Posts Subscribe to InFoGauLComments

Online bookmark Bookmark

CP : 081515325009 E-mail : pkpmiiunisla@gmail.com Dengan kepala tegak menghadap sang saka merah putih Kami tujukan hati kami, lurus, kepada Pancasila Tatapan mata kami tak ingin berpaling dari gagahnya sang Garuda Tegas menolak apa pun yang berani menginjak Bhinneka Tunggal Ika Salam Pergerakan.....

MEMAHAMI ARTI GENDER

“Gender ; Emansipasi Yang Mengerti Kodrat Manusia”


GENDER?


Apa sih gender itu? banyak yang kita mungkin belum mengerti benar ataupun malah nggak tau apa itu gender. Bahkan ada yang salah kaprah menganggap gender itu makhluk yang tidak perlu ada karena banyak merugikan pihak tertentu.

Gender itu berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Kalau begitu antara gender dengan seks sama dong ? Pertanyaan itu sering muncul dari pengertian kata asli dari genus atau gender itu sendiri.



Hikayat Pembagian Peran
Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender itu sendiri adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula.


Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui dan menopause.


Bagaimana pula bentuk hubungan gender dengan seks (jenis kelamin) itu sendiri? Hubungannya adalah sebagai hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut.

Contoh; masyarakat kultur tertentu dengan masyarakat kultur lainnya, masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan. ( berikan contoh konkret).


Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan” misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll. Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dll. Maka terjadilah ketidakadilan dalam kesetaraan peran ini.


Proses pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya sebagai kodrat. “Kan memang kodrat gue sebagai cewek untuk lemah gemulai, mau menerima apa adanya, dan enggak boleh membantah. Sementara saudara gue yang cowok harus berani, tegas, dan bisa ngatur!” Begini kita sering memahami peran jenis kelamin kita, bukan?


Dari kecil kita telah diajarkan, cowok akan diberikan mainan yang memperlihatkan kedinamisan, tantangan, dan kekuatan, seperti mobil-mobilan dan pedang-pedangan. Sedangkan cewek diberikan mainan boneka, setrikaan, alat memasak, dan lainnya.

Lalu, ketika mulai sekolah dasar, dalam buku bacaan pelajaran juga digambarkan peran-peran jenis kelamin, contohnya, “Bapak membaca koran, sementara Ibu memasak di dapur”. Peran-peran hasil bentukan sosial-budaya inilah yang disebut dengan peran jender. Peran yang menghubungkan pekerjaan dengan jenis kelamin. Apa yang “pantas” dan “tidak pantas” dilakukan sebagai seorang cowok atau cewek.

Sebenarnya kondisi ini enggak ada salahnya. tetapi akan menjadi bermasalah ketika peran-peran yang telah diajarkan kemudian menempatkan salah satu jenis kelamin (baik cowok maupun cewek) pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena enggak semua cowok mampu bersikap tegas dan bisa ngatur, maka cowok yang lembut akan dicap banci. Sedangkan jika cewek lebih berani dan tegas akan dicap tomboi. Tentu saja hal ini enggak enak dan memberikan tekanan.


Bagaimana bentuk-bentuk diskriminasi gender?

Marginalisasi (peminggiran). Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan. Hal ini terjadi karena sangat sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).

Subordinasi (penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki.

Stereotip (citra buruk) yaitu pandangan buruk terhadap perempuan. Misalnya perempuan yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya.

Violence (kekerasan), yaitu serangan fisik dan psikis. Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip diatas. Perkosaan, pelecehan seksual atau perampokan contoh kekerasan paling banyak dialami perempuan.

Beban kerja berlebihan, yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus menerus. Misalnya, seorang perempuan selain melayani suami (seks), hamil, melahirkan, menyusui, juga harus menjaga rumah. Disamping itu, kadang ia juga ikut mencari nafkah (di rumah), dimana hal tersebut tidak berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab diatas.

Memperjuangkan kesetaraan


Memperjuangkan kesetaraan bukanlah berarti mempertentangkan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi, ini lebih kepada membangun hubungan (relasi) yang setara. Kesempatan harus terbuka sama luasnya bagi cowok atau cewek, sama pentingnya, untuk mendapatkan pendidikan, makanan yang bergizi, kesehatan, kesempatan kerja, termasuk terlibat aktif dalam organisasi sosial-politik dan proses-proses pengambilan keputusan.

Hal ini mungkin bisa terjadi jika mitos-mitos seputar citra (image) menjadi “cowok” dan “cewek” dapat diperbaiki. Memang enggak ada cara lain. Sebagai cowok ataupun cewek, kita harus menyadari bahwa kita adalah pemain dalam kondisi (hubungan) ini. Jadi, untuk bisa mengubah kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan ini, maka baik sebagai cowok ataupun cewek kita harus terlibat.


Berkenaan dengan hal ini, pemerintah Indonesia bahkan telah mengeluarkan Inpres no. 9 tahun 2001 tentang Pengarus-Utamaan Gender (PUG), yang menyatakan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif jender.


