Posts Subscribe to InFoGauLComments

Online bookmark Bookmark

CP : 081515325009 E-mail : pkpmiiunisla@gmail.com Dengan kepala tegak menghadap sang saka merah putih Kami tujukan hati kami, lurus, kepada Pancasila Tatapan mata kami tak ingin berpaling dari gagahnya sang Garuda Tegas menolak apa pun yang berani menginjak Bhinneka Tunggal Ika Salam Pergerakan.....

Emansipasi Wanita



Emansipasi Perempuan : Antara Syariat Islam dan Feodalisme Kultural Apr 23, '07 12:35 AM
for everyone
assalaamu’alaikum wr. wb.

Bicara soal Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, tentu dikaitkan dengan emansipasi perempuan. Bicara soal emansipasi perempuan, tentu perlu menengok ke belakang, yaitu ke masa-masa ketika kaum perempuan termarjinalkan dalam segala segi kehidupan ; kesempatan beroleh pendidikan yang lebih kecil, kesempatan berkarir yang nyaris nol, dan kewajiban untuk patuh tanpa syarat kepada suami dan orang tuanya. Bicara soal sempitnya kehidupan kaum Hawa, sudah pasti ada hubungannya dengan feodalisme. Lalu mengapa ada pihak yang selalu menghubung-hubungkan dengan syariat Islam?

Dengan nada yang ‘cukup ketus’ namun implisit, Al-Qur’an mencela orang-orang yang mengeluh karena dikaruniai anak-anak perempuan. Alasannya cukup jelas, yaitu karena baik anak-anak perempuan atau laki-laki, semuanya adalah pemberian Allah. Kalau yang memberi adalah Allah, pantaskah mencela pemberian itu?

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.
(Q.S. Asy-Syuura [42] : 49)

Lantas darimana datangnya ketidakadilan terhadap kaum perempuan?

Ketika Rasulullah saw. diutus, orang-orang Arab masih menjalankan praktik budaya ‘ajaib’, yaitu merasa mendapat aib ketika mendapatkan anak perempuan. Dikatakan ‘ajaib’, karena budaya semacam ini tidak memberikan solusi apa pun terhadap permasalahan manusia. Kalau semua orang Arab secara konsisten menganggap perempuan sebagai aib, dan kemudian semua perempuan dibinasakan, lantas apa yang akan tersisa dari peradaban mereka?

Ketika itu, perempuan dianggap sebagai makhluk lemah yang tidak berdaya dan tidak bisa membela dirinya. Tubuhnya adalah milik orang lain, pikirannya dianggap dangkal dan tidak mungkin berkembang. Perempuan adalah properti yang dapat diperlakukan seenaknya.

Salah satu poin penting dari dakwah Rasulullah saw. adalah mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Revolusi yang dipelopori oleh beliau meliputi :


Larangan total membunuh anak-anak (baik laki-laki maupun perempuan) untuk alasan apa pun, termasuk dalam kondisi perang sekalipun.
Larangan menyakiti istri, kecuali dengan pukulan yang tidak mencederai dan tidak di daerah wajah. Itu pun jika sudah terjadi pembangkangan yang amat nyata kepada suami.
Kewajiban menutup aurat sekaligus larangan untuk melihat aurat demi menjaga kehormatan masing-masing.
Menegaskan kewajiban suami untuk menafkahi istrinya dan menjamin kecukupan hidupnya.
Memberi kesempatan yang sama bagi kaum perempuan untuk memperoleh ilmu dan pendidikan.
Allah SWT sendiri nampaknya memang sangat sengaja mengatur jalan hidup Rasulullah saw. sehingga berlawanan dengan gaya hidup ‘anti-perempuan’ kaum jahiliyyah. Anak-anak lelakinya tidak bertahan hidup hingga usia remaja, namun yang hidup hingga dewasa justru anak-anak perempuannya. Kemesraan hubungan ayah-anak antar Rasulullah saw. dan Fatimah ra. sudah begitu dikenal. Ketika menghadapi sakaratul maut beliau tidak ditemani oleh para ajudan atau panglima andalannya, melainkan oleh istrinya, yaitu ‘Aisyah ra. Bahkan ketika menggigil ketakutan setelah menerima wahyu pertama, beliau diselimuti oleh istri pertamanya, yaitu Khadijah ra. Dengan mudah kita dapat melihat bahwa kisah hidup beliau diwarnai oleh para perempuan hebat. Jalan hidup Rasulullah saw. seolah mengejek habis-habisan perilaku kaum jahiliyyah yang menganggap perempuan sebagai manusia kelas dua.

