasannya agar berdaya guna bagi diri dan masyarakat
sekelilingnya. Ketiga, bagaimana
kebijakan-kebijakan pemerintah dapat memprotek (melindungi) kebebasan
berekspresi dan kemauan untuk bebas dari masyarakat.
Liberasi didasari oleh adanya kemampuan (syakilah) dan kekuatan (wus’a)
yang ada dalam setiap individu. Dengan kata lain, setiap individu mempunyai
kemampuan dan kekuatan untuk mengembangkan dirinya tanpa harus terkungkung oleh
pemikiran dan kultur dan struktur yang ada di sekitarnya. Pengembangan
kemampuan dan kekuatan tersebut harus dipersembahkan untuk mewujudkan etika
sosial dalam masyarakat, terutama keadilan (al-adalah),
persamaan (al-musawwah) dan demokrasi
(asy-syura).
Kebebasan dalam arti yang umum mempunyai dua arti: kebebasan dari (freedom from) dan kebebasan untuk
(freedom for). Kebebasan dari merupakan kebebasan dari belenggu
alam. Oleh karena itu, perjuangan kebebasan ini dalam sepanjang sejarahnya
menunjukkan bahwa manusia lebih bebas, seperti dari dari penyakit, kelaparan,
ketidakamanan, ketidaktahuan dan takhayul dibanding dengan sejarah manusia
sebelumnya. Demikian juga kebebasan dari belenggu institusi-institusi apapun,
terutama olitik. Sedangkan kebebasan untuk
(freedom for) berbuat sesuatu pada
dasarnya sebagai fungsi untuk mencapai tingkat kesejahteraan seluruh manusia di
muka bumi. Dalam hal ini, capaiannya adalah menuju tercapainya Ushul al khams (lima prinsip dasar) yang
meliputi: Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs wa
al-Irdl, Hifdz al-Nasl dan Hifdz
al-mal. Oleh karena itu, kebebasan sebenarnya mempunyai tiga tujuan yang
utama, yaitu kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi individu, kebebasan
sifat kehendak, dan kebebasan dalam arti sosio-politik.
Kebebasan sebagai kesempuranaan eksistensi individu
menempatkan manusia – individu maupun bangsa – sebagai makhluk yang mempunyai
kecenderungan untuk menyempurnakan dan melaksanakan eksistensi dirinya dengan
tercapainya kemerdekaan, otonomi dan kedewasaan. Cita-cita kepribadian yang
merdeka dan berdiri sendiri inilah yang dimaksud dengan kebebasan dalam arti
yang luhur. Kebebasan sebagai arah dan tujuan hidup manusia adalah kepribadian
atau kedirian yang sifatnya sedemikian rupa sehingga terbebas dari beraneka
ragam alienasi yang menekannya baik berupa halangan, ikatan, paksan, dan
kebebasan; dan bebas untuk mencapai kehidupan yang utuh, tidak tercela,
berdikari dan kreatif. Kebebasan dipergunakan untuk mengungkapkan kemandirian
manusia di segal bidang kehidupan,
terutama untuk menunjukkan puncak-puncak tertinggi kehidupan moral dan
beragama. Karena, dalam diri manusia masih ada dimensi kebenarandan kemerdekaan
yang lebih mendalam, yakni dimensi religius yang membebaskan.
Kebebasan berkehendak adalah merupakan suatu kemampuan
manusia, khususnya kemampuan untuk memberikan arah dan arti hidup dan karyanya
serta kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan
nilai-nilai yang terus menerus “ditawarkan” dalam kehidupan manusia. Kebebasan
berkehendak merupakan kemampuan untuk mengambil keputusan, dan dengan demikian
menentukan apakah seseorang akan bertindak atau tidak.
