Posts Subscribe to InFoGauLComments

Online bookmark Bookmark

CP : 081515325009 E-mail : pkpmiiunisla@gmail.com Dengan kepala tegak menghadap sang saka merah putih Kami tujukan hati kami, lurus, kepada Pancasila Tatapan mata kami tak ingin berpaling dari gagahnya sang Garuda Tegas menolak apa pun yang berani menginjak Bhinneka Tunggal Ika Salam Pergerakan.....

PARADIGMA PERGERAKAN (Arus Balik Masyarakat Pinggiran)



PENGERTIAN
Paradigma merupakan cara pandang yang mendasar dari seorang ilmuwan. Paradigma tidak hanya membicarakan apa yang harus dipandang, tetapi juga memberikan inspirasi, imaginasi terhadap apa yang harus dilakukan, sehingga membuat perbedaan antara ilmuwan satu dengan lainnya. Paradigma merupakan konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial. Paradigma merupakan konstelasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik, sistem kepercayaan, filsafat, teori, maupun sosiologi, dalam kesatuan kesepakatan tertentu untuk mengakui keberadaan sesuatu yang baru. Paradigma adalah model atau sebuah pegangan untuk memandu mencapai tujuan.
Paradigma, juga merupakan pegangan bersama yang dipakai dalam berdialog dengan realitas. Paradigma dapat juga disebut sebagai prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluraltas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang.
Dengan paradigma pergerakan, diharapkan tidak terjadi dikotomi model gerakan di dalam PMII, seperti perdebatan yang tidak pernah selesai antara model gerakan “jalanan” dan gerakan “pemikiran”. Gerakan jalanan lebih menekankan pada praksis dengan asumsi percepatan transformasi sosial. Gerakan ini terjun langsung pada basis-basis masyarakat yang menjadi korban perubahan sosial. Sedangkan model gerakan pemikiran bergerak melalui eksplorasi teoritik, kajian-kajian, diskusi, seminar dan pertemuan ilmiah yang lainnya, termasuk penawaran suatu konsep kepada pihak-pihak yang memegang kebijakan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Perbedaan antara kedua model tersebut tidak hanya terlihat dalam praksis gerakan, tetapi juga berimplikasi pada obyek dan lahan garapan. Apa yang dianggap penting dan perlu oleh gerakan jalanan belum tentu dianggap penting dan perlu oleh gerakan intelektual dan begitu sebaliknya, walaupun pada dasarnya kedua model tersebut merupakan satu kesatuan.
Dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa selalui diwarnai perdebatan model jalanan dengan intelektual. Begitu juga sejarah PMII selalui diwarnai dengan “pertentangan” yang termanifestasikan dalam gerakan politik-struktural dengan gerakan intelektual-kultural. Padahal semestinya kedua kekuatan model tersebut tidak perlu dipertentangkan sehingga memperlemah gerakan PMII itu sendiri. Upaya untuk mencari prinsip dasar yang menjadi acuan segenap model gerakan, menjadi sangat penting (urgen) untuk dirumuskan. Sehingga pluralitas setinggi apapun dalam model dan strategi gerakan, tidak menjadi masalah, dan bahkan secara sinergis bisa saling menguatkan dan mendukung. Letak paradigma adalah dalam menjaga pertanggungjawaban setiap pendekatan yang dilakukan sesuai dengan lokalitas dan kecenderungan masing-masing.
Dalam pembahasan lebih lanjut akan diuraikan paradigma PMII, dimulai dengan (1) pembacaan kondisi sosio-politik bangsa, yang telah melahirkan dealiranisasi partai politik dan depolitisasi aliran, pembacaan latar belakang identitas diri PMII, kultur-sosial dan pendidikan. Selanjutnya, akan dibahas (2) teologi antroposentrisme-transendental; (3) filosofi gerakan yang meliputi liberasi dan independensi; (4) teori dan etika sosial, yang meliputi pandangan PMII dan pilihan pendekatan dalam memperjuangkan keadilan (al-adalah), persamaan (al-musawwah); dan demokrasi (asy-syura); (5) rakayasa dan transformasi sosial yang berbentuk free market of ideas dan advokasi; dan out-put gerakannya dapat berwujud pressure group dengan wilayah kerja grassroot, mediator dan profesional lobby.

I.    LATAR BELAKANG
A.    Kondisi Sosio-Politik Bangsa
Restrukturisasi politik yang dilakukan Orde Baru telah menghasilkan sebuah format politik baru yang ciri-ciri umumnya tidak jauh berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) di beberapa negara Amerika Latin dan Asia.  Ciri-ciri itu antara lain adalah 1) munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya kemudian “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya, 2) menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik, 3) semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat – termasuk kaum intelektual, 4) diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik dan 5) penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada.
Kondisi sosio-politik bangsa semenjak satu dasawarsa kelahiran PMII (1970-an) sampai sekarang dapat disimpulkan menjadi dua; adanya hegemoni penafsiran realitas sosial oleh pemerintah dan terjadinya proses dealiranisasi partai politik dan depolitisasi aliran.
Hegemoni penafsiran realitas sosial ini ditandai dengan empat kenyataan. Pertama,  budaya politik Orde Baru didasarkan pada elisitas dibanding sikap terbuka dan populis dalam setiap perekrutan elite penguasa. Selama ini tidak ada transparansi sistem rekruitmen anggota DPR-MPR, menteri dan posisi strategis pemerintah lainnya yang memungkinkan setiap individu dapat melakukannya dengan demokratis. Perekrutan elite pemerintah selalu didasarkan pada sistem patronase dan jaringan perkoncoan yang sangat tertutup serta tidak dapat menjadi kontrol publik. Masyarakat umum tidak mempunyai ruang bebas untuk membicarakan pikiran secara transparan, sehingga terjadilah rasa dan sikap-sikap a-demokratis di antara semua komponen bangsa.
Kedua, semua agenda dan wacana perpolitikan nasional selalu dimulai dari negara. Dengan kata lain, semua persoalan sosial-politik harus menegara, sehingga tidak memberikan ruang gerak kepada rakyat untuk tidak membicarakan apa yang diagendakan oleh negara. Dengan lima pilar dasarnya – lembaga kepresidenan, ABRI, Birokrasi, Pers dan Agamawan – pemerintah dengan leluasa membuat agenda nasional, dan mana yang harus menjadi wacana publik. Sehingga walau ada organisasi ataupun individu-individu yang kuat integritasnya melakukan counter wacana akan tetap tenggelam dalam arus besar penyeragaman wacana pemerintah.
