“Gender ; Emansipasi Yang Mengerti Kodrat Manusia”
GENDER?
Apa sih gender itu? banyak yang kita mungkin belum mengerti
benar ataupun malah nggak tau apa itu gender. Bahkan ada yang salah kaprah
menganggap gender itu makhluk yang tidak perlu ada karena banyak merugikan
pihak tertentu.
Gender itu berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti
jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada
laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Kalau begitu
antara gender dengan seks sama dong ? Pertanyaan itu sering muncul dari
pengertian kata asli dari genus atau gender itu sendiri.
Hikayat Pembagian Peran
Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender itu sendiri
adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah
dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu
tertentu pula.
Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan
seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya
laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili, sementara
perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui
dan menopause.
Bagaimana pula bentuk hubungan gender dengan seks (jenis
kelamin) itu sendiri? Hubungannya adalah sebagai hubungan sosial antara
laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah
merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender
berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain,
akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang
dianut.
Contoh; masyarakat kultur tertentu dengan masyarakat kultur
lainnya, masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan. ( berikan contoh
konkret).
Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya
di masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan” misalnya perempuan
itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh
anak, pengurus rumah dll. Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa,
perkasa (macho), pencari nafkah dll. Maka terjadilah ketidakadilan dalam
kesetaraan peran ini.
Proses pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh
orangtua kita, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja
atau tanpa sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita
berpikir bahwa memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan.
Bahkan, kita menganggapnya sebagai kodrat. “Kan memang kodrat gue sebagai cewek
untuk lemah gemulai, mau menerima apa adanya, dan enggak boleh membantah.
Sementara saudara gue yang cowok harus berani, tegas, dan bisa ngatur!” Begini
kita sering memahami peran jenis kelamin kita, bukan?
Dari kecil kita telah diajarkan, cowok akan diberikan mainan
yang memperlihatkan kedinamisan, tantangan, dan kekuatan, seperti mobil-mobilan
dan pedang-pedangan. Sedangkan cewek diberikan mainan boneka, setrikaan, alat
memasak, dan lainnya.
Lalu, ketika mulai sekolah dasar, dalam buku bacaan
pelajaran juga digambarkan peran-peran jenis kelamin, contohnya, “Bapak membaca
koran, sementara Ibu memasak di dapur”. Peran-peran hasil bentukan sosial-budaya
inilah yang disebut dengan peran jender. Peran yang menghubungkan pekerjaan
dengan jenis kelamin. Apa yang “pantas” dan “tidak pantas” dilakukan sebagai
seorang cowok atau cewek.
Sebenarnya kondisi ini enggak ada salahnya. tetapi akan
menjadi bermasalah ketika peran-peran yang telah diajarkan kemudian menempatkan
salah satu jenis kelamin (baik cowok maupun cewek) pada posisi yang tidak
menguntungkan. Karena enggak semua cowok mampu bersikap tegas dan bisa ngatur,
maka cowok yang lembut akan dicap banci. Sedangkan jika cewek lebih berani dan
tegas akan dicap tomboi. Tentu saja hal ini enggak enak dan memberikan tekanan.
Bagaimana bentuk-bentuk diskriminasi gender?
Marginalisasi (peminggiran). Peminggiran banyak terjadi
dalam bidang ekonomi. Misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan
yang tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status
dari pekerjaan yang didapatkan. Hal ini terjadi karena sangat sedikit perempuan
yang mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat
kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan,
tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan
(teknologi).
Subordinasi (penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah,
tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi
nomor dua setelah laki-laki.
Stereotip (citra buruk) yaitu pandangan buruk terhadap
perempuan. Misalnya perempuan yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang
dan berbagai sebutan buruk lainnya.
Violence (kekerasan), yaitu serangan fisik dan psikis.
Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait
dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip diatas. Perkosaan, pelecehan
seksual atau perampokan contoh kekerasan paling banyak dialami perempuan.
Beban kerja berlebihan, yaitu tugas dan tanggung jawab
perempuan yang berat dan terus menerus. Misalnya, seorang perempuan selain
melayani suami (seks), hamil, melahirkan, menyusui, juga harus menjaga rumah. Disamping
itu, kadang ia juga ikut mencari nafkah (di rumah), dimana hal tersebut tidak
berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab diatas.
Memperjuangkan kesetaraan
Memperjuangkan kesetaraan bukanlah berarti mempertentangkan
dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi, ini lebih kepada membangun
hubungan (relasi) yang setara. Kesempatan harus terbuka sama luasnya bagi cowok
atau cewek, sama pentingnya, untuk mendapatkan pendidikan, makanan yang
bergizi, kesehatan, kesempatan kerja, termasuk terlibat aktif dalam organisasi
sosial-politik dan proses-proses pengambilan keputusan.
Hal ini mungkin bisa terjadi jika mitos-mitos seputar citra
(image) menjadi “cowok” dan “cewek” dapat diperbaiki. Memang enggak ada cara
lain. Sebagai cowok ataupun cewek, kita harus menyadari bahwa kita adalah
pemain dalam kondisi (hubungan) ini. Jadi, untuk bisa mengubah kondisi-kondisi
yang tidak menguntungkan ini, maka baik sebagai cowok ataupun cewek kita harus
terlibat.
