Oleh :
Ni Nyoman Sukerti
Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAKSI
The national
government of Indonesia is committed to legal gender equality by the 1945
Indoensia Constitution, article 27 (1), and the ratification of the Convention for
Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW) in 1984.
However, customary law still prevailing in many regions in Indoneia often
perpetuates deeply rooted discrimination based on gender until today. Examples
of such discrimination are to found in Minagkabau, Java, and Bali where
inheritance is regulated by gender biased customary law. Appropriate
development policies and education may bring about a legal culture and practice
that upholds legal gender equality.
Pendahuluan
Sebagaimana
diketahui bahwa masalah gender sudah sering diwacanakan dan dibahas oleh
pemerhati masalah gender dalam berbagai pertemuan-pertemuan,
diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya baik pada tingkat
lokal, maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat
inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak
mengetahui dan tidak mengerti apa sebenarnya
gender tersebut ?. Karena tidak mengerti apa itu gender
maka banyak orang beranggapan bahwa apabila orang mengatakan
gender itu adalah sebagai usaha dari kaum perempuan untuk menunut harta
warisan. Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat dilihat dari
beberapa aspek yaitu aspek hukum adat, pidana, pajak, perdata, tata
negara), aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris
yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan
gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata
gender.
Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis
sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau
konstruksi masyarakat1). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti
mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara
sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup
sehari-hari, dibentuk dan dirubah

1). Astiti, 2000; “Jender
Dalam Hukum Adat”, Makalah, h.
1.
oleh masyarakat
sendiri, oleh karena itu, sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu
kewaktu, dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang
lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing2).
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat
dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik,
sosial, ekonomi, budaya dan hukum ( baik hukum tertulis maupun tidak tertulis
yakni hukum hukum adat ). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan
dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan hubungan yang
sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila
dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Hubungan yang sub-ordinasi tersebut dialami oleh
kaum perempuan di seluruh dunia karena hubungan yang sub-ordinasi tidak
saja dialami oleh masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat
Indonesia, namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang
sudah maju seperti Amerika Serikat dan lain-lainnya. Keadaan yang
demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni
idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki dan ini terdapat di
seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan
dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi
dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum femins berjuang
untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang
kehidupan agar terhindar dari keadaan yang sub-ordinasi tersebut.

2). Mansour Fakih, 1996; Analisis
Gender & Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, h. 8.
Di
Indonesia sebenarnya perjuangan kaum feminis untuk menuntut kedudukan
yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah dimulai jauh
sebelum Indonesia merdeka yang mana dipelopori oleh R.A. Kartini. Setelah
Indonesia merdeka, perjuangan Kartini tersebut mendapat pengakuan yang
tersirat pada Pasal 27 (1) U U D, 45 yang berbunyi : segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Di samping itu
berbagai produk perundang-undangan yang telah dibentuk sebagai realisasi
tuntutan persamaan hak dan kedudukan perempuan dengan laki-laki, antara
lain U U No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan), U U No. 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan dan U U No. 13 Tahun 2003 (
Undang-Undang Ketenagakerjaan ). Di antara produk perundang-undangan tersebut
yang paling tegas mengatur tentang penghapusan segala bentuk diskrimisati
terhadap perempuan adalah U U No. 7 Thaun 1984, walaupun sudah diratifikasi
akan tetapi kedudukan sub-ordinasi terhadap perempuan dalam kenyataannya
masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang hukum adat,
khususnya dalam hukum kewarisan di mana Hazairin, sudah pernah
menggagas untuk membentuk hukum adat waris nasional yang bersifat bilateral,
demikian juga ada gagasan dalam seminar hukum adat di Yogyakarta tahun 1975
untuk membentuk hukum kekeluargaan nasional yang parental, akan tetapi sampai
sekarang gagasan tersebut belum terwujud. Oleh karena demikian di Indonesia
masih berlaku hukum adat waris yang beraneka ragam sesuai dengan sisitem
kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat di Indonesia.
Atas dasar
latar belakang tersebut yang menjadi permasalahan adalah apakah ada
isu gender dalam hukum adat ?