Tetapi bagaimana kita sebaiknya memulainya ? mungkin langkah-langkah ini dapat membantu

1 Bangun kesadaran diri

Hal pertama yang mesti kita lakukan adalah membangun kesadaran diri. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Karena peran-peran yang menimbulkan relasi tak setara terjadi akibat pengajaran dan sosialisasi, cara mengubahnya juga melalui pengajaran dan sosialisasi baru. Kita bisa melakukan latihan atau diskusi secara kritis. Minta profesional, aktivis kesetaraan jender, atau siapa pun yang kita pandang mampu membantu untuk memandu pelatihan dan diskusi yang kita adakan bersama.

2 Bukan urusan cewek semata

Kita harus membangun pemahaman dan pendekatan baru bahwa ini juga menyangkut cowok. Tidak mungkin akan terjadi perubahan jika cowok tidak terlibat dalam usaha ini. Cewek bisa dilatih untuk lebih aktif, berani, dan mampu mengambil keputusan, sedangkan cowok pun perlu dilatih untuk menghormati dan menghargai kemampuan cewek dan mau bermitra untuk maju.

3 Bicarakan

Salah satu cara untuk memulai perubahan adalah dengan mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan tekanan atau diskriminasi. Cara terbaik adalah bersuara dan membicarakannya secara terbuka dan bersahabat. Harus ada media untuk membangun dialog untuk menyepakati cara-cara terbaik membangun relasi yang setara dan adil antarjenis kelamin. Bukankah ini jauh lebih membahagiakan?

4 Kampanyekan

Karena ini menyangkut sistem sosial-budaya yang besar, hasil dialog atau kesepakatan untuk perubahan yang lebih baik harus kita kampanyekan sehingga masyarakat dapat memahami idenya dan dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan. Termasuk di dalamnya mengubah cara pikir dan cara pandang masyarakat melihat “cowok” dan “cewek” dalam ukuran “kepantasan” yang mereka pahami. Masyarakat harus memahami bahwa beberapa sistem sosial-budaya yang merupakan produk cara berpikir sering kali enggak berpihak, menekan, dan menghambat peluang cewek untuk memiliki kesempatan yang sama dengan cowok. Jadi ini memang soal mengubah cara pikir.

5 Terapkan dalam kehidupan sehari-hari

Tidak ada cara terbaik untuk merealisasikan kondisi yang lebih baik selain menerapkan pola relasi yang setara dalam kehidupan kita masing-masing. Tentu saja semua harus dimulai dari diri kita sendiri, lalu kemudian kita dorong orang terdekat kita untuk menerapkannya. Mudah-mudahan dampaknya akan lebih meluas

Meneguhkan Pendidikan Berperspektif Gender
Oleh Niken Indar Mastri *
 
 
Diakui atau tidak, gerak maju kaum perempuan di Indonesia masih menghadapi 
segudang persoalan. Jumlah perempuan di Indonesia yang lebih banyak 
dibandingkan dengan kaum laki-laki di satu sisi dituntut untuk lebih 
meningkatkan peran dan kemampuannya dalam berkiprah di semua sektor. 
 
Namun di sisi lain, masalah yang dihadapi kaum perempuan, seperti 
"ketertinggalan", terpinggirkan, dan belum mampu berperan maksimal di semua 
lini, masih menjadi problem yang perlu diseriusi, khususnya oleh para aktivis 
perempuan. Sebab, upaya memajukan mereka tersandung berbagai persoalan, 
khususnya sosial dan budaya yang hingga kini masih menimbulkan bias-bias gender 
di masyarakat. 
 
Mengapa bias gender masih terjadi? Sebab, hingga kini realitas masyarakat masih 
menomorsatukan salah satu jenis kelamin tertentu, derajat laki-laki lebih 
tinggi di atas perempuan. Bias-bias gender itu dapat kita ditemui, baik di 
lingkungan keluarga, publik, kerja, masyarakat maupun pendidikan. 
 
Tegasnya, bias-bias gender tersebut terlihat dalam peran dan aktivitas yang 
dilakukan perempuan dan laki-laki. Perilaku seseorang -yang sudah terpola 
menyangkut hak dan kewajiban serta berhubungan dengan status pada kelompok 
ataupun masyarakat tertentu- pada situasi sosial yang khas mengakibatkan bias 
gender itu mapan. 
 
Pemahaman yang keliru akan kodrat perempuan menjadi salah satu pemicunya. 
Kodrat perempuan yang -seakan-akan- terdiri atas mengandung, melahirkan, dan 
menyusui itu menimbulkan persepsi distorsi masyarakat bahwa perempuan hanya 
berperan di rumah tangga. Akibatnya, peranan perempuan masih dibatasi dan 
dikekang.
 
Dalam lingkungan keluarga, misalnya, tidak sedikit yang terjebak dalam 
pemahaman tersebut, yakni membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, baik 
potensi, peranan, maupun aktivitasnya. Tidak jarang, anak laki-laki 
dinomorsatukan karena dianggap memiliki karir yang baik dan dapat mengangkat 
derajat keluarga. Hal tersebut menyebabkan anak laki-laki dituntut belajar 
lebih keras agar cita-citanya tercapai.
 