Ketiga, kuatnya hegemoni struktur negara atas independensi rakyat. Semua pembangunan disentralisir dalam satu titik pusat yang mengakibatkan kapasitas, kemampuan serta keunikan daerah hilang dan tidak mempunyai daya tawar untuk melakukan pembangunan sesuai dengan keragaman lokalitas yang dimilikinya. Dengan sentralisasi, aparat struktur kekuasaan selalu legitimate dalam mengklaim kepentingan diri dan kelompoknya menjadi kepentingan rakyat banyak.
Keempat, komponen bangsa ataupun negara cenderung menggunakan legitimasi kuantitas massa untuk menuntut kepentingan politik. Kepentingan politik, baik berupa representasi kekuasaan maupun tindakan penekanan selalu menggunakan alur dan ranah kekuatan massa yang dimilikinya. Perebutan dan percaturan politik tidak lagi didasarkan pada kapasitas dan kualitas individu yang semestinya dapat memperkuat bangunan institusi negara yang demokratik.
Proses deideologisasi dan dealiranisasi partai-politik dan depolitisasi aliran sebagai gejala umum dari negara berkembang pasca kemerdekaan. Tahun-tahun setelah Perang Dunia II, berkembang dengan pesat kecenderungan dalam percaturan politik: deideologisasi dalam lingkup sangat luas. Idologi-ideologi besar di dunia harus memberikan tempat pada pemunculan kehidupan politik tanpa ideologi. Kalaupun ideologi masih dipertahankan itu hanyalah semacam formalitas yang tidak meyakinkan siapapun.
Setelah Indonesia merdeka, bukan utama berupa nasionalisme yang berkembang, melainkan serangkaian varian dari sebuah ideologi yang umum, yang bentuk utamanya adalah paham kebangsaan diluar nasionalisme sebagai ideologi. Paham kebangsaan sementara itu hanyalah gambaran samar dari kobaran api nasionalisme semula. Ia hanyalah sekedar kekuatan pengikat  yang tidak memiliki daya dobrak apapun.
Nasionalisme lama yang berkembang dalam era 30-an sampai 50-an dalam perkembangan selanjutnya mengalami penurunan, bahkan perlahan-lahan memudar digantikan oleh perbenturan antar golongan dan antar kelompok. Walau dalam era “Orde Lama” , dicoba untuk dibangun kembali seperti dengan keluarnya Dekrit 5 Juli 1959, terlahirnya slogan Nasakom sebagai ideologi gabungan guna merangsang semangat kesatuan yang akan mendukung persatuan bangsa yang paling dalam akhirnya juga mengalami kemacetan ideologis, dan terakhir dengan memunculkan “Nekolim” (neokolonialisme), sebagai ideologi untuk mengatasi bahaya dari luar juga tidak banyak menolong.
Kelahiran Orde Baru merupakan kelahiran masa yang sama sekali menghilangkan perdebatan dan kemacetan ideologi, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Lama. Dengan memunculkan tema pembangunan (developmentalisme), telah mensubordinasikan paham kebangsaan kepada sesuatu yang sama sekali tidak ideologis; yaitu pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sebagai kuasi ideologi menghasilkan teknokrasi yang secara umum memang bebas ideologi.
Dalam kondisi demikian muncul aliansi baru, yaitu antara kaum profesi, birokrat pemerintahan dan militer. Aliansi ini, dengan sendirinya untuk kepentingan kongkrit akan rekayasa masyarakat guna mendukung program pembangunan ekonomi secara massif, menggeser kedudukan ideologi, yang selama masa sebelumnya menjadi tumpuan kehidupan politik. Orde Baru, disadari atau tidak telah menurunkan suhu ideologis dalam kehidupan politik. Berbagai pendekatan substitutif ditampilkan untuk menghilangkan ketergantungan terlalu tinggi kepada ideologi, dari dorongan olahraga hingga terbentuknya kelompok-kelompok minat di kalangan generasi muda dalam berbagai kehidupan.
Kekuatan partai-partai politik dengan ideologi lama (Nasionalisme, Sosialisme dan Islam) dipotong untuk digantikan dengan munculnya partai-partai politik baru (PPP dan PDI) dan organisasi politik Golkar, yang dengan sengaja menunda untuk sementara pengembangan ideologis kehidupan politik secara keseluruhan. Titik terjauh (klimaks) dari upaya ini adalah dihilangkannya ideologi di luar Pancasila, melalui asas tunggal.
Fenomena di atas telah melahirkan kenyataan-kenyataan lain, yaitu, pertama, lemahnya kekuatan partai politik. Partai-partai politik (PPP dan PDI) yang semestinya mampu memerankan daya tawar masyarakat tidak lagi mempunyai “taring” yang dapat menekan. Dihilangkannya ideologi partai dan digantikannya adu konsep dan program pembangunan membuat partai-partai politik hanya mampu menilai keberhasilan pembangunan yang ada. Kelaupun mengadakan koreksi atas jalannya pembangunan, itu-pun mampet dalam penawaran konsep pembangunan yang masih diragukan pengalaman aplikasinya. Ketidakmampuan partai politik di atas, mengakibatkan mandulnya lembaga-lembaga yang semestinya mampu menyuarakan hari nurani rakyat, seperti DPR dan MPR. Kenyataan ini membuat pincangnya sistem politik demokrasi di Indonesia. Partai politik yang semestinya menjadi saluran aspirasi rakyat, kehilangan garis perjuangan sebagai akibat dari hilangnya ideologi. Partai politik tidak lagi mempunyai garis perjuangan yang baku, sebagaimana yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Kedua, sebagai akibat langsungnya adalah munculnya kekuatan-kekuatan politik di luar lembaga politik yang ada. Dalam sejarah Orde Baru, kekuatan-kekuatan politik silih berganti menemani, melegitimasi dan menjadi mediator serta menopang proses pembangunan yang ada. Pada awal-awal Orde Baru, pemerintah lebih memberikan tempat kepada CSIS sebagai think-thank pembangunan ekonomi sampai akhir PJP I. Memasuki PJP II, pemerintah mulai memberikan ruang kepada kelompok Islam yang tergabung dalam ICMI dengan CIDES sebagai think thank-nya. Demikian juga dengan ormas lainnya, mengalami silih berganti sebagai “teman” yang melegitimasi sekaligus memberikan masukan kritis-konstruktif bagi perjalanan pembangunan. Dengan kata lain, di saat memudarnya kekuatan partai politik, muncul kekuatan politik yang memerankan sebagai kelompok penekan (pressure group) dan mempunyai daya tawar cukup tinggi.
Ketiga, semakin kuatnya peran kelompok teknokrat yang berafiliasi dengan birokrat pemerintahan dan militer. Sebagaimana menjadi wataknya, pembangunan (developmentalisme) merupakan refleksi dari paradigma Barat tentang perubahan sosial, dengan mengangankan terjadinya gerakan selangkah demi selangkah menuju higher modernity, sebuah tatanan kemajuan ekonomi dan teknologi sebagaimana yang telah dicapai oleh negara-negara industri maju. Dalam konteks Indonesia (dan negara-negara berkembang lainnya), developmentalisme dipahami hanya sebagai “general improvement in the standard of living”.
