KEPUTUSAN MUSPIMNAS
PERGERAKAN MAHASISWA
ISLAM INDONESIA
Nomor
:….MUSPIMNAS.PMII.12.2009
Tentang :
STRATEGI PENGEMBANGAN KADERISASI
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Bismillahirrahmanirrahim,
Pimpinan MUSPIMNAS
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia setelah:
Menimbang
|
:
|
1.
Bahwa demi
mewujudkan kelancaran kegiatan maka dipandang perlu adanya Strategi
Pengembangan Kaderisasi
2.
Bahwa untuk
memberikan kepastian hukum, maka dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan
MUSPIMNAS Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia tentang Strategi Pengembangan
Kaderisasi
|
Mengingat
|
:
|
1.
AD-ART PMII
2.
Hasil KONGRES XVI
PMII di Batam tahun 2008
|
Memperhatikan
|
:
|
Hasil
Sidang Pleno tentang
Strategi Pengembangan Kaderisasi
|
MEMUTUSKAN
|
||
Menetapkan
|
:
|
1.
Strategi
Pengembangan Kaderisasi
2.
Keputusan ini akan
ditinjau kembali jika di kemudian hari terdapat kekeliruan.
3.
Keputusan ini
berlaku sejak tanggal di tetapkan
|
Wallahul Muwafieq Ilaa Aqwamith Tharieq
Ditetapkan di :
Manado
Pada tanggal :
................................
Pukul :
................................
PIMPINAN
MUSYAWARAH PIMPINAN NASIONAL (MUSPIMNAS)
PERGERAKAN MAHASISWA
ISLAM INDONESIA
MUHAMMAD RODLI KAELANI ZAINI SHOFARI
Ketua Umum Sekretaris Jendral
STRATEGI PENGEMBANGAN KADERISASI
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
A.
LATAR BELAKANG
1.
Internal: Konsep dan Pilar Kaderisasi
Upaya pengkaderan PMII haruslah selalu bersumber pada
nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang digali serta dikembangkan dari
pemahamannya atas kenyataan, keberadaan, potensi dan dimensi-dimensi lingkungan
strategis yang melingkupi dirinya secara utuh dan otentik. Karenanya maka
talenta, kehendak dan gerak seluruh kader pergerakan selalu merupakan
perwujudan dan kesatuan yang utuh dan inherent
dari ketiga pilar yakni: pertama
semangat gerakan, ketrampilan dan daya intelektualitasnya sebagai mahasiswa; kedua keyakinan, pemahaman, pelaksanaan
dan penghayatannya atas ajaran agama Islam; serta ketiga pengetahuan, wawasan, komitmen dan pembelaannya atas
kelangsungan negara-bangsa Indonesia. Wacana, nilai-nilai dan model gerakan
apapun yang diperjuangkan oleh PMII selalu merujuk sekaligus bermuara pada
penegasan ketiga pilar di atas, yakni Kemahasiswaan, Keislaman dan
Keindonesiaan.
Dalam situasi ‘zaman bergerak’ yang
ditandai dengan carut-marutnya berbagai pranata sosial dan ‘ketidak-tahuan
pengetahuan’ untuk mengerti problem dasar masyarakat dan umat manusia, maka
tugas kader pergerakan bukanlah pertama‑tama memberi jawaban, tetapi justru
merumuskan sebanyak mungkin pertanyaan pada dirinya sendiri, dan baru kemudian
pada lingkungannya. Tanpa kesediaan mengoreksi dirinya sendiri dalam kontinum
gerak sejarah dan dinamika perkembangan pengetahuan, maka apapun yang dilakukan
dan dihasilkan oleh kaum pergerakan akan selalu ahistoris dan tercerabut dari
akar sosio-kultural dan sosio-humanistiknya; terlepas dari alam bawah sadar dan
psikodinamika masyarakatnya.
Ketiga pilar tersebut dengan sendirinya menjadi model dasar untuk memandang serta merancang suatu
model gerakan (yang bersifat dinamis
dan transformatif, bahkan bersifat revolusioner) karena ─hanya jika dimengerti─
dengan cara itulah makna singkatan dan fungsi PMII memiliki relevansi serta
pertanggung‑jawaban ‘intelektual’ pada gerak peradaban, sejarah dan mandat
sosialnya, serta masyarakat, bangsa dan negaranya. Sehingga pengertian istilah
‘pergerakan’ itu jelas sangat berbeda dengan ─misalnya─ istilah ‘himpunan’ (dalam
bahasa aljabar, himpunan artinya bersifat statis dan sekadar berfungsi dalam
penjumlahan).