Berkenaan dengan hal ini, pemerintah Indonesia bahkan telah
mengeluarkan Inpres no. 9 tahun 2001 tentang Pengarus-Utamaan Gender (PUG),
yang menyatakan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus
mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif
jender.
Tetapi bagaimana kita sebaiknya memulainya ? mungkin
langkah-langkah ini dapat membantu
1 Bangun kesadaran diri
Hal pertama yang mesti kita lakukan adalah membangun
kesadaran diri. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Karena peran-peran yang
menimbulkan relasi tak setara terjadi akibat pengajaran dan sosialisasi, cara
mengubahnya juga melalui pengajaran dan sosialisasi baru. Kita bisa melakukan
latihan atau diskusi secara kritis. Minta profesional, aktivis kesetaraan
jender, atau siapa pun yang kita pandang mampu membantu untuk memandu pelatihan
dan diskusi yang kita adakan bersama.
2 Bukan urusan cewek semata
Kita harus membangun pemahaman dan pendekatan baru bahwa ini
juga menyangkut cowok. Tidak mungkin akan terjadi perubahan jika cowok tidak
terlibat dalam usaha ini. Cewek bisa dilatih untuk lebih aktif, berani, dan
mampu mengambil keputusan, sedangkan cowok pun perlu dilatih untuk menghormati
dan menghargai kemampuan cewek dan mau bermitra untuk maju.
3 Bicarakan
Salah satu cara untuk memulai perubahan adalah dengan
mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan tekanan atau diskriminasi. Cara terbaik
adalah bersuara dan membicarakannya secara terbuka dan bersahabat. Harus ada
media untuk membangun dialog untuk menyepakati cara-cara terbaik membangun
relasi yang setara dan adil antarjenis kelamin. Bukankah ini jauh lebih
membahagiakan?
4 Kampanyekan
Karena ini menyangkut sistem sosial-budaya yang besar, hasil
dialog atau kesepakatan untuk perubahan yang lebih baik harus kita kampanyekan
sehingga masyarakat dapat memahami idenya dan dapat memberikan dukungan yang
dibutuhkan. Termasuk di dalamnya mengubah cara pikir dan cara pandang
masyarakat melihat “cowok” dan “cewek” dalam ukuran “kepantasan” yang mereka
pahami. Masyarakat harus memahami bahwa beberapa sistem sosial-budaya yang
merupakan produk cara berpikir sering kali enggak berpihak, menekan, dan
menghambat peluang cewek untuk memiliki kesempatan yang sama dengan cowok. Jadi
ini memang soal mengubah cara pikir.
5 Terapkan dalam kehidupan sehari-hari
Tidak ada cara terbaik untuk merealisasikan kondisi yang
lebih baik selain menerapkan pola relasi yang setara dalam kehidupan kita
masing-masing. Tentu saja semua harus dimulai dari diri kita sendiri, lalu
kemudian kita dorong orang terdekat kita untuk menerapkannya. Mudah-mudahan
dampaknya akan lebih meluas
Meneguhkan Pendidikan Berperspektif Gender
Oleh Niken Indar Mastri *
Diakui atau tidak, gerak maju kaum perempuan di Indonesia masih menghadapi
segudang persoalan. Jumlah perempuan di Indonesia yang lebih banyak
dibandingkan dengan kaum laki-laki di satu sisi dituntut untuk lebih
meningkatkan peran dan kemampuannya dalam berkiprah di semua sektor.
Namun di sisi lain, masalah yang dihadapi kaum perempuan, seperti
"ketertinggalan", terpinggirkan, dan belum mampu berperan maksimal di semua
lini, masih menjadi problem yang perlu diseriusi, khususnya oleh para aktivis
perempuan. Sebab, upaya memajukan mereka tersandung berbagai persoalan,
khususnya sosial dan budaya yang hingga kini masih menimbulkan bias-bias gender
di masyarakat.
Mengapa bias gender masih terjadi? Sebab, hingga kini realitas masyarakat masih
menomorsatukan salah satu jenis kelamin tertentu, derajat laki-laki lebih
tinggi di atas perempuan. Bias-bias gender itu dapat kita ditemui, baik di
lingkungan keluarga, publik, kerja, masyarakat maupun pendidikan.
Tegasnya, bias-bias gender tersebut terlihat dalam peran dan aktivitas yang
dilakukan perempuan dan laki-laki. Perilaku seseorang -yang sudah terpola
menyangkut hak dan kewajiban serta berhubungan dengan status pada kelompok
ataupun masyarakat tertentu- pada situasi sosial yang khas mengakibatkan bias
gender itu mapan.
Pemahaman yang keliru akan kodrat perempuan menjadi salah satu pemicunya.
Kodrat perempuan yang -seakan-akan- terdiri atas mengandung, melahirkan, dan
menyusui itu menimbulkan persepsi distorsi masyarakat bahwa perempuan hanya
berperan di rumah tangga. Akibatnya, peranan perempuan masih dibatasi dan
dikekang.
Dalam lingkungan keluarga, misalnya, tidak sedikit yang terjebak dalam
pemahaman tersebut, yakni membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, baik
potensi, peranan, maupun aktivitasnya. Tidak jarang, anak laki-laki
dinomorsatukan karena dianggap memiliki karir yang baik dan dapat mengangkat
derajat keluarga. Hal tersebut menyebabkan anak laki-laki dituntut belajar
lebih keras agar cita-citanya tercapai.