Anak perempuan diarahkan menjadi penurut agar mendapat jodoh yang baik. 
Pendidikan untuk anak perempuan lebih longgar dibandingkan dengan laki-laki. 
Yang penting bagi anak perempuan, dalam lingkungan keluarga yang tidak peka 
gender, adalah moral dan perilaku. Mereka tidak terlalu dituntut untuk bisa 
mencari uang atau berperan di sektor publik karena setelah menikah akan 
mengikuti suami.
 
Bahkan, anak perempuan lebih banyak memiliki larangan. Larangan-larangan 
tersebut merupakan konstruksi budaya setempat. Secara umum, anak perempuan 
tidak boleh melakukan sesuatu yang dianggap tabu atau tidak pantas dilakukan 
perempuan. Sebaliknya, bila anak laki-laki yang melakukan tindakan itu, 
masyarakat tidak memandang sebagai suatu hal yang negatif.
 
Demikian pula, di lingkungan pendidikan. Masih ada kecenderungan bahwa jabatan 
ketua kelas, pemimpin organisasi di sekolah, komandan upacara diberikan pada 
siswa laki-laki. Sebaliknya, siswa perempuan diberi tugas sebagai sekretaris, 
bendahara, atau pekerjaan ringan lainnya. 
 
Fakta tersebut disebabkan persepsi bahwa bila yang ditunjuk sebagai pemimpin 
itu perempuan, tentu kurang dapat memimpin. Sebab, perempuan takut dengan 
laki-laki, tidak berani menegur atau memperingatkan, kurang tegas, suaranya 
kurang lantang, pemalu, halus, dan sebagainya.
 
Pandangan-pandangan miring seperti itu tanpa disadari justru menimbulkan 
subordinasi terhadap perempuan. Hal tersebut mengakibatkan perempuan tidak 
dapat mengaktualisasikan potensi dan kemampuannya, misalnya tampil menjadi 
pemimpin. Menurut Mansour Fakih (1997:54), hal itu mengakibatkan munculnya 
sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak dipentingkan. Sungguh 
suatu hal yang naïf sekali.
 
 
Berperspektif Gender
 
Menurut Mansour Fakih (1996:10), gender merupakan konstruksi sosial yang 
membedakan peran dan kedudukan wanita dan pria dalam suatu masyarakat yang 
dilatarbelakangi kondisi sosial budaya. Gender juga memiliki pengertian sebagai 
konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara pria dan wanita. 
Gender merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia yang biasanya menghambat 
kemajuan wanita. 
 
Dari pengertian tersebut, jelas bahwa gender tidak bersifat universal, bukan 
kodrat wanita, dan dapat berubah karena pengaruh perjalanan sejarah, perubahan 
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kemajuan pembangunan. 
 
Jadi, ia merupakan hasil bentukan masyarakat (socially constructed). Tetapi, 
berbagai macam bias (penyimpangan) gender dalam masyarakat yang disebabkan 
faktor sosial, budaya, agama, politik kerap kita temukan di masyarakat. 
 
Maka, untuk mewujudkan keadilan gender di lingkungan mana pun secara riil, 
diperlukan kesadaran, kepekaan, dan keadilan masyarakat terhadap gender. Selama 
ini masih ditemui perlakuan pembedaan peran dan aktivitas di lingkungan mana 
pun. 
 
Dengan terwujudnya kesadaran, kepekaan, dan keadilan gender di masyarakat, baik 
laki-laki maupun perempuan dapat mengembangkan potensi dan kemampuannya serta 
memperoleh peluang yang sama. Salah satu jenis kelamin tertentu juga tak 
dirugikan. Laki-laki dan perempuan harus dilihat sebagai sumber daya yang 
berguna bagi pembangunan bangsa.
 
Karena itu, pendidikan berpersfektif gender perlu ditumbuhkan di masyarakat, 
khususnya pendidik, orang tua, pembuat kebijakan. Pendidikan yang berperspektif 
gender merupakan pendidikan yang menggunakan konsep keadilan gender, 
kemitrasejajaran yang harmonis antara perempuan dan laki-laki, memperhatikan 
kebutuhan serta kepentingan gender praktis/strategis perempuan dan laki-laki. 
Pandangan masyarakat terhadap anak laki-laki dan perempuan yang masih 
konvensional perlu diberi wawasan yang lebih luas. Wallaahu'alam.
* Niken Indar Mastri, mahasiswi Fakultas Peternakan UGM Jogjakarta 
 
[Non-text portions of this message have been removed]
 
H@Nunk
is running…

Bias” Gender dan Eksploitasi Wanita Tampilan Iklan Televisi
September 23rd, 2009 by hanunk
Analisis gender dalam sejarah pemikiran manusia tentang ketidakadilan sosial dianggap sebagai suatu analisis baru. Dibanding dengan analisis sosial lainnya, sesungguhnya analisis gender tidak kalah mendasar. Analisis gender justru ikut mempertajam analisis kritis yang sudah ada. Misalnya, analisis kritis yang dikembangkan oleh Karl Marx ketika melakukan kritik terhadap sistem Kapitalisme, akan lebih tajam jika pertanyaan tentang gender juga dikemukakan. Demikian halnya analisis kritis lain seperti analisis hegemoni ideologi dan kultural yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, merupakan kritik terhadap analisis kelas yang dianggap sangat sempit. Dalam analisis apapun, tanpa mempertanyakan gender terasa kurang mendalam. Tanpa analisis gender, kritik mereka kurang mewakili semangat pluralisme yang ditampilkan. Dengan demikian analisis gender merupakan analisis kritis yang mempertajam analisis kritis yang sudah ada.