Kebebasan berkehendak ini bukanlah tujuan, melainkan sarana
untuk mencapai kesempuranaan eksistensi. Sarana ini diperuntukkan bagi
pembebasan manusia dari segala sesuatu yang menghalangi pelaksanaan
kesempurnaan dirinya. Maka untuk membebaskan diri dari perbudakan alam,
struktur dan sistem ekonomi-sosial ataupun adat-istiadat dan
institusi-institusi keagamaan yang bersifat menindas, diperlukan kemampuanuntuk
menilai situasi penindasan itu sambil membandingkan dengan apa yang sebenarnya
dicita-citakan sebagai kesempurnaan eksistensi diri. Hanya dengan kemampuan
semacam inilah, manusia dapat memberikan arti dan arah perbuatan yang
dilakukannya dalam kehidupan. Oleh karena itu, kebebasan berkehendak bukan
berarti kesewenang-wenangan dalam berbuat. Kebebasan berkehendak berperan
sebagai prinsip keteraturan, keterarahan, dan keterlibatan yang akan mencegah
diombang-ambingkannya oleh perjalanan kehidupannya sendiri.
Sedangkan kebebasan dalam arti sosio-politik merupakan
syarat-syarat fisik, sosial dan politik yang harus terpenuhi supaya manusia
dapat menghayati dan melaksanakan secara konkret kebebasan untuk menyempurnakan
eksistensi dan kebebasan berkehendak.
Kebebasan dalam arti ini meliputi kebebasan berfikir,
bertempat tinggal dan berhimpun, berorganisasi, beragama, berkomunikasi dan
lain sebagainya. Kebebasan ini merupakan situasi-kondisi obyektif kehidupan
yang diperlukan demi pembebasan manusia agar dapat mencari tujuan hidupnya
dengan penentuan jati diri.
Dari penerapan liberasi tersebut diharapkan akan memunculkan
individu-individu yang independen, yang tetap menghargai independensi individu
yang lainnya sehingga membentuk sikap interdependensi antar individu. Situasi
demikian inilah yang akan menghasilkan ide-ide cemerlang yang dapat membentuk
rekayasa sosial sebagaimana yang diangan-angankan bersama. Individu-individu
yang mempunyai ide-ide cemerlang yang dapat membentuk rekayasa sosial sebagaimana
yang diangan-angankan bersama. Individ-individu yang mempunyai ide-ide
cemerlang ini sangat kondusif memuculkan free
market of ideas (pasar bebas ide) dalam segala wilayah, khususnya di
lingkungan PMII. Independensi diri juga akan berimplikasi kepada penghargaan
pribadi-pribadi yang pada ujungnya menghasilkan pribadi otonom yang tidak mudah
diukur berdasarkan komunal maupun kelompok primordial. Dengan penghargaan yang
tinggi terhadap otonomi pribadi juga memungkinkan lahirnya sebuah masyarakat
yang tidak sekedar diukur berdasarkan representasi atau “gepokan-gepokan” umat.
Dan walhasil demokratisasi bisa berjalan dengan baik dengan memperkecil adanya
semangat sektarian-primordial.
Secara organisatoris, liberasi berarti membongkar kekakuan
struktur organisasi menuju kekuatan gerak kultural; mengalihkan kekuatan massa
ke kekuatan individu dan menggeliat dari hegemoni kekuatan negara menuju
kekuatan masyarakat. Dari sini pula harus ada pendobrakan pengertian organisasi
yang semula diartikan sebagai organisasi kader dan massa, bergeser kepada
semangat paguyuban yang menghargai individu. Paguyuban yang dimaksud di sini
adalah PMII dimaknai sebagai tempat berkumpulnya individu-individu yang merdeka
dan independen, dengan pola hubungan dan komunikasi yang cair dan terlepas dari
kekakuan formalitas organisasi. Melalui semangat paguyuban, ukuran-ukuran
kualitas menjadi indikator yang dibangun melalui spirit organisasi. Bukan
ukuran gerombolan dan gepokan.
Hal ini tergambar dengan jelas dalam Deklarasi Murnajati.
Deklarasi Murnajati yang menghasilkan sikap independensi dan dirumuskan pada 14
Juli 1972 merupakan titik awal PMII yang tidak ingin terikat dalam sikap dan
tindakan kepada siapapun dan hanya komited
dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang
berlandaskan Pancasila. Deklarasi Independensi merupakan manifestasi kesadaran
PMII yang meyakini sepenuhnya tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berfikir
dan pembangunan kreatifitas yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam.