Anak perempuan diarahkan menjadi penurut agar mendapat jodoh yang baik.
Pendidikan untuk anak perempuan lebih longgar dibandingkan dengan laki-laki.
Yang penting bagi anak perempuan, dalam lingkungan keluarga yang tidak peka
gender, adalah moral dan perilaku. Mereka tidak terlalu dituntut untuk bisa
mencari uang atau berperan di sektor publik karena setelah menikah akan
mengikuti suami.
Bahkan, anak perempuan lebih banyak memiliki larangan. Larangan-larangan
tersebut merupakan konstruksi budaya setempat. Secara umum, anak perempuan
tidak boleh melakukan sesuatu yang dianggap tabu atau tidak pantas dilakukan
perempuan. Sebaliknya, bila anak laki-laki yang melakukan tindakan itu,
masyarakat tidak memandang sebagai suatu hal yang negatif.
Demikian pula, di lingkungan pendidikan. Masih ada kecenderungan bahwa jabatan
ketua kelas, pemimpin organisasi di sekolah, komandan upacara diberikan pada
siswa laki-laki. Sebaliknya, siswa perempuan diberi tugas sebagai sekretaris,
bendahara, atau pekerjaan ringan lainnya.
Fakta tersebut disebabkan persepsi bahwa bila yang ditunjuk sebagai pemimpin
itu perempuan, tentu kurang dapat memimpin. Sebab, perempuan takut dengan
laki-laki, tidak berani menegur atau memperingatkan, kurang tegas, suaranya
kurang lantang, pemalu, halus, dan sebagainya.
Pandangan-pandangan miring seperti itu tanpa disadari justru menimbulkan
subordinasi terhadap perempuan. Hal tersebut mengakibatkan perempuan tidak
dapat mengaktualisasikan potensi dan kemampuannya, misalnya tampil menjadi
pemimpin. Menurut Mansour Fakih (1997:54), hal itu mengakibatkan munculnya
sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak dipentingkan. Sungguh
suatu hal yang naïf sekali.
Berperspektif Gender
Menurut Mansour Fakih (1996:10), gender merupakan konstruksi sosial yang
membedakan peran dan kedudukan wanita dan pria dalam suatu masyarakat yang
dilatarbelakangi kondisi sosial budaya. Gender juga memiliki pengertian sebagai
konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara pria dan wanita.
Gender merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia yang biasanya menghambat
kemajuan wanita.
Dari pengertian tersebut, jelas bahwa gender tidak bersifat universal, bukan
kodrat wanita, dan dapat berubah karena pengaruh perjalanan sejarah, perubahan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kemajuan pembangunan.
Jadi, ia merupakan hasil bentukan masyarakat (socially constructed). Tetapi,
berbagai macam bias (penyimpangan) gender dalam masyarakat yang disebabkan
faktor sosial, budaya, agama, politik kerap kita temukan di masyarakat.
Maka, untuk mewujudkan keadilan gender di lingkungan mana pun secara riil,
diperlukan kesadaran, kepekaan, dan keadilan masyarakat terhadap gender. Selama
ini masih ditemui perlakuan pembedaan peran dan aktivitas di lingkungan mana
pun.
Dengan terwujudnya kesadaran, kepekaan, dan keadilan gender di masyarakat, baik
laki-laki maupun perempuan dapat mengembangkan potensi dan kemampuannya serta
memperoleh peluang yang sama. Salah satu jenis kelamin tertentu juga tak
dirugikan. Laki-laki dan perempuan harus dilihat sebagai sumber daya yang
berguna bagi pembangunan bangsa.
Karena itu, pendidikan berpersfektif gender perlu ditumbuhkan di masyarakat,
khususnya pendidik, orang tua, pembuat kebijakan. Pendidikan yang berperspektif
gender merupakan pendidikan yang menggunakan konsep keadilan gender,
kemitrasejajaran yang harmonis antara perempuan dan laki-laki, memperhatikan
kebutuhan serta kepentingan gender praktis/strategis perempuan dan laki-laki.
Pandangan masyarakat terhadap anak laki-laki dan perempuan yang masih
konvensional perlu diberi wawasan yang lebih luas. Wallaahu'alam.
* Niken Indar Mastri, mahasiswi Fakultas Peternakan UGM Jogjakarta
[Non-text portions of this message have been removed]
H@Nunk
is running…
Bias” Gender dan Eksploitasi Wanita Tampilan Iklan Televisi
September 23rd, 2009 by hanunk
Analisis gender dalam sejarah pemikiran manusia tentang
ketidakadilan sosial dianggap sebagai suatu analisis baru. Dibanding dengan
analisis sosial lainnya, sesungguhnya analisis gender tidak kalah mendasar.
Analisis gender justru ikut mempertajam analisis kritis yang sudah ada.
Misalnya, analisis kritis yang dikembangkan oleh Karl Marx ketika melakukan
kritik terhadap sistem Kapitalisme, akan lebih tajam jika pertanyaan tentang gender
juga dikemukakan. Demikian halnya analisis kritis lain seperti analisis
hegemoni ideologi dan kultural yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci,
merupakan kritik terhadap analisis kelas yang dianggap sangat sempit. Dalam
analisis apapun, tanpa mempertanyakan gender terasa kurang mendalam. Tanpa
analisis gender, kritik mereka kurang mewakili semangat pluralisme yang
ditampilkan. Dengan demikian analisis gender merupakan analisis kritis yang
mempertajam analisis kritis yang sudah ada.