Pengungkapan masalah kaum perempuan dengan menggunakan analisis gender sering mengalami perlawanan, baik dari kalangan kaum laki-laki maupun perempuan itu sendiri, hal tersebut dikarenakan beberapa faktor yang menaunginya. Pertama, karena mempertanyakan status kaum perempuan pada dasarnya adalah mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, bahkan mempertanyakan posisi kaum perempuan pada dasarnya berarti menggoncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat. Kedua, banyak terjadi kesalahpahaman tentang mengapa masalah kaum perempuan harus dipertanyakan? Kesulitan lain, dengan mendiskusikan soal gender pada dasarnya berarti membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yaitu menyangkut dan melibatkan individu kita masing-masing serta menggugat privilege yang kita miliki dan sedang kita nikmati saat ini. Oleh karena itu, pemahaman atas konsep gender sebenarnya merupakan isu mendasar dalam rangka membahas masalah hubungan antara kaum perempuan dan laiki-laki, atau masalah hubungan kemanusiaan kita. Persoalan lain, kata gender merupakan kata dan konsep asing, sehingga usaha menguraikan konsep gender dalam konteks Indonesia sangatlah rumit untuk dilakukan (Dr. Mansour Fakih,1996, hlm. 5-6).

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu sendiri? Dari berbagai macam pendekatan yang ada, masih terjadi kesalahahaman tentang arti konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari mengapa pengartian akan konsep gender mengalami ketidakjelasan. Hal tersebut antara lain disebabkan karena gender itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yang telah mengalami serapan, sehingga menimbulkan suatu kerancuan dalam proses pemaknaan atau mengartikan secara lugas apa yang dimaksud dengan gender itu sendiri. Selain itu, belum ada uraian atau wacana yang mampu menjelaskan secara jelas mengenai konsep gender dan mengapa konsep tersebut dianggap penting untuk memahami sistem ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat.

Untuk memehami konsep gender itu sendiri, terlebih dahulu hendaklah melakukan pembedaan akan kata gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin itu sendiri merupakan pembagian antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan melalui sifat biologis yang dimiliki manusia, sedangkan gender itu sendiri merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, dimana sifat-sifat tersebut dikonstruksi secara sosial maupun kultural oleh berbagai media, sehingga dapat dikenal dan dikonsumsi oleh khalayak. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan jantan. Ciri dari sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan, dimana ada pula laki-laki yang jantan, emosional, lembut, maupun perkasa, begitu pula dengan wanita ada yang kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya.

Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender (Dr. Mansour Fakih, 1996, hlm. 9). Selain itu, yang dimaksudkan dalam ideologi gender di sini, adalah segala aturan, nilai-nilai sterotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki, melalui pembentukan identitas feminim dan maskulin. Ideologis gender mengakibatkan ketidaksetaraan peran laki-laki dan perempuan, dimana posisi wanita selalu berada pada titik terlemah (Holzner, 1997).

Sistem kepercayaan gender ini mengacu kepada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki laki dan perempuan dan tentang kualitas maskulinitas dan feminimitas. Sitem ini mencangkup stereotype perempuan dan laki laki, sikap terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki laki dan perempuan , sikap terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan dengan pola baku. Dengan kata lain, kepercayaan gender itu merupakan kepercayaan tentang bagaimana laki laki dan perempuan itu dan bagaimana pendapat tentang bagaimana laki laki dan perempuan itu seharusnya (Deaux dan Kite, 1987). Tidak dapat disangkal lagi, bahwa beberapa aspek stereotipe gender merupakan pencerminan distribusi perempuan dan laki-laki ke dalam beberapa peran yang dibedakan. Proses pembentukan citra ini muncul seiring dengan perubahan zaman. Pada zaman dahulu, dengan prinsip the survival of the fittest, proses fisik menjadi pra-syarat bagi penguasaan struktural sosial. Sebagai akibatnya, perempuan yang secara fisik tidak memiliki kemampuan dan sosok sebagaimana dipunyai laki-laki menjadi termarjinalisasi dari sektor “persaingan budaya”. Dalam perjalanan waktu, hampir seluruh aspek kehidupan sosial lebih banyak merefleksikan “kelaki-lakian” (maskulin) (Priyo Soemandoyo, 1999).