Isu Jender
Dalam hukum Adat (Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan
Dan Hukum Waris)
Hukum adat
sebagai hukumnya rakyat Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan
corak dan sifat yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat
Indonesia terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis
yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku.
Hukum adat
terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana,
tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Dalam
tulisan ini yang akan dibahas dalam kaitan isu gender adalah hukum
kekeluargaan, perkawinan dan waris.
Antara hukum
keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat
erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat
pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan
bahkan saling menentukan.
Di Indonesia
pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yakni :
1.
Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari garis laki-laki ( ayah ), sistem ini dianut di Tapanuli,
Lampung, Bali dan lalin-lain.
2.
Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sitem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari garis perempuan ( ibu ), sistem ini dianut di
Sumatra Barat ( daerah terpencil ).
3.
Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari garis laki-laki ( ayah ) dan perempuan ( ibu ), sistem ini
dianut Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya3).
Walaupun di
Indonesia terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem
kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap
berada di tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi
patriarki.
Sistem
kekerabatan matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di
Sumatra Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua. Sistem kekerabatan ini
menempatkan status kaum perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem
perkawinan semendonya, dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum
waris juga sebagai ahli waris. Pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat di
mana pada sistem kekeluargaan ini garis keturunan ditarik dari garis perempuan
( ibu ) akan tetapi kekuasaan bukan berada di tangan perempuan namun tetap
berada di tangan laki-laki, hal ini dapat dilihat bahwa yang menjadi mamak
kepala waris adalah dijabat oleh laki-laki yakni laki-laki tertua. Oleh
karenanya dalam sistem.
3). Sri Widoyatiwiratmo Soekito,
1989; Anak Dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES , Jakarta, h. 58-59.
kekerabatan matrilinial kekuasaan tetap
berada di tangan laki-laki maka jelas terdapat isu gender di dalamnya.
Dalam sistem
kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakat Tapanuli, Lampung,
Bali dan lain-lainnya sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan
yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut
nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan
juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat
luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan partilinial kaum
perempuan justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak
sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus
nama kelaurga karena dalam perkawinan jujur (pada umumnya) perempuan mengikuti
suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat adat.
Pada masyarakat
patrilinial di Bali dikenal lembaga “sentana rajeg” di mana anak perempuan
dirubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama
statusnya dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui bahwa tidak
setiap anak perempuan dapat dirubah statusnya karena ada
persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Contoh dalam sebuah
keluarga tidak dikaruniai anak laki-laki. Dan yang lebih patal adalah apabila
dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dapat dipakai alasan bagi
suami untuk melakukan poligami. Dalam kaitan dengan hal itu hukum adat memang
membolehkan adanya poligami sedang jumlah wanita yang boleh dikawin tidak
terbatas4) , sehingga untuk menghindari

4). Nani Soewondo, 1984; Kedudukan
Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia,
Jakarta, h. 47.
adanya poligami
maka ditempuh upaya merubah kedudukan anak perempuan melalui perkawinan
nyeburin.
Anak perempuan
yang dirubah statusnya dengan perkawinan nyeburin, status dan
kedudukannya sama dengan anak laki-laki tetapi terbatas hanya dalam
kaitan dengan harta kekayaan orang tuannya saja sedangkan dalam hal yang
lainnya yakni sebagai kepala keluarga, anggota masyarakat adat (ayah laki)
tetap dilakukan oleh laki-laki yang kawin nyeburin dan perempuan yang keceburin
melakukan kewajibannya sebagai perempuan pada umumnya.
Anak perempuan
yang berkedudukan sebagai sentana rajeg sudah tentu berbeda dengan kedudukan
anak perempuan pada umumnya, oleh karena demikian justru dengan adanya lembaga
sentana rajeg ini malahan memperlihatkan adanya diskriminasi terhadap anak
perempuan. Disamping itu dengan adanya proses perkawinan nyeburin
untuk memberikan status yang sama terhadap anak perempuan dengan
status anak laki-laki malah justru memperkuat dan mengajegkan sistem
kekerabatan patrilinial yang menempatkan laki-laki pada posisi dan kedudukan
yang sangat tinggi dan pada akhirnya tetap terjadi diskriminasi terhadap
perempuan.