2.
Eksternal: Sketsa Kenyataan
Situasi eksternal yang melatarbelakangi gerakan dan
kaderisasi PMII dapat digambarkan dalam tiga sketsa. Pertama sifat
transaksional yang makin merasuk dalam pola relasi baik di bidang politik
maupun sosial.
Tahun 2008-2009 boleh dikata tahun politik nasional.
Sepanjang tahun itu moment Pemilu menciptakan situasi yang serba penuh
perhitungan (transaksional) dalam konteks relasi. ‘Tidak ada makan siang
gratis’, sebuah pameo terkenal dalam dunia politik, sampai tingkat tertentu
merasuk ke seluruh bentuk relasi termasuk relasi sosial; dimana setiap bentuk
kesepakatan mengharuskan adanya imbal-balik.
Sifat transaksional tersebut bukan semata-mata lahir
karena momentum Pemilu. Sifat ini terbentuk secara perlahan oleh desakan modernitas,
dan dipercepat oleh setidaknya dua faktor: pertama kesepakatan pewujudan
pasar bebas di tingkat internasional,
yang berjalan melalui jalur organisasi teritorial dan jalur sektoral, dimana
Indonesia ikut bersepakat di dalamnya. Faktor kedua adalah penguatan
institusi demokrasi dalam sistem pemerintahan kita yang, di samping merupakan
realisasi dari tuntutan reformasi, juga menjadi mekanisme yang paling
kompatibel bagi sistem pasar bebas.
Sifat transaksional ditandai, siapa punya kuasa (uang, massa,
otoritas) mereka yang mampu menentukan keputusan. Tentu saja kondisi tersebut
belum sampai pada tingkat kerusakan yang tidak mungkin diperbaiki. Masih ada
ruang bebas dari sifat transaksional, di antaranya dalam ruang gerakan
mahasiswa. Akan tetapi, sebagai fakta yang berkembang dalam arena gerakan,
sifat tersebut harus direspon.
Sketsa kedua, sistem pendidikan di Indonesia
bergerak mengikuti hukum ekonomi pasar seperti tertangkap dari lahirnya UU BHP
(Badan Hukum Pendidikan) yang dapat diartikan menempatkan sekolah (SD hingga
Perguruan Tinggi) sebagai salah satu aktor ekonomi. Sementara pada sisi yang
sama, lembaga pendidikan mempersiapkan peserta didik untuk menjadi
pekerja/pegawai/buruh; bukan pembangunan mental produktif untuk menciptakan
peluang kerja baru. Sehingga terjadilah pertambahan tingkat pengangguran
mengikuti tingginya angka lulusan sekolah (SMU dan Perguruan Tinggi).
Pendidikan kita merangsang tumbuhnya mental pegawai justru
dalam lingkungan nasional yang menggantungkan pertumbuhan ekonomi dari
investasi asing, pajak, dan hutang. Perpaduan di antara kedua hal ini yang
menjadi sebuah tantangan bermata dua: pada satu sisi terjadi di ‘luar’ kita, di
sisi yang lain sangat mungkin perpaduan itu melekat pada diri kita bersama.
Ketiga, Indonesia belum menemukan wawasan dan visi
geostrategis yang kokoh untuk
memperjuangkan kepentingan nasionalnya di dalam konteks hubungan antar bangsa.
Indonesia belum mampu menempatkan diri secara taktis dalam berhubungan dengan
negara lain, melainkan masih terpaku pada patron klasik yaitu Amerika Serikat.
Sementara saat ini kekuatan internasional terbagi pada banyak pusat/kutub (multipolar),
dimana satu dengan yang lain saling bersiasat untuk menggaransi survival jangka
panjang masing-masing. Tanpa kemampuan menempatkan diri secara taktis dalam
berhubungan dengan negara lain, Indonesia akan mudah tersandera oleh
kepentingan/agenda patronnya ketika peta politik internasional berubah.
Situasi yang terus bergerak ini tidak boleh luput dari
perhatian PMII, sebaliknya justru harus menjadi pandangan dunia (weltanscahung)
kaderisasi dan gerakan PMII. Pemahaman atas kenyataan dunia yang terus bergerak
dan posisi Indonesia di dalamnya menentukan kualitas output kader PMII.