Independensi PMII dimaksudkan dalam rangka mendinamisir dan
mengembangkan potensi kulturil yang bersumber pada penghayatan dan pengamalan
nlai-nilai Islam untuk terbentuknya pribadi Muslim yang berbudi luhur dan
bertaqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab dalam
mengamalkan ilmu pengetahuan. Pengembangan kreatifitas, keterbukaan dalam sikap
dan pembinaan rasa tanggung jawab sebagai dinamika pergerakan, dilakukan dengan
bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta didorong oleh moralitas untuk
memperjuangkan cita-cita pergerakan. Pada akhirnya, dengan independensi
tersedia kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap bagi cita-cita
perjuangan organisasi.
Oleh karena itu, independensi secara organisatoris bukanlah
sesederhana pemahaman tentang “melepaskan diri secara struktural dai NU”,
melainkan bagaimana PMII dapat memasuki medan juang yang lebih luas dan
substantif. Independensi PMII berarti juga kemampuan menjaga hubungan secara
sejajar dengan segenap kelompok, agar tetap selalu menjadi kekuatan transformasi,
termasuk menggeliat dari arus penyeragaman bangsa. Hal ini sangat penting
artinya apabila PMI ingin benar-benar memperkuat daya tawarnya dengan
memberdayakan masyarakat rakyat (civil
society), yang tercermin dalam rekayasa sosialnya.
IV. ETIKA SOSIAL
Dengan pemahaman arti pentingnya perubahan sosial yang
termaktub dalam perjuangan 1) transformasi dari orientasi massa ke individu, 2)
transformasi dari struktur ke kultur, 3) transformasi dari elitisme ke
populisme, dan 4) transformasi dari negara ke rakyat, diharapkan menjadi
pengarah bagi ekspresi juang, melalui cara pandang, model transformasi dan
etika sosial. Bagi PMII, keberpihakan – yang tulus, tanpa tendensi dan
pertimbangan teknis politis – pada pemberdayaan dan penguatan masyarakat bawah.
Dalam konteks politik, maka transformasi tersebut ditujukan bagi seluruh warga
negara dimana umat Islam menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan.
Pendekatan ini berupaya untuk mengambil jarak dari negara kendatipun tidak
berarti menolak keberadaan atau legitimasinya. Yang diinginkan adalah bagaimana
kekuatan negara yang sangat besar itu bisa secara gradual diimbangi oleh
kekuatan masarakat yang semakin mandiri dan mampu melakukan pengaturan terhadap
kepentingannya. Dengan ini diharapkan terdapat keseimbangan kontrol yang justru
akan memperkokoh sistem yang hendak dibangun secara bersama.
Kepentingan politik Islam, tidak bisa dilihat secara terpisah
dari kepentingan bangsa secara keseluruhan, sehingga tidaklah tepat melakukan
pendekatan parsial seperti Islamisasi modernitas dan proses modernisasi di
Indonesia, sebab akan memicu sektarianisme di dalam umat Islam dan secara
real-politis menghambat proses integrasi umat Islam dalam kebangsaan Indonesia,
dan bahkan Islamisasi politik dapat menjurus pada situasi darurat yang memberi
legitimasi bagi dipertahankannya status-quo.
Islam merupakan salah satu faktor-diantara (komplementer) masyarakat plural seperti Indonesia. Islam
memiliki keterbukaan dan saling belajar dengan sumber-sumber peradaban lainnya.
Dengan demikian umat Islam seyogyanya tidak memandang dirinya sebagai faktor
kompetitif yang hanya akan berfungsi disintegratif bagi kehidupan bangsa
Indonesia secara keseluruhan. Umat Islam harus menerima Republik yang ada
sebagai bentuk negara final. PMII menolak ide dan proyek Islamisasi masyarakat
dan politik, sehingga agendanya adalah bagaimana menciptakan masyarakat
Indonesia – dimana umat Islam kuat –, dalam pengertian berfungsi dengan
sebaik-baiknya. Perjuangan umat, justru mencari platfom yang sama dan titik-titik temu (kalimatun sawa’) dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat,
untuk memperjuangkan tatanan politik yang modern, demokratis, dan adil. Islam
sebagai ajaran seharusnya membrei sumbangan berupa etika sosial bagi masyarakat
Indonesia modern. Sebuah masyarakat yang kuat, mandiri dan mampu menjadi
landasan sebuah sistem politik demokratis.