Pengungkapan masalah kaum perempuan dengan menggunakan
analisis gender sering mengalami perlawanan, baik dari kalangan kaum laki-laki
maupun perempuan itu sendiri, hal tersebut dikarenakan beberapa faktor yang
menaunginya. Pertama, karena mempertanyakan status kaum perempuan pada dasarnya
adalah mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, bahkan
mempertanyakan posisi kaum perempuan pada dasarnya berarti menggoncang struktur
dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat. Kedua, banyak terjadi
kesalahpahaman tentang mengapa masalah kaum perempuan harus dipertanyakan?
Kesulitan lain, dengan mendiskusikan soal gender pada dasarnya berarti membahas
hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yaitu menyangkut dan
melibatkan individu kita masing-masing serta menggugat privilege yang kita
miliki dan sedang kita nikmati saat ini. Oleh karena itu, pemahaman atas konsep
gender sebenarnya merupakan isu mendasar dalam rangka membahas masalah hubungan
antara kaum perempuan dan laiki-laki, atau masalah hubungan kemanusiaan kita.
Persoalan lain, kata gender merupakan kata dan konsep asing, sehingga usaha
menguraikan konsep gender dalam konteks Indonesia sangatlah rumit untuk
dilakukan (Dr. Mansour Fakih,1996, hlm. 5-6).
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu sendiri?
Dari berbagai macam pendekatan yang ada, masih terjadi kesalahahaman tentang
arti konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan.
Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari mengapa pengartian akan konsep
gender mengalami ketidakjelasan. Hal tersebut antara lain disebabkan karena
gender itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yang telah mengalami serapan,
sehingga menimbulkan suatu kerancuan dalam proses pemaknaan atau mengartikan
secara lugas apa yang dimaksud dengan gender itu sendiri. Selain itu, belum ada
uraian atau wacana yang mampu menjelaskan secara jelas mengenai konsep gender
dan mengapa konsep tersebut dianggap penting untuk memahami sistem
ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat.
Untuk memehami konsep gender itu sendiri, terlebih dahulu
hendaklah melakukan pembedaan akan kata gender dan seks (jenis kelamin).
Pengertian jenis kelamin itu sendiri merupakan pembagian antara jenis kelamin
laki-laki dan perempuan melalui sifat biologis yang dimiliki manusia, sedangkan
gender itu sendiri merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan, dimana sifat-sifat tersebut dikonstruksi secara sosial maupun
kultural oleh berbagai media, sehingga dapat dikenal dan dikonsumsi oleh khalayak.
Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lembut, cantik, emosional, atau keibuan,
sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan jantan. Ciri dari
sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan, dimana ada pula
laki-laki yang jantan, emosional, lembut, maupun perkasa, begitu pula dengan
wanita ada yang kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya.
Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki
dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat
ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah
yang dikenal dengan konsep gender (Dr. Mansour Fakih, 1996, hlm. 9). Selain
itu, yang dimaksudkan dalam ideologi gender di sini, adalah segala aturan,
nilai-nilai sterotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki,
melalui pembentukan identitas feminim dan maskulin. Ideologis gender
mengakibatkan ketidaksetaraan peran laki-laki dan perempuan, dimana posisi
wanita selalu berada pada titik terlemah (Holzner, 1997).
Sistem kepercayaan gender ini mengacu kepada serangkaian
kepercayaan dan pendapat tentang laki laki dan perempuan dan tentang kualitas
maskulinitas dan feminimitas. Sitem ini mencangkup stereotype perempuan dan
laki laki, sikap terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki laki dan
perempuan , sikap terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan
dengan pola baku. Dengan kata lain, kepercayaan gender itu merupakan
kepercayaan tentang bagaimana laki laki dan perempuan itu dan bagaimana pendapat
tentang bagaimana laki laki dan perempuan itu seharusnya (Deaux dan Kite,
1987). Tidak dapat disangkal lagi, bahwa beberapa aspek stereotipe gender
merupakan pencerminan distribusi perempuan dan laki-laki ke dalam beberapa
peran yang dibedakan. Proses pembentukan citra ini muncul seiring dengan
perubahan zaman. Pada zaman dahulu, dengan prinsip the survival of the fittest,
proses fisik menjadi pra-syarat bagi penguasaan struktural sosial. Sebagai
akibatnya, perempuan yang secara fisik tidak memiliki kemampuan dan sosok
sebagaimana dipunyai laki-laki menjadi termarjinalisasi dari sektor “persaingan
budaya”. Dalam perjalanan waktu, hampir seluruh aspek kehidupan sosial lebih
banyak merefleksikan “kelaki-lakian” (maskulin) (Priyo Soemandoyo, 1999).