Dalam
masyarakat Bali yang mengenal lembaga sentana rajeg, perlu dipertanyakan
apakah kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan yang
berkedudukan sebagai sentana rajeg ?. kenyataannya belum tentu bahwa kekuasaan
sepenuhnya berada di tangan anak perempuan tersebut. Hal ini seperti
telah diuraikan diatas di mana dalam sebuah keluarga yang mempunyai anak
perempuan yang berstatus sentana rajeg, di mana yang mewakili keluarga sebagai
anggota banjar, anggota desa adat, rapat-rapat keluarga, adalah
tetap laki-laki yang kawin dengan anak perempuan yang berstatus sentana rajeg
tersebut bukan perempuan yang berstatus sentana rajeg. Karena laki-laki yang
mewakili sebagai anggota keluarga dalam segala urusan keluarga maka
laki-lakilah yang ikut dalam segala pengambilan keputusan, maka
laki-lakilah kembali yang memegang peranan atau tetaplah kekuasaan berada di
tangan laki-laki. Jadi tetap terjadi sub-ordinasi terhadap perempuan dan
terdapat isu gender di dalamnya.
Dalam
masyarakat yang menganut sistem kekerabatan parental seperti yang dianut
oleh masyarakat Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya pada prinsipnya
menempatkan kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan adalah
sama dalam hal mewaris. Semua anak-anaknya baik laki-laki
maupun perempuan mempunyai kedudukan yang sama yaitu sama-sama sebagai
ahli waris. Apabila diperhatikan lebih jauh dalam pembagian harta warisan
justru terdapat sub-ordinasi dan dikriminasi terhadap anak perempuan. Hal ini
dapat dilihat dari besarnya bagian yang diterima oleh anak laki-laki dan
perempuan berbanding 2 : 1 yang dalam istilah adat dikenal dengan isilah
“sepikul segendong”. Kalau dilihat dalam hal pengambilan keputusan dalam
keluarga dan masyarakat tetap berada di tangan laki-laki oleh karena demikian
idiologi patriarki tetap nampak pada masyarakat yang parental. Oleh karena
demikian dalam masyarakat yang parental tetap terdapat bias gender.
Isu Gender Dalam Perundang-Undangan
Perjuangan
emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum Indonesia
merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian
mendapat pengakuan setelah Indoesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam
Pasal 27 U U D, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum sepenuhnya
terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan.
Hal ini jelas
dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung
isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi
terhadap perempuan. Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah
undang-undang tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami
di satu sisi akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami untuk
berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin.
Dalam membahas
masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar
acuan adalah Ketentuan Pasal 1 U U No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai
berikut : Untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi
terhadap wanita” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang
dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak
asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status
perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Mencermati
ketentuan Pasal 1 tersebut diatas maka istilah diskriminasi terhadap
perempuan atau wanita adalah setiap pembedaan, pengucilan atau
pembatasan atas dasar jenis kelamin maka terdapat peraturan perundang-undangan
yang bias jender seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang
Perkawinan, dan lain-lainnya.
Salah satu
produk peraturan perundang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan adalah
U U No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini sudah berlaku kurang
lebih 30 tahun dan banyak mengandung kelemahan karena bersifat
diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan.
Undang-Undang
ini terdiri dari 67 pasal, dari 67 pasal ada beberapa pasal yang secara
nyata bias gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Adapun
pasal-pasal dimaksud antara lain :
1.
Pasal 3 (2), Pasal 4, Pasal 5, tentang ketentuan poligami.
2.
Pasal 7 (1) mengenai ketentuan umur 16 tahun bagi perempuan
dan 19 tahun bagi
laki-laki.
3.
Pasal 11 mengenai ketentuan waktu tunggu bagi wanita yaitu janda mati 120 hari
dan janda cerai 90 hari.
4.
Pasal 31 (3) mengenai ketenuan suami kepala rumah tangga dan istri ibu rumah
tangga.
5.
Pasal 34 (1,2) mengenai ketentuan yang memposisikan istri sangat lemah dan
sub-ordinasi.
6.