Dari berbagai pandangan gender tersebut ternyata dapat menimbulkan subordinasi terhadap kaum perempuan. Oleh karena subordinasi perempuan tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin maka kemudian lahirlah konsep gender. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari waktu ke waktu. Di Jawa dahulu kala ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah yang tinggi-tinggi, karena akhirnya kaum perempuan adalah sosok yang bekerja di dapur dan melayani kaum laki-laki. Bahkan pernah ada peraturan pemerintah bila laki-laki akan pergi belajar (keluar negeri atau jauh dari rumah), dia dapat menambil keputusan sendiri, sedangkan kaum perempuan yang hendak pergi belajar, haruslah seizin dari kaum laki-laki (suami). Praktik tersebut sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil. Disamping itu, banyak juga wanita terpelajar yang ingin menyumbangkan tenaganya dalam lapangan pemerintahan, tetapi karena mashi mempunyai anak kecil dan sebagainya, untuk beberapa tahun sukar bagi mereka untuk bekerja sepanjang hari di kantor (Nani Suwondo S.H, 1981). Hal tersebut juga menunjukkan adanya subordinasi perempuan dalam kaitannya bila ditelaah dari pandangan gender yang ada.

Disamping itu terdapat pula stereotipe yang secara umum adalah penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, dimana stereotipe yang muncul kebanyakan mengadopsi bahwa stereotipe yang ada tersebut menimbulkan ketidakadilan maupun merugikan pihak tertentu. Salah atu jenis stereotipe tersebut adalah berpandangan dari sisi gender. Misalnya, terjadinya pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani laki-laki. Stereotipe tersebut terjadi di berbagai sisi kehidupan, mulai dari peraturan pemerintah, aturan agama, kultur, maupun kebiasaan masyarakat tertentu.

Dari berbagai fenomena maupun argumen yang telah dipaparkan di atas, penulis mencoba untuk menelaah lebih lanjut tentang bias-bias gender yang terjadi di dalam suatu masyarakat melalui media massa yang ada, khususnya bias-bias gender yang terjadi dalam suatu tampilan iklan di media televisi.

Melalui media massa yang semakin lama berkembang semakin cepat menjadi salah satu kunci penting dalam kaitannya penanaman ideologi gender yang ada di masyarakat maupun penyatuan pikiran (hegemoni) yang dilakukan pihak-pihak tertentu yang bertujuan maximizing provit. Hegemonitas budaya yang dimaksud disini adalah bagaimana teks-teks yang muncul diolah sedemikian rupa, dari teks yang seharusnya terkesan buruk menjadi suatu format yang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh media yang selalu ‘menindas’ masyarakat dengan berbagai macam isu-isu maupun informasi-informasi yang dianggap penting oleh suatu media, sehingga khalayak secara tidak sadar telah ‘tertindas’ oleh kaum-kaum penguasa itu sendiri. Penanaman ideologi tersebut seturut dengan pengertian ideologi menurut Althusser. Ideologi menurut Althusser, selalu berbasis material dan dalam masyarakat kapitalis kontemporer, ideologi akan selalu berjalan melalui apa yang disebut sebagai ‘aparat ideologi’: aparat agama, partai politik, keluarga, hukum, sistem partai politik, serikat dagang, komunikasi dan budaya. Kesadaran, menurut Althusser dikostruksi melalui ideologi, sehingga dalam hal ini ideologi adalah sistem pemaknaan yang akan membentuk setiap orang dalam hubungan imaginer pada hubungan nyata di kehidupan mereka (Macdonell: 1986: 27).

Produk media massa yang berupa iklan tersebut semakin lama semakin mengepung kehidupan kita sehari-hari dari berbagai penjuru. Saluran yang banyak dimanfaatkan terutama adalah media massa, entah media cetak ataupun elektronik. Iklan-iklan tersebut, sebagai salah satu bentuk manifestasi budaya pop, tidak semata-mata bertujuan menawarkan dan mempengaruhi pada (calon) konsumen untuk membeli produk-produk barang atau jasa, melainkan juga turut menanamkan nilai-nilai tertentu yang secara latent atau semu tersirat didalamnya. Hamelink (1983) menyatakan bahwa iklan merekayasa kebutuhan dan menciptakan ketergantungan psikologis (Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim, 1997 : 158). Dalam penyampaian pesannya, iklan selalu menyesuaikan dengan kondisi sosial-budaya dalam masyarakat yang akan mereka sasar. Dengan kondisi sosial masyarakat yang selalu menempatkan sosok pria selaku sosok primer dan wanita selaku sosok sekunder, mau tidak mau, suka tidak suka, para produsen dan pembuat iklan haruslah tunduk dan patuh terhadap aturan yang telah berlaku dalam masyarakat apabila ingin merebut perhatian dan simpati mereka.

Untuk dapat lebih memahami adanya bias diskriminasi gender dalam dunia iklan di televisi, ada baiknya apabila kita membahas satu per satu data-data kecil yang berhasil ditemukan. Penyimpangan sosial yang melanda masyarakat, berupa bias-bias diskriminasi gender telah ditemukan pada beberapa iklan yang diteliti, antara lain :

Iklan rokok Gudang Garam.