Karena pembangunan hanya dipahami sebagai upaya untuk mencapai kemajuan ekonomi dan teknologi, maka sangat membutuhkan tenaga-tenaga terampil dan profesional dari kalangan teknokrat dan ekonom yang ditopang oleh para birokrat (sebagai pelaksana keputusan pembangunan) dan militer (sebagai institusi yang mengamankan jalannya pembangunan). Kelompok yang berada di luar garis ini, dengan sendirinya tersingkir dari proses modernisasi tersebut. Padahal, yang menjadi permasalahan utama dalam perubahan sosial adalah bagaimana mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembangunan secara partisipatoris.
Keempat, munculnya ideologi-ideologi baru sebagai manifestasi dari nilai-nilai tradisional dan keagamaan. Ketika diberlakukan deideologisasi terhadap partai politik, memang cukup memperoleh hasil: lemahnya peran partai politik. Tetapi di balik keberhasilan tersebut mendorong munculnya ideologi-ideologi alternatif, yang sama sekali jauh dari ideologi resmi pada masa lalu yang sangat kultural. Hal ini juga disebabkan oleh adanya penjelasan pembangunan yang serba positivistik, sehingga memunculkan solidaritas baru dalam masyarakat dengan menggunakan ideologi sebagai penggeraknya.
Reideologisasi ini muncul dengan dua pola perkembangan utama. Di satu sisi, langkanya ikatan ideologis dan kuatnya rekayasa teknokratis memunculkan kecenderungan menampilkan semacam ideologi alternatif yang diambil dari berbagai ideologi masa lalu, baik nasionalisme, agama maupun ikatan komunal. Di sisi lain, munculnya ideologi baru tersebut dalam bentuk yang sangat kultural, yaitu dengan merangkai nilai sehingga membentuk sebuah ideologi yang lengkap dan utuh. Oleh karena itu, ideologi baru tersebut juga tidak berupa ideologi politik, melainkan ideologi kultural seperti tuntutan dihidupkannya nilai-nilai tradisional dan agama yang membutuhkan kerangka ideologis. Tuntutan diperkuat dan diwujudkannya civil society yang akhir-akhir ini semakin menggelembung adalah bagian dari agenda yang juga membutuhkan kerangka ideologis yang tidak mudah dirumuskan.
Kebutuhan untuk menumbuhkan civil society dalam rangka mewujudkan negara demokrasi adalah kesadaran akan lemahnya segenap komponen masyarakat berhadapan dengan negara, sehingga kehidupan bangsa Indonesia diwarnai oleh marginalisasi rakyat terus-menerus di hadapan negara. Akibat yang langsung dapat dilihat adalah, lemahnya penegakan hukum, tidak adanya ruang publik bagi kontrol masyarakat, dan lain-lainnya, yang ujungnya adalah kebobrokan sistem sosial, politik dan budaya bangsa Indonesia.
Sementara itu, umat Islam sebagai bagian terbesar bangsa Indonesia, belum mampu memberikan kontribusi kualitatif-konsepsional bagi terwujudnya masyarakat bangsa yang mandiri, berdaya dan kreatif, hal ini diperparah oleh peran agama yang sangat normatif dan formal. Hampir dapat dipastikan bahwa kegairahan beragama di Indonesia tidak sebanding dengan pelaksanaan substansi batas-batas kepantasan hidup sebagai bangsa, terkadang malah terlibat dalam legitimasi berbagai penyimpangan dan penyelewengan struktural.
Meskipun demikian, gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang secara real memiliki basis massa (grass-root), seperti NU, secara bertahap dan pasti telah mengambil peran penguatan rakyat (civil society), meskipun belum utuh secara konsepsional. Masuknya tema HAM, Demokrasi dan Penegakan Hukum ke dalam wacana agama adalah bukti bagi prospek peran agama di masa depan.
B.     Identitas Diri
Latar belakang warga PMII, sebagaimana masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya, secara antropologis hidup dan dibesarkan dalam budaya masyarakat agraris yang indegeneuos (asli). Padahal, dalam budaya dan mental agraris, tersirat sifat dasar seperti menerima kenyataan dan keadaan dengan tanpa reserve (nrimo ing pandhum), feodal, dan lain sebagainya.
Secara sosiologis, masyarakat PMII berasal dari perkampungan dan pedesaan yang tersebar di 27 propinsi Indonesia, dengan ragam budaya, suku, etnis dan ras. Warga PMII sebagian besar juga dibesarkan dalam suasana dan tradisi santri dengan kemampuan dasar agama dan semangat “tradisionalisme” yang tinggi. Sumber aliran warga PMII adalah basis masyarakat dengan posisi politik dan ekonomi yang marginal. Di sisi lain, warga PMII berasal dari “elite” setempat, baik sebagai anak kyai, guru mengaji maupun imam masjid.
Secara teologis, sebagaimana bangsa Indonesia pada umumnya, warga PMII menganut Aswaja sebagai ideologi dogmatis dengan karakter sejarah yang bergantung pada alur sejarah teologi Islam masa lalu (abad pertengahan). Basis teologi warga PMII pada awalnya berdiri dengan karakter sejarah yang statis-romantis. Ruang dinamika kesejarahannya terhenti pada perdebatan yang bercorak transendental-metafisik dan tidak empirik.
Dalam konteks disiplin keilmuan, masyarakat PMII dibentuk dalam tradisi keilmuan yang berbasiskan ilmu-ilmu agama dan sosial humaniora. Sementara itu, ilmu-ilmu eksakta dan teknologi tidak mendapat ruang sehingga tidak terjadi diversifikasi peran keilmuan yang seimbang antara eksakta dan humaniora.
Secara politik dan ekonomi, PMI menjadi bagian dari – dan lekat – dengan masyarakat yang berada dalam marjinalitas tertentu. Kesadaran sebagai bagian dari keompok pinggiran ini dapat dijadikan roh, ideologi dan spirit dari gerakan yang dilakukannya. Dan dari kesadaran ini pula akan memunculkan identifikasi kultural dan rekayasa sosial yang spesifik dan sesuai dengan kondisi latar belakang di atas.
Dari pembacaan kondisi sosio-politik bangsa dan identitas diri kemudian muncul kebutuha akan adanya kerangka teori datau paradigma gerakan PMI. Karena, di satu sisi PMII harus mengadakan penyadaran dan pemberdayaan dari kondisi kultural-internalnya, di sisi lain juga harus membebaskan sistem sosio-politik yang hegemonik menuju masyarakat bebas, merdeka, adil dan makmur.  Penyadaran, pemberdayaan dan pembebasan ini sangat terkait dengan nilai keimanan yang dianut oleh warga PMII, yaitu Ahlussunnah waljama’ah.