B.
KADER DAN PENGKADERAN
KADER berasal dari bahasa Yunani cadre yang berarti bingkai. Bila dimaknai
secara lebih luas berarti orang yang mampu menjalankan amanat, memiliki
kapasitas pengetahuan dan keahlian, pemegang tongkat estafet sekaligus
membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi. Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang
punggung kontinyuitas sebuah organisasi.
Di PMII sebutan kader disandang
oleh anggota yang telah mengikuti Pelatihan Kader Dasar (PKD). Namun secara
utuh, kader adalah mereka yang telah tuntas
dalam mengikuti seluruh Pengkaderan Formal, teruji
dalam Pengkaderan Informal dan memiliki bekal
melalui Pengkaderan Non Formal. Dari mereka bukan saja diharapkan eksistensi
organisasi dapat tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan
membawa misi gerakan PMII hingga paripurna.
PENGKADERAN berarti proses bertahap dan
terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu, yang
memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik,
moral dan sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan dirinya
sendiri untuk memperbaiki keadaan sekarang dan mewujudkan masa depan yang lebih
baik ─sesuai dengan cita-cita yang diidealkan, nilai-nilai yang diyakini serta
misi perjuangan yang diemban.
SISTEM berasal dari kata Yunani sustema yang bertarti
kumpulan. Bila kita maknai, artinya adalah kumpulan utuh menyeluruh dari
bagian-bagian atau hal-hal yang bersifat konsisten, teratur, saling terkait,
interaktif, bekerja bersama-sama; terbentuk atas dasar prinsip, rencana, skema,
dan metode yang rasional, mudah dimengerti dan dijalankan, untuk mencapai hasil
atau tujuan tertentu berdasarkan situasi dan kebutuhan yang nyata.
SISTEM PENGKADERAN PMII adalah
totalitas upaya pembelajaran yang dilakukan secara terarah, terencana,
sistemik, terpadu, berjenjang dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi,
mengasah kepekaan, melatih sikap, memperkuat karakter, mempertinggi harkat dan
martabat, memperluas wawasan, dan
meningkatkan kecakapan insan-insan pergerakan agar menjadi manusia yang muttaqin,
beradab, berani, santun, cerdik-cendekia, berkarakter, terampil, loyal, peka,
mampu dan gigih menjalankan roda organisasi dalam segala upaya pencapaian
cita-cita dan tujuan perjuangannya.
Sistem Pengkaderan PMII mengenal tiga bentuk pengkaderan
yang berkait satu dengan yang lain yaitu Pengkaderan Formal (MAPABA, PKD, PKL),
Pengkaderan Informal dan Pengkaderan Non-Formal (pelatihan-pelatihan).Secara
bersama-sama, ketiganya terpadu dengan suasana dan kebiasaan sehari-hari di
lingkungan PMII yang memiliki andil menentukan dalam proses pengkaderan.
Karena
diorientasikan untuk membentuk serta mengembangkan karakter, sikap, etika,
produktivitas dan kreatifitas para kader, maka pengkaderan bisa dikategorikan sebagai aktivitas asasi dan
sekaligus profetik. Terutama dalam upayanya mewujudkan misi, peran dan fungsi
dalam kehidupan pribadi dan organisasi serta kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Pengkaderan PMII
juga merupakan sarana “perkaderan gerakan sosial”, yakni pembelajaran sosial
atau pendidikan “politik gerakan” yang sistemik, terarah dan kontinyu. Melalui
pengkaderan, insan-insan
pergerakan diperluas pengetahuan dan wawasannya, ditempa keberanian dan
karakternya, dikembangkan potensi dan kemampuan dirinya, dipupuk
kemandiriannya, serta diasah kesadaran, kepekaan, kehendak dan kecakapan (“life-skill”, gerak dan ‘naluri
petarung”) sosialnya.
C.
STRATEGI PENGKADERAN PMII
Sebuah gerakan yang rapi dan massif harus mengandaikan terbentuknya
faktor-faktor produksi, distribusi dan wilayah perebutan. Tanpa mengunakan
logika ini maka gerakan akan selalu terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian
mati tanpa meninggalkan apa-apa selain kemasyuran dan kebanggaan diri belaka.