Agenda perjuangan Islam adalah upaya-upaya untuk
mengembalikan harkat warga negara sebagai pemiliki kedaulatan dan demokrasi
sebagai sistem politik yang mampu menjamin partisipasi mereka secara terbuka,
setiap kecenderungan partikularisme dihindari namun menolak totalisme dan
uniformisme. Selanjutnya, demokrasi menghargai kebebasan berekspresi tetapi
pada saat yang sama menuntut tanggung jawab etik; menolak intervensi negara,
tetapi tetap memerlukan negara sebagai pelindung dan penengah konflik internal
maupun eksternal. Islam harus menyumbangkan pemikirannya sebagai agama yang
publik, dan terlibat penuh dalam wacana dan kiprah publik dalam civil society dan bukan pada level
negara. Islam kemudian bisa terlibat dalam pemberdayaan masyarakat bersama-sama
dengan kekuatan lain tanpa klaim eksklusif. Dengan cara ini pula Islam lantas
bisa melakukan kritik terhadap paradigma poltik liberal yang dominan, bersama
paradigma-paradigma alternatif lain seperti feminisme, environmentalisme,
republikanisme dan sebagainya.
Dalam konteks kehidupan bangsa, PMII memiliki prospek untuk
dapat berperan secara tepat dalam jaringang yang strategis sebagai pelopor
pembaharuan. Sebab, dalam masa depan yang kompleks interaksi manusia dan
lingkungannya sangat dipengaruhi oleh pertimbangan kemanusiaan. Dan arus
informasi yang kuat dan global membutuhkan fungsionaris-fungsionaris organisasi
yang bukan sekedar berperan sebagai manager, melainka pemimpin dengan keyakinan
agama yang teguh yang berfungsi sebagai agen kemajuan dan kesejahteraan di
tengah proses-proses ketergantungan dan perubahan dalam masyarakatnya.
Beberapa etika sosial yang perlu untuk terus dikembangkan
adalah sebagai berikut:
1) Bahwa spriritualisme agama dan nilai-nilai kultur, selain
hidup dan tumbuh dalam semangat, mentalitas dan kedalaman transendensi, juga
haru terekspresikan dalam segenap dinamika gerak dan perilaku, baik secara
individu, maupun secara kelembagaan (community).
2) Bahwa kemanusiaan merupakan harkat yang selalu dikedepankan
dan menjadi pertimbangan utama dalam melihat dan merespon realitas, sehingga
Hak Asasi Manusia, humanisme, demokrasi
dan keadilan adalah agenda dan tema perjuanga PMII.
3) Bahwa kederajatan dan kesamaan antar manusia, melahirkan etos
populisme, egalitarianisme yang teraktualisasi dalam semangat pluralitas, anti
terhaap “penyeragaman” (uniformitas). Semangat pluralitas ini bisa berwujud
dalam perilaku toleran, tasammu, tawazun, I’tidal.
4) Etos populisme dan egalitarianisme melahirkan semangat untuk
hidupu terbuka dan jujur (inklusif) dalm rangka keterbukaan untuk mau berdialog
dn belajar bersama dengan sumber peradaban lainnya. Etos inklusivisme ini
berimplikasi kepada kemauan untk selalu mengkritisi kultus, dogmatisme dan
formalisme.
5) Bahwa sejarah merupakan proses yang hidup dan bergerak,
sehingga kesadaran sejarah adalah etos perbubahan untuk ingin terus-menerus
bergerak menuju perbaikan keadaan. Etos perubahan menolak adanya stagnasi dan
hegemoni makna atas jalannya sejarah.
6) Bahwa negara dibentuk untuk menjaga pola hubungan antar
sesama warga, berdasarkan kesepakatan. Sehingga negara bukanlah segal-galanya
yang berhak memasuki segenap kehidupan bersama. Hegemoni negara yang tumbuh
menuntut adanya counter hegemony,
sehingga hakekat kedaulatan rakyat terwujud dalam posisi rakyat di atas
kedaulatan negara, elit atapun pemerintah. Dalam hal ini civil society merupakan etos dan target perjuangan.