Dari berbagai pandangan gender tersebut ternyata dapat
menimbulkan subordinasi terhadap kaum perempuan. Oleh karena subordinasi
perempuan tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin maka kemudian
lahirlah konsep gender. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala
macam bentuk yang berbeda dari waktu ke waktu. Di Jawa dahulu kala ada anggapan
bahwa perempuan tidak perlu sekolah yang tinggi-tinggi, karena akhirnya kaum
perempuan adalah sosok yang bekerja di dapur dan melayani kaum laki-laki. Bahkan
pernah ada peraturan pemerintah bila laki-laki akan pergi belajar (keluar
negeri atau jauh dari rumah), dia dapat menambil keputusan sendiri, sedangkan
kaum perempuan yang hendak pergi belajar, haruslah seizin dari kaum laki-laki
(suami). Praktik tersebut sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang
tidak adil. Disamping itu, banyak juga wanita terpelajar yang ingin
menyumbangkan tenaganya dalam lapangan pemerintahan, tetapi karena mashi
mempunyai anak kecil dan sebagainya, untuk beberapa tahun sukar bagi mereka
untuk bekerja sepanjang hari di kantor (Nani Suwondo S.H, 1981). Hal tersebut
juga menunjukkan adanya subordinasi perempuan dalam kaitannya bila ditelaah
dari pandangan gender yang ada.
Disamping itu terdapat pula stereotipe yang secara umum
adalah penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, dimana stereotipe yang
muncul kebanyakan mengadopsi bahwa stereotipe yang ada tersebut menimbulkan
ketidakadilan maupun merugikan pihak tertentu. Salah atu jenis stereotipe
tersebut adalah berpandangan dari sisi gender. Misalnya, terjadinya pemerkosaan
yang dialami oleh perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korbannya.
Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani
laki-laki. Stereotipe tersebut terjadi di berbagai sisi kehidupan, mulai dari
peraturan pemerintah, aturan agama, kultur, maupun kebiasaan masyarakat
tertentu.
Dari berbagai fenomena maupun argumen yang telah dipaparkan
di atas, penulis mencoba untuk menelaah lebih lanjut tentang bias-bias gender
yang terjadi di dalam suatu masyarakat melalui media massa yang ada, khususnya
bias-bias gender yang terjadi dalam suatu tampilan iklan di media televisi.
Melalui media massa yang semakin lama berkembang semakin
cepat menjadi salah satu kunci penting dalam kaitannya penanaman ideologi
gender yang ada di masyarakat maupun penyatuan pikiran (hegemoni) yang
dilakukan pihak-pihak tertentu yang bertujuan maximizing provit. Hegemonitas
budaya yang dimaksud disini adalah bagaimana teks-teks yang muncul diolah
sedemikian rupa, dari teks yang seharusnya terkesan buruk menjadi suatu format
yang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tidak lepas dari
pengaruh media yang selalu ‘menindas’ masyarakat dengan berbagai macam isu-isu
maupun informasi-informasi yang dianggap penting oleh suatu media, sehingga
khalayak secara tidak sadar telah ‘tertindas’ oleh kaum-kaum penguasa itu
sendiri. Penanaman ideologi tersebut seturut dengan pengertian ideologi menurut
Althusser. Ideologi menurut Althusser, selalu berbasis material dan dalam
masyarakat kapitalis kontemporer, ideologi akan selalu berjalan melalui apa
yang disebut sebagai ‘aparat ideologi’: aparat agama, partai politik, keluarga,
hukum, sistem partai politik, serikat dagang, komunikasi dan budaya. Kesadaran,
menurut Althusser dikostruksi melalui ideologi, sehingga dalam hal ini ideologi
adalah sistem pemaknaan yang akan membentuk setiap orang dalam hubungan
imaginer pada hubungan nyata di kehidupan mereka (Macdonell: 1986: 27).
Produk media massa yang berupa iklan tersebut semakin lama
semakin mengepung kehidupan kita sehari-hari dari berbagai penjuru. Saluran
yang banyak dimanfaatkan terutama adalah media massa, entah media cetak ataupun
elektronik. Iklan-iklan tersebut, sebagai salah satu bentuk manifestasi budaya pop,
tidak semata-mata bertujuan menawarkan dan mempengaruhi pada (calon) konsumen
untuk membeli produk-produk barang atau jasa, melainkan juga turut menanamkan
nilai-nilai tertentu yang secara latent atau semu tersirat didalamnya. Hamelink
(1983) menyatakan bahwa iklan merekayasa kebutuhan dan menciptakan
ketergantungan psikologis (Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim, 1997 : 158).
Dalam penyampaian pesannya, iklan selalu menyesuaikan dengan kondisi
sosial-budaya dalam masyarakat yang akan mereka sasar. Dengan kondisi sosial
masyarakat yang selalu menempatkan sosok pria selaku sosok primer dan wanita
selaku sosok sekunder, mau tidak mau, suka tidak suka, para produsen dan
pembuat iklan haruslah tunduk dan patuh terhadap aturan yang telah berlaku
dalam masyarakat apabila ingin merebut perhatian dan simpati mereka.
Untuk dapat lebih memahami adanya bias diskriminasi gender
dalam dunia iklan di televisi, ada baiknya apabila kita membahas satu per satu
data-data kecil yang berhasil ditemukan. Penyimpangan sosial yang melanda
masyarakat, berupa bias-bias diskriminasi gender telah ditemukan pada beberapa
iklan yang diteliti, antara lain :
Iklan rokok Gudang Garam.