Katakanlah kita sedang akan membangun sebuah gerakan maka dimana wilayah
perebutan yang akan kita temui dan oleh karena itu apa yang harus kita produksi
dan mengunakan jalur distribusi seperti apa agar produk-produk gerakan kita
tidak disabotase di tengah jalan. Rangkaian produksi-distribusi-perebutan ini
adalah sebuah mata rantai yang tidak boleh putus, karena putusnya sebuah mata
rantai ini berati matinya gerakan atau setidak-tidaknya gerakan hanya akan
menjadi tempat kader-kadernya heroisme-ria. Dan yang lebih penting bahwa
gerakan semacam ini akan lebih mudah untuk di aborsi.
Yang pertama-tama perlu di kembangkan di PMII adalah bahwa sejarah itu
berjalan dengan masa lalu, bukan karena semata-mata masa lalu itu ada, tetapi
karena masa lalu telah membentuk hari ini dan hari esok. Artinya capaian
tertinggi dari sebuah gerakan adalah ketika satu generasi telah berhasil
mengantar generasi berikutnya menaiki tangga yang lebih tingi. Visi historis
inilah yang akan menjadikan PMII sebagai organisasi besar yang berpandangan
kedepan dan universal, karena PMII tidak didirikan hanya untuk bertahan selama
sepuluh atau dua puluh tahun, tetapi PMII didirikan untuk melakukan perubahan
tata struktur dan sistem. Dengan demikian paradigma menempati posisi yang
sangat vital dalam membangun gerakan PMII ke depan, bukan semata-mata karena
kita membutuhkan paradigma, tetapi karena paradigma itu seharusnya memandu
gerakan PMII dalam longue duree dalam bingkai dunia.
Selama ini, perdebatan paradigmatik di PMII hanya bersifat reaksioner,
bukan sebuah inisiatif yang didasarkan pada gerak maju yang terencana. Kondisi
seperti inilah yang kemudian membatasi ruang lingkup gerakan PMII yang hanya
melingkar di orbit internal NU dan tidak mampu melakukan pendudukan dan
perebutan sektor-sektor setrategis yang memiliki resonansi luas kepada publik.
Sejauh berkaitan dengan perubahan struktural yang dicitakan PMII, maka
pendudukan dan perebutan sektor-sektor publik adalah suatu keniscayaan.
Masalahnya selama ini yang di puja-puja oleh sebagaian besar aktifis PMII
adalah gerakan kultural an sich yang mengabaikan segala sesuatu yang
bersifat struktur. Katakanlah dikotomi gerakan
kultural-struktural yang menjadikan PMII sebagai penjaga gerbang
kultural sementara organisasi kemahasiswaan yang lainnya, misalnya sebagai
pemain struktural telah menimbulkan kesesatan berfikir sedari awal tentang
gerakan yang dibayangkan (imagined movement) oleh kader-kader PMII,
bahwa PMII cukup hanya bergerak di LSM-LSM saja dan tidak perlu berorientasi di
kekuasan. Jadi paradigma merupakan suatu keniscayaan yang di bangun berdasakan atas pandangan PMII
tentang dunia dalam realitas globalisasi dan pasar bebas yang saat ini sedang
berjalan.
Melalui
strategi pengkaderan yang berorientasi jangka panjang ini, diharapkan di masa
yang akan datang PMII akan menjadi salah satu organisasi yang mempunyai
jaringan di semua lini gerakan mampu menjadi salah satu faktor perubahan yang
signifikan. Tetapi yang perlu dicatata bahwa sistem pengkaderan jangka panjang
merupakan pekerjaan generasi, sehingga kita akan kesulitan untuk melihat
indikator perubahan internal PMII dalam
ukuran hari dan bulan. Selain itu perlu diperhatikan signifikansi out put yang ingin di capai dari hasil
proses kaderisasi, sehingga ada tawaran out
put berupa, placement, warring position dan performance kader.
D.
REKOMENDASI
1.
Penajaman dan evaluasi materi kaderisasi formal.
2.
Mencari terobosan baru format kaderisasi, khususnya
standarisasi kaderisasi di kampus umum
3.
Menseimbangkan Kaderisasi Informal dan Non Formal dengan
Formal
4.
Memperkuat doktrin PMII melalui kaderisasi
Melanjutkan program Sekolah Kader Nasional (SKN) dan
merangkainya sebagai format dasar (bukan bentuk) kaderisasi PMII.
0 komentar:
Posting Komentar