PMII sebagai bagian dari student movement di Indonesia telah mengukir berbagai gerakan pencerahan dan pengembangan moralitas, khususnya di kalangan mahasiswa dan kaum muda. Melalui struggle for value building, PMI diakui menjadi kekuatan demokratisasi di Indonesia.
Sebagai bagian dari keluarga besar gerakan Islam, PMII dengan totalitas kebangsaannya, secara produktif menjaga pilar-pilar pemikiran pluralisme. Keislaman PMII adalah pribumisasi ajaran universal Islam, dengan keteguhan total kepada segenap khazanah Islam dan bangsa Indonesia. Komitmen  keislaman dan keindonesiaan menyatu gairah penggalian lebih lanjut spiritualitas dan substansi ajaran.
Walhasil, identitas PMII terletak pada tiga ruang gerak. Pertama, intelektualitas, kedua religiusitas karena PMII, Islam, dan yang ketiga adalah kebangsaan. Dengan menyadari identitas diri inilah kemudian PMII dituntut untuk mampu kreatif dalam menggeliat dari arus penyeragaman yang dalam sejarahnya pernah menjebak PMII menjadi sangat politis.
II.    DASAR TEOLOGI
Dalam sejarahnya, teologi ditekankan melalui pendekatan intelektual terhadap iman, ditekankan pula nada iman yang penuh kepasrahan. Pada saat sekarang perlu menekankan iman pada tindakan, dalam dunia dan sejarahnya, yang memberi motivasi dan mengarahkan kegiatan hidup muslim dalam sejarah dunia ini. Sejalan dengan itu pemahaman mengenai Tuhan harus dimulai dari fakta historis. Tauhid hendaknya diletakkan sebagai tindakan. Kalau tidak, dikhawatirkan terjadi seperti pada perkembagan saat ini; agama hanya terletak pada institusi dan simbol belaka. Teologi mengarahkan kepada upaya melahirkan konstruksi masyarakat ideal, masyarakat yang tidak dijamin oleh kekerasan, melainkan kehidupan bersama yang dibangun atas dasar kasih sayang (rahman-rahim) tanpa pamrih, adil tanpa kekerasan.
Dengan Ahlussunnah wal-jama’ah yang dipahami melalui manhaj al-fikr, menuntut adanya perumusan ulang terhadap posisi manusia, baik di hadapan Tuhan maupun di sisi manusia dan makhluk lainnya. Rumusan teologi ini tidak hanya membicarakan dan membela Tuhan, baik yang berkaitan dengan keesaan, kekuasaan, keadilan maupun sifat-sifat lainnya. Tetapi juga memberikan cakrawala yang luas dari aplikasi sifat-sifat tersebut dalam kehidupan nyata manusia, seperti bagaimana sifat keadilan Tuhan diterapkan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam tatanan dunia modern. Jadi rumusan teologi ini tidak hanya membela Tuhan yang “di sana”, tetapi juga membela manusia dan alam yang “di sini”, sebab membela manusia di bumi adalah bagian utama dari membela Allah. Berkebudayaan dalam bentuk kreasi, mencipta dan berperadaban adalah bagian dari proses manusia berusaha menjadi hamba sejati Tuhan (Abdullah).
Mengenal Allah, bukanlah hal yang jauh dari diri manusia, sebab Allah ada dalam diri kemanusiaan itu, sifat-sifat keilahian ada dalam diri manusia sebagai wakil Allah (Khalifat al-Allah). Implikasinya berwujud pada penegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia dengan penuh tanggung jawab. Baik secara individu melalui perjuangan melahirkan kreatifitas, mencipta, untuk menebarkan kesejahteraan, maupun penciptaan masyarakat yang otonom, mandiri dan tidak mudah digiring oleh kekuatan hegemonik apapun, baik antar sesama manusia maupun dalam bentuk kebendaan.
Rumusan dasar di atas, disebut sebagai Teologi Antroposentrisme-Transendental, sebuah teologi yang meletakan manusia sebagai subjek utama (khalifatullah fi al-Arld) yang mewakili tugas-tugas ketuhanan di bumi, yang berjalan dan berproses hidup dalam sumbu-poros keilahian. Manusia memiliki kemerdekaan dan kekuatan untuk menentukan nasib dirinya berdasarkan amanah Tuhan. Rekayasa kebudayaan sepenuhnya berada dalam tanggung jawab manusia, berdasarkan inspirasi, petunjuk dan nilai-nilai ketuhanan. Karena tingginya derajat dan nilai kemanusiaan ini, maka manusia memiliki tugas ketuhanan untuk melahirkan sebuah tatanan masyarakat baru yang tidak ada penguasaan orang satu atas lainnya.
Tugas khalifatullah dalam rekayasa sosial bukan berarti reduksi melalui kemajuan tatanan yang material-temporal, melainkan satu tata baru yang dinamis. Segala bentuk kehidupan kebudayaan melalui pelaksanaan pencerahan yang berjalan, tidak boleh dimutlakkan dan “mandeg”, melainkan harus berkembang terus menuju kepenuhan. Memang proses pencerahan terjadi dalam peristiwa sejarah, tetapi tidak berhenti di sana dan terus-menerus harus dikritik, agar kekhalifahan tidak menjadi penuhanan atas manusia dan kebendaan.
Pemahaman Islam sebagai agama tauhid, kehadirannya di dunia tidak terlepas dari teologi pembebasan. Islam datang untuk menegakkan kalimat Laa ilaaha illa Allah,  tiada Tuhan selain Allah. Suatu keyakinan (aqidah) yang menempatkan kepercayaan kepada Allah SWT secara transendental, dengan menisbikan tuntutan ketaatan kepada segenap kekuasaan duniawi serta segala perbedaan manusia dengan berbagai jenis kelamin, status sosial, warna kulit, dan lain sebagainya.
Teologi ini tidak menempatkan manusia di antara dua titik yang kontradiktif: sebagai khalifatullah yang mempunyai tugas memakmurkan dengan keadilan, dengan sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah. Akan tetapi, justru meletakkan manusia dalam totalitas khalifatullah sekaligus kesatuan dari proses abdullah.