Dari iklan rokok Gudang Garam, kita dapat melihat adanya
bias-bias diskriminasi gender khususnya pada sosok wanita. Dari slogan Gudang
Garam saja, kita melihat bahwa sosok manusia yang disasar oleh produk ini
adalah pria. Walaupun banyak juga wanita yang turut mengkonsumsi Gudang Garam,
namun tidaklah menjadi sesuatu yang berarti bagi mereka (produsen). Hal ini
berkaitan dengan persepsi merokok yang sudah terpatri dalam benak khalayak,
bahwa merokok identik dengan sosok pria tangguh dan macho yang tentu saja belum
terbukti kebenarannya. Salah satu contoh kasus yang hendak diangkat adalah
iklan Gudang Garam versi pesawat dan versi formula. Dalam tampilan iklan versi
pesawat tersebut ditunjukkan bahwa kaum wanita menunggu kedatangan sosok pria
yang diidam-idamkan yang datang menggunakan pesawat. Dengan aktivitas dan
posisi seperti ini – diistilahkan sebagai function ranking oleh Erving Goffman
dalam Gender Advertisements (1997), segera terungkap kedudukan subordinat kaum
perempuan di hadapan lelaki (Kris Budiman, 1999 : 24), bahwa perempuan hanya
dapat ‘menunggu’, sedangkan lelaki adalah obyek tunggal yang melakukan suatu
hal yang ‘penting’. Disamping itu pula tampak dari iklan Gudang Garam versi
formula, dimana dalam tampilan iklan tersebut tampak akan adanya sebuah
perilaku dominan oleh kaum pria, diceritakan bahwa saat melihat acara formula,
listrik padam, dan akhirnya seorang sosok pria berlari menuju pusat listrik
untuk menyalakan listrik menggunakan jepit rambut dari seorang wanita. Dari
tampilan visual iklan itu sendiripun tampak adanya eksploitasi seksualitas
sosok wanita, dimana wanita tampak menggunakan pakaian ‘terbuka’ untuk memberi
kesan bahwa wanita hanya sebagai ‘boneka’ bagi sosok pria. Hal tersebut lebih
ditekankan lagi pada bagian akhir dimana sosok wanita hanya mampu menyandarkan
diri di pelukan sosok pria, fenomena ini menguatkan lebih lanjut akan adanya
eksploitasi sosok wanita dalam tampilan iklan, dimana wanita hanya sebagai
sosok lemah dan tidak berdaya.
Iklan Irex Max
Dalam iklan ini, tampak sekali sang pembuat iklan
menonjolkan kemanjaan dan sex appeals dari sang aktris. Walaupun produk ini
memang memiliki kaitan dengan wanita, namun tidaklah terlalu penting bagi kita
untuk melihat sosok wanita yang sexy dan penuh dengan kemanjaan. Alangkah lebih
rasional bagi kita (bila berpikir logis), apabila dalam iklan itu cukup
ditampilkan sosok pria macho untuk menggambarkan kedasyatan dari produk Irex
Max, tanpa diembel-embeli aktris wanita yang hanya terkesan dijadikan obyek
dari produk ini. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Goffam
(1979), “males direct and guide action while females are directed or watch”
(Kris Budiman, 1999 : 25), dimana lelaki memandu tindakan, sedangkan perempuan
(hanya) melihat. Wanita dalam iklan Irex Max tersebut terkesan terpana akan
kedasyatan khasiat obat setelah dipakai laki-laki sebagai pelaku (pemandu
tindakan), hal tersebut merujuk pada penggunaan obyek laki-laki sebagai
panutan, sedangkan wanita hanya sebagai ‘pelengkap’ atau ‘bumbu’ dalam iklan
tersebut untuk lebih menarik perhatian konsumen. Pemikiran yang diungkapkan Goffam
(1979) juga dibenarkan oleh Ashadi Siregar (1995) yang menyatakan bahwa iklan
komersial dalam pandangan hegemonik pria, secara otomatis akan menjadikan
wanita dan daya tarik seksual mereka sebagai objek (Deddy Mulyana dan Idi
Subandy Ibrahim, 1997 : 156). Sisi seksualitas dari sosok wanita tersebut
direkonstruksi sedemikian rupa oleh pihak pengiklan untuk mendapatkan kesan
‘dominasi’ kaum pria, dimana wanita hanya bisa ‘dilihat dan dinikmati’ dari
sisi seksualitasnya saja, disamping itu sosok wanita ditempatkan dalam posisi
yang sangat bertentangan dengan posisi pria, seperti halnya contoh sebelumnya
terjadi suatu ketimpangan kedudukan antara pria dan wanita.
Iklan Lux
Dalam iklan Lux versi bintang-bintang Lux, terdapat beberapa
sosok wanita yang dijadikan sebuah ikon oleh pihak Lux, antara lain Tamara,
Dian Sastro, dan wanita lainnya. Tampilan iklan tersebut mengumbar seksualitas
kaum wanita, dimana dalam tampilan iklan tersebut ingin mengatakan bahwa wanita
dapat dikatakan cantik apabila memenuhi kriteria wanita tersebut diatas,
seperti Tamara, Dian Sastro, dan lainnya. Dalam perspektif gender, hal tersebut
juga merupakan sebuah wacana baru, dimana masyarakat ‘dipaksa’ untuk ‘meniru’
apa yang dikatakan ‘cantik’ oleh media dan ‘seksual’ oleh media, sehingga dalam
tampilan iklan tersebut menonjolkan sisi feminim dan seksualitas dari artis.
Sisi seksualitas tersebut dapat dilihat dari busana yang dikenakan oleh artis,
dimana wanita ‘dikatakan cantik’ apabila memenuhi kriteria yang ada dalam
visualisasi iklan Lux tersebut. Diskriminasi gender tampak dalam visualisasi
iklan ini, dimana mendorong publik untuk ‘melek tubuh’, mengganggap hal
tersebut sebagai hal yang benar adanya dan baik untuk digunakan.