Pasal 41 (b.c) mengenai ketentuan istri/wanita diposisikan lemah dan
sub-ordinasi.
7.
Pasal 44 (1) mengenai ketentuan penyangkalan anak.
Mencermati
ketentuan pasal-pasal tersebut diatas adalah jelas telah terjadi ketidak adilan
hukum dan ketidak adilan gender terhadap perempuan karena perempuan
selalu diposisikan pada posisi yang lemah dan sub-ordinasi sehingga tetap
terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Di samping itu
undang-undang yang bias gender adalah undang-undang perpajakan di mana
salah satu pasalnya menyebutkan bahwa perempuan yang telah bersuami tidak
sebagai wajib pajak. Akan tetapi kalau diperhatikan kenyataannya banyak
perempuan dalam hal ini istri yang berpenghasilan lebih banyak dari
pada suami dan ini juga akibat adanya pengaruh budaya patriarki.
Oleh karena
demikian dalam hukum pajakpun telah terjadi ketidakadilan hukum dan ketidak
adilan gender di dalamnya.
Dalam kaitan
itu Yanti Muchtar menguraikan bahwa telah terjadi bias gender dan hukum dalam
pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) oleh karena dalam penggunaan
alat-alat keluarga berencana ( KB ) lebih banyak memakai organ tubuh perempuan
sebagai obyek bila dibandingakan dengan organ tubuh laki-laki5).
Hal
tersebut disebabkan adanya pengaruh budaya patriarki yang
mempengaruhi segala aktifitas laki-laki baik sebagai individu maupun
sebagai kelompok masyarakat termasuk dalam aktifitasnya membuat aturan-aturan
hukum. Oleh karena yang membuat peraturan hukum itu adalah masyarakat (
laki-laki ) maka sering produk yang dihasilkan tidak menunjukan kesetaraan dan
keadilan gender.
5).Yati Muchtar, 2001; “Gerakan Perempuan Indonesia Dan
Politik Gender Orde Baru”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan,
No. 14, , h.12-13.
Simpulan dan
Saran
Berdasarkan
paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa mencerminkan bias gender dalam
hubungannya terutama terkait dengan sistem kekerabatan dan perkawinan serta
pewarisan yang masih berlaku dewasa ini. Ketiga hal tersebut menunjukan adanya
perbedaan di satu tempat dengan di tempat lainnya, tergantung dari sistem
kekerabatan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Disamping adanya
perbedaan, terdapat pula adanya persamaan terutama yang menyangkut kekuasaan
dalam pengambilan keputusan, ini nampak sama yaitu tetap berada di tangan
laki-laki. Hal itu dikarenakan adanya pengaruh budaya partiarki yang bersifat
universal yang bersifat turun temurun.
Secara umum
kedudukan perempuann dalam hukum adat masih mencerminkan sub-ordinasi dan bias
gender terhadap perempuan. Peraturan perundang-undangan sebagai hukum negara
juga mencerminkan ketidak adilan hukum dan ketidak adilan gender seperti
Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perpajakan.
Keadaan yang
sub-ordinasi terhadap perempuan dapat berubah seiring dengan kemajuan jaman
dan majunya tingkat pendidikan suatu masyarakat. disamping perubahan
itu dapat juga terjadi melalui proses kesadaran masyarakat yang
berorientasi pada kesetaraan dan keadilan jender, melalui pendidikan,
peraturan perundang-undangan yang adil hukum dan gender. Sehingga kesetaraan
dan keadilan hukum dan keadilan gender dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, T.I.P.,
2000; “Jender Dalam Hukum Adat” Makalah.
Fakih, Mansour,
1996; Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Muchtar, Yati,
2001; “Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru”, Jurnal
Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14.
Soewondo, Nani,
1984; Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Soekito, Sri
Widoyatiwiratmo, 1989; Anak Dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES,
Jakarta.
Undang-Undang Dasar, 1945; Apollo, Surabaya.
Undan-Undang No. 1 Tahun 1974 dan P P No. 9 Tahun 1975; Karya Anda,
Surabaya.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Permpuan, Kantor Mentri
Negara Urusan Peranan Wanita, Jakarta, 1993.
0 komentar:
Posting Komentar