Teologi antroposentrisme-transendental menempatkan manusia pada tiga dimensinya. Pertama, manusia ditempatkan pada kedudukan kemakhlukan yang sangat tinggi, yang termaktub dari kerangka penciptaannya oleh Allah sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan keadaan (ahsan al-taqwim). Penempatan manusia pada tingkat yang tinggi ini pada dasarnya menuntut pula penghargaan pada nilai-nilai dasarkehidupan manusia yang sesuai dengan martabatnya: pelestarian hak-hak asasinya secara individual maupun kolektif, pelestarian hak mengembangkan pemikiran sendiri tanpa takut terhadap ancaman pengekangan, hak mengemukakan pendapat secara terbuka dan pengokohan hak untuk mengembangkan kepribadian tanpa campur tangan dari orang lainnya. Kedua, menempatkan manusia dengan memberikan hak sebagai pengganti Allah (khalifah Allah) di muka bum, sebuah fungsi kemasyarakatan yang mengharuskan manusia untuk memperjuangkan dan melestarikan cita hidup kemasyarakatan yang mampu mensejahterakan manusia secara menyeluruh dan tuntat (rahmatan li al-alamin). Posisi demikian mengharuskan manusia menjadi subyek perdamaian, kasih sayang, saling kasih, asah-asih-asuh dengan sesamanya tanpa mempertimbangkan perbedaan apapun secara lintas kultur dan lintas etnis. Manusia juga memiliki tugas untuk menentang pola kehidupan bermasyarakat yang ekspolitatif, tidak manusiawi dan tidak berasaskan keadilan dalam arti yang mutla. Ketiga, menempatkan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri, akali dan persepsi kejiwaan untuk hanya mementingkan masalah-masalah dasar kemanusiaan belaka.
Kemampuan ini disalurkan melalui sejulah pranata keagamaan, seperti teori filsafat, hukum, pendidikan, agama, ke dalam jalur penumbuhan pandangan dunia yang mementingkan keseimbangan antara hak-hak perorangan dan kebutuhan masyarakat manusia dalam penyelenggaraan hidup kolektif yang berwatak humanis-universal.
Penempatan manusia sebagai pusat kebudayaan ini, mengandung pemahaman bahwa manusia memiliki hak pemuliaan dan hak pelebihan seperti yang telah dijamin sendiri oleh Allah dalam Al Qur’an sebagai haq al karomah dan haq al-fadlillah.
III. DASAR  FILOSOFI
Filosofi gerakan PMII didasarkan pada dua nilai yang sangat fundamental: liberasi dan independensi. Liberasi merupakan kepercayaan dan komitmen kepada pentingnya – dengan berbagai metode dan cara – untuk mencapai pembebasan tiap-tiap individu. Praktek dan pemikiran liberasi mempunyai dua tema pokok. Pertama tidak menyetujui adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat. Kedua, menentang dari ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan masyarakat.
Dari pemikiran di atas, minimal ada tiga tujuan dari liberasi yang harus dikembangkan. Pertama, memberikan kebebasan bereskpresi setiap individu. Kedua, memberikan kepercayaan kepad individu dan masyarakat untuk mengekspresika kebebasannya agar berdaya guna bagi diri dan masyarakat sekelilingnya. Ketiga, bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah dapat memprotek (melindungi) kebebasan berekspresi dan kemauan untuk bebas dari masyarakat.
Liberasi didasari oleh adanya kemampuan (syakilah) dan kekuatan (wus’a) yang ada dalam setiap individu. Dengan kata lain, setiap individu mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk mengembangkan dirinya tanpa harus terkungkung oleh pemikiran dan kultur dan struktur yang ada di sekitarnya. Pengembangan kemampuan dan kekuatan tersebut harus dipersembahkan untuk mewujudkan etika sosial dalam masyarakat, terutama keadilan (al-adalah), persamaan (al-musawwah) dan demokrasi (asy-syura).
Kebebasan dalam arti yang umum mempunyai dua arti: kebebasan dari (freedom from) dan kebebasan untuk (freedom for). Kebebasan dari merupakan kebebasan dari belenggu alam. Oleh karena itu, perjuangan kebebasan ini dalam sepanjang sejarahnya menunjukkan bahwa manusia lebih bebas, seperti dari dari penyakit, kelaparan, ketidakamanan, ketidaktahuan dan takhayul dibanding dengan sejarah manusia sebelumnya. Demikian juga kebebasan dari belenggu institusi-institusi apapun, terutama olitik. Sedangkan kebebasan untuk (freedom for) berbuat sesuatu pada dasarnya sebagai fungsi untuk mencapai tingkat kesejahteraan seluruh manusia di muka bumi. Dalam hal ini, capaiannya adalah menuju tercapainya Ushul al khams (lima prinsip dasar) yang meliputi: Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs wa al-Irdl, Hifdz al-Nasl dan Hifdz al-mal. Oleh karena itu, kebebasan sebenarnya mempunyai tiga tujuan yang utama, yaitu kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi individu, kebebasan sifat kehendak, dan kebebasan dalam arti sosio-politik.
Kebebasan sebagai kesempuranaan eksistensi individu menempatkan manusia – individu maupun bangsa – sebagai makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk menyempurnakan dan melaksanakan eksistensi dirinya dengan tercapainya kemerdekaan, otonomi dan kedewasaan. Cita-cita kepribadian yang merdeka dan berdiri sendiri inilah yang dimaksud dengan kebebasan dalam arti yang luhur. Kebebasan sebagai arah dan tujuan hidup manusia adalah kepribadian atau kedirian yang sifatnya sedemikian rupa sehingga terbebas dari beraneka ragam alienasi yang menekannya baik berupa halangan, ikatan, paksan, dan kebebasan; dan bebas untuk mencapai kehidupan yang utuh, tidak tercela, berdikari dan kreatif. Kebebasan dipergunakan untuk mengungkapkan kemandirian manusia di segal bidang kehidupan,  terutama untuk menunjukkan puncak-puncak tertinggi kehidupan moral dan beragama. Karena, dalam diri manusia masih ada dimensi kebenarandan kemerdekaan yang lebih mendalam, yakni dimensi religius yang membebaskan.
Kebebasan berkehendak adalah merupakan suatu kemampuan manusia, khususnya kemampuan untuk memberikan arah dan arti hidup dan karyanya serta kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus menerus “ditawarkan” dalam kehidupan manusia. Kebebasan berkehendak merupakan kemampuan untuk mengambil keputusan, dan dengan demikian menentukan apakah seseorang akan bertindak atau tidak.
Kebebasan berkehendak ini bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai kesempuranaan eksistensi. Sarana ini diperuntukkan bagi pembebasan manusia dari segala sesuatu yang menghalangi pelaksanaan kesempurnaan dirinya. Maka untuk membebaskan diri dari perbudakan alam, struktur dan sistem ekonomi-sosial ataupun adat-istiadat dan institusi-institusi keagamaan yang bersifat menindas, diperlukan kemampuanuntuk menilai situasi penindasan itu sambil membandingkan dengan apa yang sebenarnya dicita-citakan sebagai kesempurnaan eksistensi diri. Hanya dengan kemampuan semacam inilah, manusia dapat memberikan arti dan arah perbuatan yang dilakukannya dalam kehidupan. Oleh karena itu, kebebasan berkehendak bukan berarti kesewenang-wenangan dalam berbuat. Kebebasan berkehendak berperan sebagai prinsip keteraturan, keterarahan, dan keterlibatan yang akan mencegah diombang-ambingkannya oleh perjalanan kehidupannya sendiri.