Dari berbagai contoh iklan yang telah diutarakan di atas,
kajian gender dalam tampilan iklan dapat ditelaah lebih lanjut sebagai salah
satu bentuk bias-bias gender yang dimunculkan secara latent (semu) maupun
terselubung dalam rangka pembentukan persepsi bahwa pria adalah sosok manusia
yang superioritas dan berada di atas kedudukan kaum perempuan. Disamping itu,
dengan aktivitas dan posisi seperti ini – diistilahkan sebagai function ranking
oleh Erving Goffman dalam Gender Advertisements (1997), segera terungkap
kedudukan subordinat kaum perempuan di hadapan lelaki (Kris Budiman, 1999 :
24), bahwa perempuan hanya dapat ‘menunggu’, sedangkan lelaki adalah obyek
tunggal yang melakukan suatu hal yang ‘penting’. Hal tersebut menunjukkan suatu
fenomena dimana kaum perempuan identik dengan kepasifannya, sedangkan kaum laki-laki
lebih bersifat aktif dalam rangka menunjukkan superioritas yang dimilikinya.
Penggambaran perempuan dalam iklan tersebut adalah
perwujudan dari stigma perempuan yang senantiasa berada dalam sektor domestik
(private), konvensional, yang salah satu tugas domestiknya berhubungan dengan
pelayanan seksual terhadap laki-laki. Peran yang secara patrial telah
menunjukkan keberpihakan pada superioritas salah satu gender, yaitu laki-laki
(Nani Suwondo S.H, 1981).
Hal ini tampak dari posisi yang ditempati perempuan dalam
iklan dimana disatu sisi perempuan merupakan alat persuasi dalam menegaskan
citra sebuah prosuk dan di sisi lain perempuan merupakan konsumen yang
mengkonsumsi produk kapitalisme (Beb and Ellen, 1993). Dua sisi ini telah
mentransformasikan tidak hanya kehidupan perempuan yang telibat dalam iklan dan
perempuan yang diacu pada iklan, tetapi telah menata ulang keseluruhan hubungan
dan tatanan sosial dalam masyarakat, termasuk pola hubungan gender (Dr. Irwan
Abdullah, 2001).
Bila dilihat dari pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya, bias-bias gender yang terjadi dalam berbagai segi
kehidupan dapat dikaji lebih lanjut melalui studi feminisme, dimana tujuan
politik feminis tersebut terfokus pada penentuan wanita supaya dapat sederajat
dengan laki-laki. Pendekatan-pendekatan tentang studi wanita tersebut dapat
ditelaah lebih lanjut dari pendapat beberapa sosiolog yang meliputi feminisme
liberal, feminisme Marxis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Dalam
tradisi feminisme liberal, penyebab penindasan wanita dikenal sebagai kurangnya
kesempatan dan pendidikan mereka secara individu maupun kelompok. Cara
pencegahan untuk mengubahnya, yaitu menambah kesempatan bagi wanita, terutama
melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi. Sedangkan kaum feminisme
Marxis tradisional mencari asal penindasan terhadap wanita dari permulaan
pemilikan kekayaan pribadi. Dalam perspektif feminisme radikal, digambarkan
bahwa wanita ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis, yakni
penindasan-penindasan yang paling mendasar. Sedangkan di kalangan feminisme
sosialis, baik patriarki maupun kelas, dianggap merupakan penindasan utama
(Jane & Helen, 1996 : 21). Namun lebih dari itu feminisme, kualitas,
atribut, atau sikap yang mencirikan kewanitaan (femininitas) sebagai potensi
melekat yang dimiliki seorang wanita secara kodrati, kini, justru kian menjadi
aset dalam rangkaian proses produksi dan pasar industri kebudayaan bernama
iklan (Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim, 1997 : 269).
Bias-bias gender yang terjadi tersebut tidak dapat
dihilangkan dengan mudah, begitu pula tidak dapat dilawan secara langsung oleh
berbagai macam pergerakan yang ada, hal tersebut terjadi karena beberapa hal,
antara lain:
ü Khalayak belum
sadar secara penuh bahwa mereka hidup dalam dunia kapitalisme global yang
merujuk pada ‘penindasan’ dan ‘penjajahan’. Hal tesrebut sejalan dengan
pandangan teori kritis yang mengatakan bahwa dalam kehidupannya, manusia tidak
akan pernah bisa lepas dari ‘penindasan’ maupun ‘penjajahan’. Dalam hal ini,
penjajahan bukanlah dilakukan secara fisik, melainkan dalam bentuk pemikiran
dan pandangan yang dianggap wajar oleh masyarakat (doktrinasi).
ü Tidak adanya
keberanian untuk ‘memberontak’ dari sekelompok masyarakat yang telah sadar
bahwa kehidupannya selama ini masih terjajah. Membutuhkan keberanian dan tekad
yang luar biasa besar untuk dapat merombak pola pikir masyarakat yang telah
turun-temurun diwariskan. Tentunya resiko berat yang menghadang bagi mereka
yang berani mencoba untuk melanggar pantangan, telah menanti. Namun tidak ada
jalan lain bagi kita untuk dapat merombak pola pikir masyarakat selain
mendobrak apa yang mereka anggap tabu.