Kaum perempuan (yang sudah menjadi Muslimah) juga terbukti bukan kaum yang lemah. Jika membicarakan mengenai syuhada yang pertama, tentu tidak boleh melupakan keperkasaan keluarga Yasir, terutama ibunya ‘Ammar ra. Tidak rela aqidah-nya tergadai, perempuan mulia itu mati ditusuk tombak yang menembus tubuhnya dari bawah hingga ke atas. Kontras sekali dengan tipikal film-film Hollywood yang menggambarkan kaum perempuan sebagai makhluk yang manja, lemah, tidak berpendirian, mudah dibujuk, perlu diselamatkan, bahkan menyusahkan.

Kita juga tidak lupa akan para Muslimah yang datang kepada Rasulullah saw. dengan sebuah ‘gugatan’ : jika para lelaki bisa mengejar surga dengan jihad, lantas bagaimana dengan kaum perempuan? Sebuah semangat yang membuat hati siapa pun bergetar. Mereka baru merasa lega setelah Rasulullah saw. menjelaskan bahwa bakti kaum perempuan kepada suami dan keluarganya adalah sama halnya dengan jihad qital bagi kaum lelaki.

Tempo hari, sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia mengulas kembali dua buah film klasik tentang R.A. Kartini dan Cut Nyak Dhien. Sebuah perbandingan yang amat menarik. Kartini yang menderita karena pola pikir feodal di sekelilingnya, diperbandingkan dengan Cut Nyak Dhien yang baru saja ditinggal wafat oleh suaminya, kemudian segera mengangkat rencong untuk menggantikan Teuku Umar dalam melawan penjajah Belanda.

Cut Nyak Dhien nampaknya tidak menemui kesulitan untuk menggantikan Teuku Umar, karena beliau hidup di lingkungan yang menjunjung tinggi syariat Islam. Beliau berjuang bersama orang-orang yang tidak meremehkan kaum perempuan, karena ajaran Islam melarang mereka untuk berbuat demikian. Di sisi lain, R.A. Kartini hidup di jaman yang lebih maju, di lingkungan yang lebih terpandang, namun untuk mendapat pendidikan pun nampaknya sudah susah payah. Sementara R.A. Kartini bahkan bersusah payah mendapatkan persamaan derajat dengan kaum lelaki, Cut Nyak Dhien diangkat sebagai pemimpin secara sukarela oleh umat Islam.

Bukankah sudah jelas perbedaannya antara Islam dan feodalisme?

wassalaamu’alaikum wr. wb.

Prev: Keajaiban Berpasangan
Next: Terorisme Sistematis Dalam Dunia Pendidikan


Menyikapi Feminisme dan Isu Gender
Oleh : Dr. Syamsuddin Arif

Di dunia Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan Umat.

Pandangan yang sama dinyatakan juga Hasan at-Turabi dari Sudan. Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik, seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan memilih, berdagang, menghadiri shalat berjama‘ah, ikut ke medan perang dan lain-lain.
Ulama lain yang berpandangan kurang lebih sama adalah Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Qutb, Syekh Yusuf al-Qaradhawi dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu para tokoh ini mendasari pendapatnya pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.

Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekular, yaitu Qasim Amin. Intelektual satu ini disebut-sebut sebagai ‘bapak feminis Arab’. Dalam bukunya yang kontroversial, Tahriru l-Mar’ah (Kairo, 1899) dan al-Mar’ah al-Jadidah (Kairo, 1900), ia menyeru emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya.