Dari iklan rokok Gudang Garam, kita dapat melihat adanya bias-bias diskriminasi gender khususnya pada sosok wanita. Dari slogan Gudang Garam saja, kita melihat bahwa sosok manusia yang disasar oleh produk ini adalah pria. Walaupun banyak juga wanita yang turut mengkonsumsi Gudang Garam, namun tidaklah menjadi sesuatu yang berarti bagi mereka (produsen). Hal ini berkaitan dengan persepsi merokok yang sudah terpatri dalam benak khalayak, bahwa merokok identik dengan sosok pria tangguh dan macho yang tentu saja belum terbukti kebenarannya. Salah satu contoh kasus yang hendak diangkat adalah iklan Gudang Garam versi pesawat dan versi formula. Dalam tampilan iklan versi pesawat tersebut ditunjukkan bahwa kaum wanita menunggu kedatangan sosok pria yang diidam-idamkan yang datang menggunakan pesawat. Dengan aktivitas dan posisi seperti ini – diistilahkan sebagai function ranking oleh Erving Goffman dalam Gender Advertisements (1997), segera terungkap kedudukan subordinat kaum perempuan di hadapan lelaki (Kris Budiman, 1999 : 24), bahwa perempuan hanya dapat ‘menunggu’, sedangkan lelaki adalah obyek tunggal yang melakukan suatu hal yang ‘penting’. Disamping itu pula tampak dari iklan Gudang Garam versi formula, dimana dalam tampilan iklan tersebut tampak akan adanya sebuah perilaku dominan oleh kaum pria, diceritakan bahwa saat melihat acara formula, listrik padam, dan akhirnya seorang sosok pria berlari menuju pusat listrik untuk menyalakan listrik menggunakan jepit rambut dari seorang wanita. Dari tampilan visual iklan itu sendiripun tampak adanya eksploitasi seksualitas sosok wanita, dimana wanita tampak menggunakan pakaian ‘terbuka’ untuk memberi kesan bahwa wanita hanya sebagai ‘boneka’ bagi sosok pria. Hal tersebut lebih ditekankan lagi pada bagian akhir dimana sosok wanita hanya mampu menyandarkan diri di pelukan sosok pria, fenomena ini menguatkan lebih lanjut akan adanya eksploitasi sosok wanita dalam tampilan iklan, dimana wanita hanya sebagai sosok lemah dan tidak berdaya.

Iklan Irex Max

Dalam iklan ini, tampak sekali sang pembuat iklan menonjolkan kemanjaan dan sex appeals dari sang aktris. Walaupun produk ini memang memiliki kaitan dengan wanita, namun tidaklah terlalu penting bagi kita untuk melihat sosok wanita yang sexy dan penuh dengan kemanjaan. Alangkah lebih rasional bagi kita (bila berpikir logis), apabila dalam iklan itu cukup ditampilkan sosok pria macho untuk menggambarkan kedasyatan dari produk Irex Max, tanpa diembel-embeli aktris wanita yang hanya terkesan dijadikan obyek dari produk ini. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Goffam (1979), “males direct and guide action while females are directed or watch” (Kris Budiman, 1999 : 25), dimana lelaki memandu tindakan, sedangkan perempuan (hanya) melihat. Wanita dalam iklan Irex Max tersebut terkesan terpana akan kedasyatan khasiat obat setelah dipakai laki-laki sebagai pelaku (pemandu tindakan), hal tersebut merujuk pada penggunaan obyek laki-laki sebagai panutan, sedangkan wanita hanya sebagai ‘pelengkap’ atau ‘bumbu’ dalam iklan tersebut untuk lebih menarik perhatian konsumen. Pemikiran yang diungkapkan Goffam (1979) juga dibenarkan oleh Ashadi Siregar (1995) yang menyatakan bahwa iklan komersial dalam pandangan hegemonik pria, secara otomatis akan menjadikan wanita dan daya tarik seksual mereka sebagai objek (Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim, 1997 : 156). Sisi seksualitas dari sosok wanita tersebut direkonstruksi sedemikian rupa oleh pihak pengiklan untuk mendapatkan kesan ‘dominasi’ kaum pria, dimana wanita hanya bisa ‘dilihat dan dinikmati’ dari sisi seksualitasnya saja, disamping itu sosok wanita ditempatkan dalam posisi yang sangat bertentangan dengan posisi pria, seperti halnya contoh sebelumnya terjadi suatu ketimpangan kedudukan antara pria dan wanita.

Iklan Lux

Dalam iklan Lux versi bintang-bintang Lux, terdapat beberapa sosok wanita yang dijadikan sebuah ikon oleh pihak Lux, antara lain Tamara, Dian Sastro, dan wanita lainnya. Tampilan iklan tersebut mengumbar seksualitas kaum wanita, dimana dalam tampilan iklan tersebut ingin mengatakan bahwa wanita dapat dikatakan cantik apabila memenuhi kriteria wanita tersebut diatas, seperti Tamara, Dian Sastro, dan lainnya. Dalam perspektif gender, hal tersebut juga merupakan sebuah wacana baru, dimana masyarakat ‘dipaksa’ untuk ‘meniru’ apa yang dikatakan ‘cantik’ oleh media dan ‘seksual’ oleh media, sehingga dalam tampilan iklan tersebut menonjolkan sisi feminim dan seksualitas dari artis. Sisi seksualitas tersebut dapat dilihat dari busana yang dikenakan oleh artis, dimana wanita ‘dikatakan cantik’ apabila memenuhi kriteria yang ada dalam visualisasi iklan Lux tersebut. Diskriminasi gender tampak dalam visualisasi iklan ini, dimana mendorong publik untuk ‘melek tubuh’, mengganggap hal tersebut sebagai hal yang benar adanya dan baik untuk digunakan.