ü Kurangnya wadah
yang menampung berbagai macam aspirasi secara keseluruhan tanpa memandang
daerah, profesi, usia, suku bangsa, agama maupun golongan. Walaupun telah
muncul berbagai macam LSM maupun lembaga yang menaungi hak perempuan atau yang
lain, lembaga-lembaga tersebut tetap tidak dapat berkembang sesuai adanya dikarenakan
adanya berbagai peraturan yang mengatur maupun terdapat berbagai macam factor
lainnya.
Belum adanya tindakan nyata oleh masyarakat untuk menangkal
bias-bias diskriminasi gender dalam kehidupan sosial masyarakat, menyebabkan
munculnya beberapa pengaruh atau dampak yang masih bisa kita lihat dan rasakan
sampai saat ini, yaitu :
ü Terdapat
pembedaan persepsi tentang sifat dan peranan pria dan wanita yang sudah
terlanjur diterima secara wajar dan dianggap benar oleh masyarakat, dimana hal
tersebut masih bersifat timpang tindih dan mengandung bias-bias gender dalam
kehidupan masyarakat.
ü Munculnya
anggapan dari sebagian kelompok yang menganggap bahwa wanita adalah makhluk
sekunder dalam kehidupan sosial masyarakat, hal tersebut tampak dalam berbagai
adapt istiadat maupun kebudayaan yang dimiliki oleh berbagai macam suku bangsa
yang tersebar.
ü Pelecehan yang
sering diterima wanita dalam berbagai tampilan media yang menggunakan sosok
wanita sebagai subyek bukan sebagai obyek dalam suatu tampilan media.
Dalam representasi diri, perempuan harus jeli melihat
berbagai potensi tubuhnya, yang dapat menjadi kapital kebudayaan penting di
dalam pembentukan nilai (ekonomi dan politik) tambah dalam pertukaran sosial.
Dengan memperhatikan aspek-aspek yang mengitari tubuh, Lupton mengajukan tiga
level analisis tubuh (Lupton, 1994: 21-22). Pertama, tubuh individual, yang
dipahami sebagai pengalaman hidup tubuh yang meliputi bagaimana setiap kita
memandang tubuh dan perbedaannya dengan tubuh orang lain. Kedua, tubuh sosial,
yang menyangkut kegunaan simbolis dan representasional dari tubuh di dalam
mengkonseptualisasikan alam, masyarakat, dan kebudayaan. Ketiga, aspet bio-politik
dari tubuh, yang berkaitan dengan kebijaksanaan negara di dalam mengendalikan,
mengatur, dan mengamati tingkah laku tubuh pada level individu dan kelompok
dalam rangka menunjang stabilitas sosial.
Ketiga level analisis tersebut berkaitan langsung dengan dua
pendekatan yang diajukan Foucault, yakni pandangan substantif terhadap tubuh
termasuk institusi yang mengatur tubuh dan pandangan epistimologis yang melihat
bahwa keberadaan tubuh diproduksi oleh wacana. Imaji tentang tubuh selain
dibangun da dikuatkan oleh film, iklan, televisi, dan media cetak, juga
dibangun melalui pembicaraan publik yang menunjukkan tubuh (seks) menjadi mode
pembicaraan yang penting.
Dari berbagai macam analisis yang telah dijelaskan di atas,
kesimpulan yang dapat diambil adalah masih adanya tindak maupun kegiatan yang
menunjukkan adanya bias-bias gender dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui
berbagai saluran media yang ada dengan tujuan maximizing provit dari
pihak-pihak tertentu, maupun menanamkan berbagai macam ideologi guna
kepentingan tertentu. Bias-bias gender yang muncul dalam tampilan sebuah iklan
merupakan salah satu bentuk ‘penjajahan’ maupun ‘penindasan’ akan peran wanita
dalam kehidupan sehari-hari yang terpatri oleh berbagai aturan maupun konsep
yang ada, disamping untuk menunjukkan superioritas kaum laki-laki di mata
wanita, bahwa televisi merekonstruksi sedemikian rupa baik dari dalam maupun
luar sosok wanita sebagai bentuk eksploitasi tubuh wanita (seksialitas wanita).
Sekian pembahasan penulis akan bias-bias gender dan eksploitasi seksualitas
tubuh wanita yang terjadi dalam tampilan iklan yang ada di televisi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan.
Tarawang, Yogyakarta. 2001.
Amir. P, Yasraf. Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Yogyakarta : Jalasutra, 2003.
Amir. P, Yasraf. Wanita dan Media. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1998.
Budiman, Kris. Feminografi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
1999.
http://www.sekitarkita.com/juli02/jul02_faq_feminis.htm
Jane & Helen. Sosiologi Wanita. Jakarta : PT Rineka
Cipta, 1996.
Mulyana, Deddy & Suband, Idi. Bercinta dengan Televisi
(Ilusi, Impresi, dan imaji sebuah Kotak Ajaib). Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
1997.
Saptari, R. Holzner,B. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial.
Kalyanamitra, Jakarta. 1997.
Soemandoyo, Priyo. Wacana Gender & Layar Televisi: Studi
Perempuan Dalam Pemberitaan televisi Swasta. Galang Printika, Yogyakarta. 1999.
Suwondo S.H, Nani. Kedudukan Wanita Indonesia. Ghalia
Indonesia, Jakarta. 1981.
Posted in My Paper
Leave a Comment
0 komentar:
Posting Komentar