Sedangkan kebebasan dalam arti sosio-politik merupakan syarat-syarat fisik, sosial dan politik yang harus terpenuhi supaya manusia dapat menghayati dan melaksanakan secara konkret kebebasan untuk menyempurnakan eksistensi dan kebebasan berkehendak.
Kebebasan dalam arti ini meliputi kebebasan berfikir, bertempat tinggal dan berhimpun, berorganisasi, beragama, berkomunikasi dan lain sebagainya. Kebebasan ini merupakan situasi-kondisi obyektif kehidupan yang diperlukan demi pembebasan manusia agar dapat mencari tujuan hidupnya dengan penentuan jati diri.
Dari penerapan liberasi tersebut diharapkan akan memunculkan individu-individu yang independen, yang tetap menghargai independensi individu yang lainnya sehingga membentuk sikap interdependensi antar individu. Situasi demikian inilah yang akan menghasilkan ide-ide cemerlang yang dapat membentuk rekayasa sosial sebagaimana yang diangan-angankan bersama. Individu-individu yang mempunyai ide-ide cemerlang yang dapat membentuk rekayasa sosial sebagaimana yang diangan-angankan bersama. Individ-individu yang mempunyai ide-ide cemerlang ini sangat kondusif memuculkan free market of ideas (pasar bebas ide) dalam segala wilayah, khususnya di lingkungan PMII. Independensi diri juga akan berimplikasi kepada penghargaan pribadi-pribadi yang pada ujungnya menghasilkan pribadi otonom yang tidak mudah diukur berdasarkan komunal maupun kelompok primordial. Dengan penghargaan yang tinggi terhadap otonomi pribadi juga memungkinkan lahirnya sebuah masyarakat yang tidak sekedar diukur berdasarkan representasi atau “gepokan-gepokan” umat. Dan walhasil demokratisasi bisa berjalan dengan baik dengan memperkecil adanya semangat sektarian-primordial.
Secara organisatoris, liberasi berarti membongkar kekakuan struktur organisasi menuju kekuatan gerak kultural; mengalihkan kekuatan massa ke kekuatan individu dan menggeliat dari hegemoni kekuatan negara menuju kekuatan masyarakat. Dari sini pula harus ada pendobrakan pengertian organisasi yang semula diartikan sebagai organisasi kader dan massa, bergeser kepada semangat paguyuban yang menghargai individu. Paguyuban yang dimaksud di sini adalah PMII dimaknai sebagai tempat berkumpulnya individu-individu yang merdeka dan independen, dengan pola hubungan dan komunikasi yang cair dan terlepas dari kekakuan formalitas organisasi. Melalui semangat paguyuban, ukuran-ukuran kualitas menjadi indikator yang dibangun melalui spirit organisasi. Bukan ukuran gerombolan dan gepokan.
Hal ini tergambar dengan jelas dalam Deklarasi Murnajati. Deklarasi Murnajati yang menghasilkan sikap independensi dan dirumuskan pada 14 Juli 1972 merupakan titik awal PMII yang tidak ingin terikat dalam sikap dan tindakan kepada siapapun dan hanya komited dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila. Deklarasi Independensi merupakan manifestasi kesadaran PMII yang meyakini sepenuhnya tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berfikir dan pembangunan kreatifitas yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam.
Independensi PMII dimaksudkan dalam rangka mendinamisir dan mengembangkan potensi kulturil yang bersumber pada penghayatan dan pengamalan nlai-nilai Islam untuk terbentuknya pribadi Muslim yang berbudi luhur dan bertaqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuan. Pengembangan kreatifitas, keterbukaan dalam sikap dan pembinaan rasa tanggung jawab sebagai dinamika pergerakan, dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta didorong oleh moralitas untuk memperjuangkan cita-cita pergerakan. Pada akhirnya, dengan independensi tersedia kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap bagi cita-cita perjuangan organisasi.
Oleh karena itu, independensi secara organisatoris bukanlah sesederhana pemahaman tentang “melepaskan diri secara struktural dai NU”, melainkan bagaimana PMII dapat memasuki medan juang yang lebih luas dan substantif. Independensi PMII berarti juga kemampuan menjaga hubungan secara sejajar dengan segenap kelompok, agar tetap selalu menjadi kekuatan transformasi, termasuk menggeliat dari arus penyeragaman bangsa. Hal ini sangat penting artinya apabila PMI ingin benar-benar memperkuat daya tawarnya dengan memberdayakan masyarakat rakyat (civil society), yang tercermin dalam rekayasa sosialnya.
IV. ETIKA SOSIAL
Dengan pemahaman arti pentingnya perubahan sosial yang termaktub dalam perjuangan 1) transformasi dari orientasi massa ke individu, 2) transformasi dari struktur ke kultur, 3) transformasi dari elitisme ke populisme, dan 4) transformasi dari negara ke rakyat, diharapkan menjadi pengarah bagi ekspresi juang, melalui cara pandang, model transformasi dan etika sosial. Bagi PMII, keberpihakan – yang tulus, tanpa tendensi dan pertimbangan teknis politis – pada pemberdayaan dan penguatan masyarakat bawah. Dalam konteks politik, maka transformasi tersebut ditujukan bagi seluruh warga negara dimana umat Islam menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan. Pendekatan ini berupaya untuk mengambil jarak dari negara kendatipun tidak berarti menolak keberadaan atau legitimasinya. Yang diinginkan adalah bagaimana kekuatan negara yang sangat besar itu bisa secara gradual diimbangi oleh kekuatan masarakat yang semakin mandiri dan mampu melakukan pengaturan terhadap kepentingannya. Dengan ini diharapkan terdapat keseimbangan kontrol yang justru akan memperkokoh sistem yang hendak dibangun secara bersama.