Dari berbagai contoh iklan yang telah diutarakan di atas, kajian gender dalam tampilan iklan dapat ditelaah lebih lanjut sebagai salah satu bentuk bias-bias gender yang dimunculkan secara latent (semu) maupun terselubung dalam rangka pembentukan persepsi bahwa pria adalah sosok manusia yang superioritas dan berada di atas kedudukan kaum perempuan. Disamping itu, dengan aktivitas dan posisi seperti ini – diistilahkan sebagai function ranking oleh Erving Goffman dalam Gender Advertisements (1997), segera terungkap kedudukan subordinat kaum perempuan di hadapan lelaki (Kris Budiman, 1999 : 24), bahwa perempuan hanya dapat ‘menunggu’, sedangkan lelaki adalah obyek tunggal yang melakukan suatu hal yang ‘penting’. Hal tersebut menunjukkan suatu fenomena dimana kaum perempuan identik dengan kepasifannya, sedangkan kaum laki-laki lebih bersifat aktif dalam rangka menunjukkan superioritas yang dimilikinya.

Penggambaran perempuan dalam iklan tersebut adalah perwujudan dari stigma perempuan yang senantiasa berada dalam sektor domestik (private), konvensional, yang salah satu tugas domestiknya berhubungan dengan pelayanan seksual terhadap laki-laki. Peran yang secara patrial telah menunjukkan keberpihakan pada superioritas salah satu gender, yaitu laki-laki (Nani Suwondo S.H, 1981).

Hal ini tampak dari posisi yang ditempati perempuan dalam iklan dimana disatu sisi perempuan merupakan alat persuasi dalam menegaskan citra sebuah prosuk dan di sisi lain perempuan merupakan konsumen yang mengkonsumsi produk kapitalisme (Beb and Ellen, 1993). Dua sisi ini telah mentransformasikan tidak hanya kehidupan perempuan yang telibat dalam iklan dan perempuan yang diacu pada iklan, tetapi telah menata ulang keseluruhan hubungan dan tatanan sosial dalam masyarakat, termasuk pola hubungan gender (Dr. Irwan Abdullah, 2001).

Bila dilihat dari pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, bias-bias gender yang terjadi dalam berbagai segi kehidupan dapat dikaji lebih lanjut melalui studi feminisme, dimana tujuan politik feminis tersebut terfokus pada penentuan wanita supaya dapat sederajat dengan laki-laki. Pendekatan-pendekatan tentang studi wanita tersebut dapat ditelaah lebih lanjut dari pendapat beberapa sosiolog yang meliputi feminisme liberal, feminisme Marxis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Dalam tradisi feminisme liberal, penyebab penindasan wanita dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individu maupun kelompok. Cara pencegahan untuk mengubahnya, yaitu menambah kesempatan bagi wanita, terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi. Sedangkan kaum feminisme Marxis tradisional mencari asal penindasan terhadap wanita dari permulaan pemilikan kekayaan pribadi. Dalam perspektif feminisme radikal, digambarkan bahwa wanita ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis, yakni penindasan-penindasan yang paling mendasar. Sedangkan di kalangan feminisme sosialis, baik patriarki maupun kelas, dianggap merupakan penindasan utama (Jane & Helen, 1996 : 21). Namun lebih dari itu feminisme, kualitas, atribut, atau sikap yang mencirikan kewanitaan (femininitas) sebagai potensi melekat yang dimiliki seorang wanita secara kodrati, kini, justru kian menjadi aset dalam rangkaian proses produksi dan pasar industri kebudayaan bernama iklan (Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim, 1997 : 269).

Bias-bias gender yang terjadi tersebut tidak dapat dihilangkan dengan mudah, begitu pula tidak dapat dilawan secara langsung oleh berbagai macam pergerakan yang ada, hal tersebut terjadi karena beberapa hal, antara lain:

ü      Khalayak belum sadar secara penuh bahwa mereka hidup dalam dunia kapitalisme global yang merujuk pada ‘penindasan’ dan ‘penjajahan’. Hal tesrebut sejalan dengan pandangan teori kritis yang mengatakan bahwa dalam kehidupannya, manusia tidak akan pernah bisa lepas dari ‘penindasan’ maupun ‘penjajahan’. Dalam hal ini, penjajahan bukanlah dilakukan secara fisik, melainkan dalam bentuk pemikiran dan pandangan yang dianggap wajar oleh masyarakat (doktrinasi).

ü      Tidak adanya keberanian untuk ‘memberontak’ dari sekelompok masyarakat yang telah sadar bahwa kehidupannya selama ini masih terjajah. Membutuhkan keberanian dan tekad yang luar biasa besar untuk dapat merombak pola pikir masyarakat yang telah turun-temurun diwariskan. Tentunya resiko berat yang menghadang bagi mereka yang berani mencoba untuk melanggar pantangan, telah menanti. Namun tidak ada jalan lain bagi kita untuk dapat merombak pola pikir masyarakat selain mendobrak apa yang mereka anggap tabu.