Gagasan-gagasan Qasim Amin telah banyak disanggah dan ditolak. Syekh Mahmud Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya, Tahriru l-Mar’ah fi ‘Ashri r-Risalah (Kuwait, 1991), membuktikan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam ternyata sangat emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur Islam klasik, beliau mendapati bahwa ternyata kedatangan Islam telah menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 Masehi.

Agama samawi terakhir ini datang memerdekakan perempuan dari dominasi kultur Jahiliyah yang dikenal sangat zalim dan biadab itu. Abu Syuqqah juga menemukan bahwa pasca datangnya Islam kaum wanita mulai diakui hak-haknya sebagai layaknya manusia dan warganegara (bukan sebagai komoditi), terjun dan berperan aktif dalam berbagai sektor, termasuk politik dan militer.

Kesimpulan senada juga dicapai oleh para peniliti Barat (Lihat misalnya: Dorothy van Ess, Fatima and Her Sisters (New York, 1961); Magali Morsy, Les Femmes du Prophete (Paris, 1989); D.A. Spellberg, Politics, Gender, and the Islamic Past: the Legacy of ‘A’isha bint Abi Bakr (New York, 1994).

Dengan kata lain, gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Islam datang mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah yang berlaku pada masa itu, seperti mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan dilahirkan, mengawini perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati, sampai pernah ada kepala suku yang mempunyai tujuh puluh hingga sembilan puluh istri. Nah, semua ini dikecam dan dihapuskan untuk selama-lamanya.

Sebagaimana dimaklumi, masyarakat Arab zaman Jahiliyyah mempraktekkan bermacam-macam pola perkawinan. Ada yang disebut nikah ad-dayzan, dimana anak sulung laki-laki dibolehkan menikahi janda (istri) mendiang ayahnya.

Caranya sederhana, cukup dengan melemparkan sehelai kain kepada wanita itu, maka saat itu juga dia sudah mewarisi ibu tirinya itu sebagai isteri. Kadangkala dua orang bapak saling menyerahkan putrinya masing-masing kepada satu sama lain untuk dinikahinya.

Praktek ini mereka namakan nikah as-syighār. Ada juga yang saling bertukar isteri hanya dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu membayar mahar, yaitu nikah al-badal.

Selain itu ada pula yang dinamakan zawaj al istibdhā‘, dimana seorang suami boleh dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula, semata-mata karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang mempunyai keistimewaan tertentu.

Bentuk-bentuk pernikahan semacam ini jelas sangat merugikan dan menindas perempuan. (Lihat: W.R. Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia (London, 1907).

Gerakan feminis radikal rupanya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Kita mengenal nama-nama Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi dari Mesir (penulis buku The Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan perlindungan perempuan The International Network for the Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu, Zainah Anwar dari Sisters In Islam Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia dan masih banyak lagi.

Sedikitnya ada tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini. Pertama, imbas dari apa yang telah terjadi di negara-negara Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan, terutama nasib kaum wanitanya. Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam. Semua ini tentu sangat kita sesalkan.

Kalau tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang untuk kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender, maka kaum feminis radikal malah mengajak orang untuk mengabaikannya.

Bagi para ulama, ketimpangan dan penindasan yang masih sering terjadi di kalangan Umat Islam lebih disebabkan oleh praktek dan tradisi masyarakat setempat, ketimbang oleh ajaran Islam. Namun bagi feminis radikal, yang salah dan harus dikoreksi itu adalah ajaran Islam itu sendiri, yang dikatakan mencerminkan budaya patriarkis. Di sinilah nampak kedangkalan pemahaman mereka.

Seperti kita ketahui, tidak satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menampakkan misogyny atau bias gender. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sejak di surga hingga turun ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (humā ataupun kumā).

Disamping itu, bukan pasangan Adam yang disalahkan, melainkan syetan yang dikatakan menggoda keduanya hingga memakan buah dari pohon keabadian.

Di muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan diposisikan setara. Derajat mereka ditentukan bukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh iman dan amal shaleh masing-masing. Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan seperti pakaian bagi perempuan, dan begitu pula sebaliknya.

Namun dalam kehidupan rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran tersendiri dan tanggung-jawab berbeda, seperti lazimnya hubungan antar manusia.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah…Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Demikian firman Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab: 35).

Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan, bahwa sesungguhnya perempuan itu saudara laki-laki (an-nisā’ syaqā’iqu r-rijāl) (HR Abu Dāwud dan an-Nasā’i).

Oleh karena itu, meskipun di kalangan Muslim pada kenyataannya masih selalu dijumpai diskriminasi terhadap perempuan, namun yang mesti dikoreksi adalah masyarakatnya, bukan agamanya. Toh, di tanah kelahirannya sendiri, gerakan feminis dan kesetaraan gender masih belum bisa menghapuskan sama sekali berbagai bentuk pelecehan, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan.

Berdasarkan hasil sebuah survei, kendati undang-undang persamaan upah (Equal Pay Act 1970) di Inggris sudah berusia 30 tahun lebih, wanita yang bekerja sepenuh waktu di negeri itu digaji 18% lebih rendah dari pekerja laki-laki.

Sementara mereka yang bekerja separuh waktu menerima upah 39% lebih rendah berbanding laki-laki. Begitu juga di Amerika Serikat, pendapatan kaum wanita rata-rata 25% lebih rendah dibanding laki-laki. Penelitian lain menemukan bahwa dalam tiap 10 detik di Inggris terjadi tindak kekerasan terhadap wanita, berupa pemukulan, pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Ini belum termasuk tindak pelecehan seksual dan sebagainya.

Dr. Lois Lamya al-Faruqi mungkin benar, gerakan feminis di lingkungan Muslim hanya akan berhasil bila tetap mengacu pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan sekedar menjajakan gagasan-gagasan asing yang diimpor dari luar, yang belum tentu cocok untuk diterapkan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Disamping itu, gerakan feminis di kalangan Muslim juga seyogyanya diletakkan dalam bingkai pembangunan umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanita saja.

Terakhir, pejuang gender juga perlu bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan gagasan dan agenda mereka, agar tidak ‘menabrak rambu-rambu’ yang ada dan tidak ‘menuai badai’.

Sebab, seperti kata Imam al-Ghazali, segala sesuatu jika sudah melewati batas, justru memantulkan kebalikannya (kullu syay’in idzā bālagha haddahu in‘kasa ‘alā dhiddihi).

*) Penulis sedang melanjutkan program Phd keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman. Tulisan ini pernah disampaikan dalam acara Kajian Wanita Online (KWOL) Bidang Kewanitaan PIPPKS Jerman, Rabu, 26 Oktober

Rabu, 03 Mei 2006
Emansipasi Perempuan Indonesia
“..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf….” (Al-Baqarah 228)


Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. (Surat Kartini Kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)

Disaat deru zaman terus melaju, dan setiap pergerakan peradaban selalu bersiklus dalam sebuah lingkaran besar yang serupa. Kejadian-kejadian yang berulang, bersisa hanya meninggalkan kesan tapi tidak pernah rasa.

Emansipasi, diperjuangkan mengatasnamakan ketidakadilan dan perlakuan semena-mena terhadap perempuan. Tapi membagi dan memisahkan emansipasi dalam sebuah obyek yang berdiri sendiri justru menimbulkan ketidakadilan yang justru akan semakin mempertajam kesenjangan keadilan yang diperjuangkan emansipasi.

Pembelaan terhadap kaum wanita yang diajukan secara parsial, dalam artian penanggulangannya sebagai satu obyek yang terpisah, hanya akan menimbulkan kesenjangan-kesenjangan lain, yang justru akan terus membenamkan pembelaan terhadap perempuan. Mengapa begitu?

Ketidakadilan selalu berada diantara dua wilayah, perut dan bawah perut. Antara lapar dan nafsu, yang selalu dipicu oleh dua hal, yakni kebodohan dan kemiskinan. Dua hal yang saling bersimbiosis dan tidak terpisahkan satu sama lainnya. Kemiskinan dan kebodohan saling mendukung satu sama lain untuk mendominasi terjadinya ketidakadilan.