Kepentingan politik Islam, tidak bisa dilihat secara terpisah dari kepentingan bangsa secara keseluruhan, sehingga tidaklah tepat melakukan pendekatan parsial seperti Islamisasi modernitas dan proses modernisasi di Indonesia, sebab akan memicu sektarianisme di dalam umat Islam dan secara real-politis menghambat proses integrasi umat Islam dalam kebangsaan Indonesia, dan bahkan Islamisasi politik dapat menjurus pada situasi darurat yang memberi legitimasi bagi dipertahankannya status-quo. Islam merupakan salah satu faktor-diantara (komplementer)  masyarakat plural seperti Indonesia. Islam memiliki keterbukaan dan saling belajar dengan sumber-sumber peradaban lainnya. Dengan demikian umat Islam seyogyanya tidak memandang dirinya sebagai faktor kompetitif yang hanya akan berfungsi disintegratif bagi kehidupan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Umat Islam harus menerima Republik yang ada sebagai bentuk negara final. PMII menolak ide dan proyek Islamisasi masyarakat dan politik, sehingga agendanya adalah bagaimana menciptakan masyarakat Indonesia – dimana umat Islam kuat –, dalam pengertian berfungsi dengan sebaik-baiknya. Perjuangan umat, justru mencari platfom yang sama dan titik-titik temu (kalimatun sawa’) dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, untuk memperjuangkan tatanan politik yang modern, demokratis, dan adil. Islam sebagai ajaran seharusnya membrei sumbangan berupa etika sosial bagi masyarakat Indonesia modern. Sebuah masyarakat yang kuat, mandiri dan mampu menjadi landasan sebuah sistem politik demokratis.
Agenda perjuangan Islam adalah upaya-upaya untuk mengembalikan harkat warga negara sebagai pemiliki kedaulatan dan demokrasi sebagai sistem politik yang mampu menjamin partisipasi mereka secara terbuka, setiap kecenderungan partikularisme dihindari namun menolak totalisme dan uniformisme. Selanjutnya, demokrasi menghargai kebebasan berekspresi tetapi pada saat yang sama menuntut tanggung jawab etik; menolak intervensi negara, tetapi tetap memerlukan negara sebagai pelindung dan penengah konflik internal maupun eksternal. Islam harus menyumbangkan pemikirannya sebagai agama yang publik, dan terlibat penuh dalam wacana dan kiprah publik dalam civil society dan bukan pada level negara. Islam kemudian bisa terlibat dalam pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan kekuatan lain tanpa klaim eksklusif. Dengan cara ini pula Islam lantas bisa melakukan kritik terhadap paradigma poltik liberal yang dominan, bersama paradigma-paradigma alternatif lain seperti feminisme, environmentalisme, republikanisme dan sebagainya.
Dalam konteks kehidupan bangsa, PMII memiliki prospek untuk dapat berperan secara tepat dalam jaringang yang strategis sebagai pelopor pembaharuan. Sebab, dalam masa depan yang kompleks interaksi manusia dan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh pertimbangan kemanusiaan. Dan arus informasi yang kuat dan global membutuhkan fungsionaris-fungsionaris organisasi yang bukan sekedar berperan sebagai manager, melainka pemimpin dengan keyakinan agama yang teguh yang berfungsi sebagai agen kemajuan dan kesejahteraan di tengah proses-proses ketergantungan dan perubahan dalam masyarakatnya.
Beberapa etika sosial yang perlu untuk terus dikembangkan adalah sebagai berikut:
1)      Bahwa spriritualisme agama dan nilai-nilai kultur, selain hidup dan tumbuh dalam semangat, mentalitas dan kedalaman transendensi, juga haru terekspresikan dalam segenap dinamika gerak dan perilaku, baik secara individu, maupun secara kelembagaan (community).
2)      Bahwa kemanusiaan merupakan harkat yang selalu dikedepankan dan menjadi pertimbangan utama dalam melihat dan merespon realitas, sehingga Hak Asasi Manusia, humanisme, demokrasi  dan keadilan adalah agenda dan tema perjuanga PMII.
3)      Bahwa kederajatan dan kesamaan antar manusia, melahirkan etos populisme, egalitarianisme yang teraktualisasi dalam semangat pluralitas, anti terhaap “penyeragaman” (uniformitas). Semangat pluralitas ini bisa berwujud dalam perilaku toleran, tasammu, tawazun, I’tidal.
4)      Etos populisme dan egalitarianisme melahirkan semangat untuk hidupu terbuka dan jujur (inklusif) dalm rangka keterbukaan untuk mau berdialog dn belajar bersama dengan sumber peradaban lainnya. Etos inklusivisme ini berimplikasi kepada kemauan untk selalu mengkritisi kultus, dogmatisme dan formalisme.
5)      Bahwa sejarah merupakan proses yang hidup dan bergerak, sehingga kesadaran sejarah adalah etos perbubahan untuk ingin terus-menerus bergerak menuju perbaikan keadaan. Etos perubahan menolak adanya stagnasi dan hegemoni makna atas jalannya sejarah.
6)      Bahwa negara dibentuk untuk menjaga pola hubungan antar sesama warga, berdasarkan kesepakatan. Sehingga negara bukanlah segal-galanya yang berhak memasuki segenap kehidupan bersama. Hegemoni negara yang tumbuh menuntut adanya counter hegemony, sehingga hakekat kedaulatan rakyat terwujud dalam posisi rakyat di atas kedaulatan negara, elit atapun pemerintah. Dalam hal ini civil society merupakan etos dan target perjuangan.
7)      Berbagai kondisi yang berlawanan dengan idealitas yang dibangun selama ini telah menjadi kesadaran seluruh masyarakat dan rakyat bangsa Indonesia, da cita-cita itu tak terlihat dalam realitas sosial, politik dan ekonomi. Oleh karena itu etos reformasi harus selalu ada dalam segenap dinamia juang PMII. Reformasi perilaku dan sistemik menjadi bagian dari kesadaran tantangan masa depan untuk terus bergerak lebih jauh. Dalam hal ini dapat dimulai dari menghilangkan segala bentuk sentralisasi dan koorporatisme negara. Pemberdayaan ormas dan orpo harus dapat diwujudkan dalam kemandirian dan kebebasan, hal ini diperjuangkan dalam rangka kesadaran mewujudkan bangsa dan masyarakat yang cerdas, mandiri, adil dan makmur.
V.    REKAYASA SOSIAL
Rekayasa sosial dimaksudkan sebagai metode dan arah pergerakan dalam upaya-upaya pencapaian tujuan. Rekayasa sosial menggunaka pendekatan, metode dan wahana yang kondusif, yang ditujukan untuk membebaskan manusia dari penjajahan dalam segala bentuknyayang berujud pada penghapusan sistem sosial-kemasyarakatan yang pincang sebagai akibat dari kegagalan manusia menggagas dan menciptakan kebudayaan. Dalam hal ini, termasuk bentuknya adalah sentraliasi pembangunan ekonomi dan usaha ekonomi finansial transnasional.