ü      Kurangnya wadah yang menampung berbagai macam aspirasi secara keseluruhan tanpa memandang daerah, profesi, usia, suku bangsa, agama maupun golongan. Walaupun telah muncul berbagai macam LSM maupun lembaga yang menaungi hak perempuan atau yang lain, lembaga-lembaga tersebut tetap tidak dapat berkembang sesuai adanya dikarenakan adanya berbagai peraturan yang mengatur maupun terdapat berbagai macam factor lainnya.

Belum adanya tindakan nyata oleh masyarakat untuk menangkal bias-bias diskriminasi gender dalam kehidupan sosial masyarakat, menyebabkan munculnya beberapa pengaruh atau dampak yang masih bisa kita lihat dan rasakan sampai saat ini, yaitu :

ü      Terdapat pembedaan persepsi tentang sifat dan peranan pria dan wanita yang sudah terlanjur diterima secara wajar dan dianggap benar oleh masyarakat, dimana hal tersebut masih bersifat timpang tindih dan mengandung bias-bias gender dalam kehidupan masyarakat.

ü      Munculnya anggapan dari sebagian kelompok yang menganggap bahwa wanita adalah makhluk sekunder dalam kehidupan sosial masyarakat, hal tersebut tampak dalam berbagai adapt istiadat maupun kebudayaan yang dimiliki oleh berbagai macam suku bangsa yang tersebar.

ü      Pelecehan yang sering diterima wanita dalam berbagai tampilan media yang menggunakan sosok wanita sebagai subyek bukan sebagai obyek dalam suatu tampilan media.

Dalam representasi diri, perempuan harus jeli melihat berbagai potensi tubuhnya, yang dapat menjadi kapital kebudayaan penting di dalam pembentukan nilai (ekonomi dan politik) tambah dalam pertukaran sosial. Dengan memperhatikan aspek-aspek yang mengitari tubuh, Lupton mengajukan tiga level analisis tubuh (Lupton, 1994: 21-22). Pertama, tubuh individual, yang dipahami sebagai pengalaman hidup tubuh yang meliputi bagaimana setiap kita memandang tubuh dan perbedaannya dengan tubuh orang lain. Kedua, tubuh sosial, yang menyangkut kegunaan simbolis dan representasional dari tubuh di dalam mengkonseptualisasikan alam, masyarakat, dan kebudayaan. Ketiga, aspet bio-politik dari tubuh, yang berkaitan dengan kebijaksanaan negara di dalam mengendalikan, mengatur, dan mengamati tingkah laku tubuh pada level individu dan kelompok dalam rangka menunjang stabilitas sosial.

Ketiga level analisis tersebut berkaitan langsung dengan dua pendekatan yang diajukan Foucault, yakni pandangan substantif terhadap tubuh termasuk institusi yang mengatur tubuh dan pandangan epistimologis yang melihat bahwa keberadaan tubuh diproduksi oleh wacana. Imaji tentang tubuh selain dibangun da dikuatkan oleh film, iklan, televisi, dan media cetak, juga dibangun melalui pembicaraan publik yang menunjukkan tubuh (seks) menjadi mode pembicaraan yang penting.

Dari berbagai macam analisis yang telah dijelaskan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah masih adanya tindak maupun kegiatan yang menunjukkan adanya bias-bias gender dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui berbagai saluran media yang ada dengan tujuan maximizing provit dari pihak-pihak tertentu, maupun menanamkan berbagai macam ideologi guna kepentingan tertentu. Bias-bias gender yang muncul dalam tampilan sebuah iklan merupakan salah satu bentuk ‘penjajahan’ maupun ‘penindasan’ akan peran wanita dalam kehidupan sehari-hari yang terpatri oleh berbagai aturan maupun konsep yang ada, disamping untuk menunjukkan superioritas kaum laki-laki di mata wanita, bahwa televisi merekonstruksi sedemikian rupa baik dari dalam maupun luar sosok wanita sebagai bentuk eksploitasi tubuh wanita (seksialitas wanita). Sekian pembahasan penulis akan bias-bias gender dan eksploitasi seksualitas tubuh wanita yang terjadi dalam tampilan iklan yang ada di televisi.


DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Irwan. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Tarawang, Yogyakarta. 2001.
Amir. P, Yasraf. Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra, 2003.
Amir. P, Yasraf. Wanita dan Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998.
Budiman, Kris. Feminografi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 1999.
http://www.sekitarkita.com/juli02/jul02_faq_feminis.htm
Jane & Helen. Sosiologi Wanita. Jakarta : PT Rineka Cipta, 1996.
Mulyana, Deddy & Suband, Idi. Bercinta dengan Televisi (Ilusi, Impresi, dan imaji sebuah Kotak Ajaib). Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1997.
Saptari, R. Holzner,B. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Kalyanamitra, Jakarta. 1997.
Soemandoyo, Priyo. Wacana Gender & Layar Televisi: Studi Perempuan Dalam Pemberitaan televisi Swasta. Galang Printika, Yogyakarta. 1999.
Suwondo S.H, Nani. Kedudukan Wanita Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. 1981.
Posted in My Paper

Leave a Comment

0 komentar:

Posting Komentar

 

Arsip Blog

Traffic Info

PK PMII UNISLA Veteran
Flag Counter