7) Berbagai kondisi yang berlawanan dengan idealitas yang
dibangun selama ini telah menjadi kesadaran seluruh masyarakat dan rakyat
bangsa Indonesia, da cita-cita itu tak terlihat dalam realitas sosial, politik
dan ekonomi. Oleh karena itu etos reformasi harus selalu ada dalam segenap
dinamia juang PMII. Reformasi perilaku dan sistemik menjadi bagian dari
kesadaran tantangan masa depan untuk terus bergerak lebih jauh. Dalam hal ini
dapat dimulai dari menghilangkan segala bentuk sentralisasi dan koorporatisme
negara. Pemberdayaan ormas dan orpo harus dapat diwujudkan dalam kemandirian
dan kebebasan, hal ini diperjuangkan dalam rangka kesadaran mewujudkan bangsa
dan masyarakat yang cerdas, mandiri, adil dan makmur.
V.
REKAYASA SOSIAL
Rekayasa sosial dimaksudkan sebagai metode dan arah
pergerakan dalam upaya-upaya pencapaian tujuan. Rekayasa sosial menggunaka
pendekatan, metode dan wahana yang kondusif, yang ditujukan untuk membebaskan
manusia dari penjajahan dalam segala bentuknyayang berujud pada penghapusan
sistem sosial-kemasyarakatan yang pincang sebagai akibat dari kegagalan manusia
menggagas dan menciptakan kebudayaan. Dalam hal ini, termasuk bentuknya adalah
sentraliasi pembangunan ekonomi dan usaha ekonomi finansial transnasional.
Rekayasa sosial mempunyai wilayah, yang satu sama lainnya
berbeda. Pada wilayah kebangsaan, rekayasa sosial diarahkan pada perebutan
kembali kedaultan rakyat yang telah hilang digantikan oleh kedaultan negara.
Perebutan ini disamping sebagai amanat sejarah, juga untuk memperkuat
demokratisasi politik, ekonomi dan sosial. Pada wilayah budaya, rekayasa sosial
diarahka untuk memperkuat kebudayaan rakyat yang kering dan hampir mati oleh
arus modrnisasi. Penghidupan ini dilakukan dengan memberikan peluang
berkembangnya budaya rakyat secara otonom, tanpa intervensi oleh kekuasaan
negara. Ang lebih penting lagi adalah penghidupan budaya tersebut diambilkan
sarinya sehingga menghantarkan kebudayaan dijadikan sebagai penyadaran atas
nilai-nilai kemanusiaan, perjuangan penegakan atas nilai-nilai keadilan dan
perlawanan atas penyelewengan amanat kekuasaan.
Rekayasa sosial akan menghasilkan pendobrakan dan penataan
kembali terhadap sistem intelektualitas, “pola hubungan-bargaining” pada
tingkat negara, dan sistem religiusitas. Bagaimana sistem kepercayaan dan
keberagamaan tersebut dapamenjadi nilai yang transformatif dan membebaskan,
baik bagi dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pengkayaan dan
pencarian ulang terhadap sistem teologi Aswaja yang dianut selama ini tidak
mengenal kata selesai.
Penataan sistem intelektualitas diterjemahkan sebagai
penguatan kapasitas konseptual dan profesionalitas sehingga outputnya akan
menghasilkan industri pengetahuan (industry
of knowladge). Sistem intelektualitas tetap merupakan sitem pengetahuan
yang memihak, yaitu pada yang tertindas dan lemah. Namun demikian, sistem ini
harus dapat berupa gerakan yang besar sehingga menemukan lahan industrinya.
Salah satu jalan yang harus ditempuh adalah dengan meningkatkan profesionalitas
akademik dan pengawinan pengetauan dengan pilar-pilar kemasyarakatanb seperti
pers, LSM, agamawan, termasuk kekuasaan. Sehingga membentuk sebuah kekuatan
transformasi, yang sinergis.
Oleh karena itu, rekayasa sosial diarahkan menjadi dua pola,
yaitu Free Market Of Ideas (FMI) dan Advokasi. Free Market of Ideas (FMI) didasari oleh adanya individu-individu
yang bebas dan kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi,
baik dalam pengkaderan maupun dalam pertemanan transformatif lainnya. Free Market of Ideas (pasar bebas ide)
sebagai upaya pencarian out put gerakan PMII, baik pada tataran internal PMII,
wilayah negara maupun pada masyarakat bawah.
Asumsi dasar dari FMI ini adalah bahwa visi gerakan PMII yang
selam ini – liberasi, independensi, interdependensi – menuntut adanya hasil
(out put) yang lebih dapat dirasakan baik oleh warga maupun masyarakat luas.