Rekayasa sosial mempunyai wilayah, yang satu sama lainnya berbeda. Pada wilayah kebangsaan, rekayasa sosial diarahkan pada perebutan kembali kedaultan rakyat yang telah hilang digantikan oleh kedaultan negara. Perebutan ini disamping sebagai amanat sejarah, juga untuk memperkuat demokratisasi politik, ekonomi dan sosial. Pada wilayah budaya, rekayasa sosial diarahka untuk memperkuat kebudayaan rakyat yang kering dan hampir mati oleh arus modrnisasi. Penghidupan ini dilakukan dengan memberikan peluang berkembangnya budaya rakyat secara otonom, tanpa intervensi oleh kekuasaan negara. Ang lebih penting lagi adalah penghidupan budaya tersebut diambilkan sarinya sehingga menghantarkan kebudayaan dijadikan sebagai penyadaran atas nilai-nilai kemanusiaan, perjuangan penegakan atas nilai-nilai keadilan dan perlawanan atas penyelewengan amanat kekuasaan.
Rekayasa sosial akan menghasilkan pendobrakan dan penataan kembali terhadap sistem intelektualitas, “pola hubungan-bargaining” pada tingkat negara, dan sistem religiusitas. Bagaimana sistem kepercayaan dan keberagamaan tersebut dapamenjadi nilai yang transformatif dan membebaskan, baik bagi dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pengkayaan dan pencarian ulang terhadap sistem teologi Aswaja yang dianut selama ini tidak mengenal kata selesai.
Penataan sistem intelektualitas diterjemahkan sebagai penguatan kapasitas konseptual dan profesionalitas sehingga outputnya akan menghasilkan industri pengetahuan (industry of knowladge). Sistem intelektualitas tetap merupakan sitem pengetahuan yang memihak, yaitu pada yang tertindas dan lemah. Namun demikian, sistem ini harus dapat berupa gerakan yang besar sehingga menemukan lahan industrinya. Salah satu jalan yang harus ditempuh adalah dengan meningkatkan profesionalitas akademik dan pengawinan pengetauan dengan pilar-pilar kemasyarakatanb seperti pers, LSM, agamawan, termasuk kekuasaan. Sehingga membentuk sebuah kekuatan transformasi, yang sinergis.
Oleh karena itu, rekayasa sosial diarahkan menjadi dua pola, yaitu Free Market Of Ideas (FMI) dan Advokasi. Free Market of Ideas (FMI) didasari oleh adanya individu-individu yang bebas dan kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi, baik dalam pengkaderan maupun dalam pertemanan transformatif lainnya. Free Market of Ideas (pasar bebas ide) sebagai upaya pencarian out put gerakan PMII, baik pada tataran internal PMII, wilayah negara maupun pada masyarakat bawah.
Asumsi dasar dari FMI ini adalah bahwa visi gerakan PMII yang selam ini – liberasi, independensi, interdependensi – menuntut adanya hasil (out put) yang lebih dapat dirasakan baik oleh warga maupun masyarakat luas. Sebab, tuntutan “produk” gerakan PMII selama ini, outputnya kurang dicerna oleh masyarakat luas dan belum mampu menyeruak dalam ruang publik, sehingga kurang didengar dan diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan lainnya.
Semua ini terjadi karena PMII belum mempunyai sistem pasar bebas ide (FMI yang mampu menghasilkan industri pengetahuan dengan didasari oleh keunggulan konseptual dan profesionalitas. Dari sini PMII akan melakukan “jual-beli” wacana dan ide secara sistemik, baik dalam konsep keagamaan, sosial, ekonomi, politik, kebangsaan, rekayasa sosial dan yang lainnya agar dapat menjadi bayangan dan tawaran alternatif.
Free Market of Ideas pada tingkat internal warga, merupakan ruh paguyuban, yang di dalamnya terjadi proses “bazar ide”. Bazar ide memberikan kebebasan memberi dan menerima segenap penjelajahan (eksplorasi) pemikiran. Dalam konteks ini penumbuhan komunitas yang hidup dalam kegairahan imajinasi (imagine society). Komunitas penuh ide dan kreatifitas bisa muncul bila selalu diperhadapkan dan dihadapkan dengan realitas masyarakat, terutama dalam konteks kebobrokan sistem kehidupan manusia. Di sinilah PMII harus sealu menjaga jarak dengan segenap bentuk kemapanan.
Penguatan ke dalam sebagai basis transformasi dan rekayasa sosial dilakukan pada tiga wilayah, penguatan ideologi sosial sebagai kekuatan politik (intelektualitas), penguatan kualitas pendidikan kader baik formal maupun informal sebagai kekuatan profesionalitas, dan penguatan basis ekonomi melalui penemuan kreatif sumber-sumber pembiayaan dan kemandirian.
Perwujudan FMI pada wilayah eksternal menntut adanya output (produk) PMII dari berbagai temuannya. Output FMI pada tingkat negara bangsa dilakukan dengan enggunakan tiga pengemasan. Pertama, tawaran konseptual. Tawaran konseptual ini dapat berupa kerjasama maupun pengambilan konsesi-konsesi, dalam rangka merumuskan pemikiran-pemikiran publik, sebagai bagian dari upaya memasarkan ide ke masyarakat. Tawaran konseptual dilakukan sebagai upaya membangun ideologi-kultural.
Kedua, pendelegasian. Dengan meletakkan kekuasaan sebagai partner, maka kekuasaan bukanlah kemewahan, sehingga kerjasama dengan berbagai konsesi kualitatif dapat dilakukan, melalui kemenangan ide PMII.  Berkuasa tanpa masuk ke dalam struktur kekuasaan, itu perlu dilakukan dalam memperkuat jaringan kerja sama. Dengan kekuatan lobby sebagai wahana mengawingkan kekuatan intelektual-liberatif dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada, terutama tawar-menawar kerja sama dengan kekuasaan bisa dijalankan. Ketiga, gerakan kritisisme. Gerakan kritisisme ini tidak sekedar gerak dan tanpa konsep, namun gerakan ini sebagai upaya penawaran konsep alternatif dari segenap kepengapan dan stagnasi pada wilayah teoritik maupun praksis.
Rekayasa sosial advokasi dilakukan untuk segala korban dari perubahan, dengan kemampuan diri. Pada gerakan advoasi ini mengambil sarana dan obyek sesuai dengan sistem lokalitas masyarakat yang ada. Advokasi dilakkukan dengan mengambil tiga bentuk gerakan, sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan serta pendampingan. Ketiga gerakan ini ditujukan sebagai pendidikan politik masyarakat akan hak-haknya sehingga angan-angan civil society tercapai.
Advokasi dilakuka dalam rangka transformasi nilai yang diyakini kebenarannya melalui pertanggungjawabkan ilmu yang diembannya. Advokasi mengambil tiga sasaran utama, yaitu ideologisasi sosial kegamaan, ekonomi dn pendidikan. Untuk mewujudkan gerakan advokasi ini diperlukan kerja-kerja rintisan yang dapat mempercepat proses transformasi tersebut[.]

0 komentar:

Posting Komentar

 

Arsip Blog

Traffic Info

PK PMII UNISLA Veteran
Flag Counter