Sebab, tuntutan “produk” gerakan PMII selama ini, outputnya kurang dicerna oleh
masyarakat luas dan belum mampu menyeruak dalam ruang publik, sehingga kurang
didengar dan diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan lainnya.
Semua ini terjadi karena PMII belum mempunyai sistem pasar
bebas ide (FMI yang mampu menghasilkan industri pengetahuan dengan didasari
oleh keunggulan konseptual dan profesionalitas. Dari sini PMII akan melakukan
“jual-beli” wacana dan ide secara sistemik, baik dalam konsep keagamaan,
sosial, ekonomi, politik, kebangsaan, rekayasa sosial dan yang lainnya agar
dapat menjadi bayangan dan tawaran alternatif.
Free Market of
Ideas pada tingkat internal warga,
merupakan ruh paguyuban, yang di dalamnya terjadi proses “bazar ide”. Bazar ide
memberikan kebebasan memberi dan menerima segenap penjelajahan (eksplorasi)
pemikiran. Dalam konteks ini penumbuhan komunitas yang hidup dalam kegairahan
imajinasi (imagine society).
Komunitas penuh ide dan kreatifitas bisa muncul bila selalu diperhadapkan dan
dihadapkan dengan realitas masyarakat, terutama dalam konteks kebobrokan sistem
kehidupan manusia. Di sinilah PMII harus sealu menjaga jarak dengan segenap
bentuk kemapanan.
Penguatan ke dalam sebagai basis transformasi dan rekayasa sosial
dilakukan pada tiga wilayah, penguatan ideologi sosial sebagai kekuatan politik
(intelektualitas), penguatan kualitas pendidikan kader baik formal maupun
informal sebagai kekuatan profesionalitas, dan penguatan basis ekonomi melalui
penemuan kreatif sumber-sumber pembiayaan dan kemandirian.
Perwujudan FMI pada wilayah eksternal menntut adanya output
(produk) PMII dari berbagai temuannya. Output FMI pada tingkat negara bangsa
dilakukan dengan enggunakan tiga pengemasan. Pertama, tawaran konseptual. Tawaran konseptual ini dapat berupa
kerjasama maupun pengambilan konsesi-konsesi, dalam rangka merumuskan
pemikiran-pemikiran publik, sebagai bagian dari upaya memasarkan ide ke
masyarakat. Tawaran konseptual dilakukan sebagai upaya membangun ideologi-kultural.
Kedua, pendelegasian. Dengan meletakkan kekuasaan sebagai partner,
maka kekuasaan bukanlah kemewahan, sehingga kerjasama dengan berbagai konsesi
kualitatif dapat dilakukan, melalui kemenangan ide PMII. Berkuasa tanpa masuk ke dalam struktur
kekuasaan, itu perlu dilakukan dalam memperkuat jaringan kerja sama. Dengan
kekuatan lobby sebagai wahana mengawingkan kekuatan intelektual-liberatif
dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada, terutama tawar-menawar kerja sama
dengan kekuasaan bisa dijalankan. Ketiga,
gerakan kritisisme. Gerakan kritisisme ini tidak sekedar gerak dan tanpa
konsep, namun gerakan ini sebagai upaya penawaran konsep alternatif dari
segenap kepengapan dan stagnasi pada wilayah teoritik maupun praksis.
Rekayasa sosial advokasi dilakukan untuk segala korban dari
perubahan, dengan kemampuan diri. Pada gerakan advoasi ini mengambil sarana dan
obyek sesuai dengan sistem lokalitas masyarakat yang ada. Advokasi dilakkukan
dengan mengambil tiga bentuk gerakan, sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan
serta pendampingan. Ketiga gerakan ini ditujukan sebagai pendidikan politik
masyarakat akan hak-haknya sehingga angan-angan civil society tercapai.
Advokasi dilakuka dalam rangka transformasi nilai yang
diyakini kebenarannya melalui pertanggungjawabkan ilmu yang diembannya.
Advokasi mengambil tiga sasaran utama, yaitu ideologisasi sosial kegamaan,
ekonomi dn pendidikan. Untuk mewujudkan gerakan advokasi ini diperlukan
kerja-kerja rintisan yang dapat mempercepat proses transformasi tersebut[.]
0 komentar:
Posting Komentar