Kebodohan menyebabkan ketidakadilan dimana adanya pembodohan, dan manipulasi pragmatis opurtunis pada satu pihak yang kelak akan menimbulkan ketidakadilan. Kemiskinan menyebabkan ketidakadilan dalam kebebasan berkehendak untuk membuat sebuah keputusan baik mengenai dirinya yang bersifat personal ataupun dalam skala publik.

Emansipasi adalah salah satu bentuk upaya memproporsikan keadilan dengan pemfokusan pada obyek tertentu, yakni wanita. Akan tetapi selama upaya-upaya ini hanya dan bahkan terlalu terfokus pada obyek tertentu, maka hal ini yang kelak akan menimbulkan kesenjangan baru yang kelak akan menciptakan ketidakadilan baru pula.

Emansipasi wanita adalah langkah positif selama dalam koridor yang seharusnya dan tidak berlebihan seperti usaha kartini membela kaum perempuan yang kelak menjadi kaum wanita. Sedangkan upaya-upaya yang berusaha melewati apa yang tidak harus dalam koridornya hanya akan menimbulkan permasalahan serupa yang tidak akan lebih besar manfaatnya dari ketidakadilan itu sendiri.

Emansipasi perempuan yang terus digalakkan tanpa menyadari porsi ketidakadilan yang juga bisa diperbuat individu perempuan tersebut adalah hal-hal yang justru lebih menjadikan emansipasi kehilangan maknanya, dan hanya menjadi tidak lebih dari sebuah simbol.

Emansipasi perempuan Indonesia terbukti belum bisa mereduksi tingginya angka kelaparan, anak-anak putus sekolah, rendahnya kualitas SDM, dan lain sebagainya. Dan ini pula yang menyebabkan emansipasi selalu tidak bisa diperjuangkan parsial seorang diri.

Segala bentuk ketidakadilan harus diproporsikan sejajar dengan ketidakadilan-ketidakadilan yang lain tanpa memandang subyek ataupun obyeknya. Sehingga semua pihak memiliki andil untuk menentukan sejauh mana emansipasi ini berjalan tanpa harus keluar dari koridornya, memposisikan perempuan sebagai cikal bakal pendidik utama SDM Indonesia, Ibu.

Abdullah Arifianto



Emansipasi Perempuan

Perempuan adalah mayoritas dari umat manusia, namun di mana-mana mereka adalah korban diskriminasi sistematis dan penindasan. Di berbagai bagian di dunia, perempuan hampir seluruhnya terkungkung di dalam rumah, dirampas hak demokratis dan ekonomi dasarnya, dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa upah dan menanggung risiko menjadi korban penindasan dan kekerasan dari lelaki.
Di negara-negara lain, perempuan menanggung dua beban: yaitu sebagai buruh dan sebagai ibu rumah tangga, kehidupan yang penuh penderitaan. Buruh perempuan seringkali dibayar lebih sedikit daripada buruh laki-laki. Di pabrik-pabrik di Dunia Ketiga, buruh perempuan dianiaya secara rutin, tidak diperbolehkan mengambil cuti hamil dan mendapat perlakuan yang meremehkan.
Mayoritas perempuan hanya akan bebas dari penindasan dan diskriminasi apabila landasan ekonomi dari keunggulan laki-laki dihancurkan. Akar dari penindasan ini terdapat dalam masyarakat kelas dahulu kala dan hingga saat ini, diteruskan dan diperkuat oleh kapitalisme global.
Hanya masyarakat sosialislah yang berlandaskan kebutuhan manusia dan bukan keuntungan pribadi, yang dapat mengalihkan beban pekerjaan rumah tangga yang pada saat ini dilakukan mayoritas oleh perempuan di rumah – agar menjadi beban masyarakat bersama.
Sebuah masyarakat sosialis akan merencanakan tugas-tugas seperti memelihara anak, menyediakan makanan untuk keluarga dan mencuci pakaian secara kolektif, sehingga tugas-tugas ini tidak usah lagi dilakukan secara terpisah oleh jutaan unit-unit keluarga yang terkucil satu dari yang lainnya. Dengan menyediakan fasilitas untuk makan, mencuci pakaian dan memelihara anak secara kolektif, dengan dana yang cukup dan dijalankan secara demokratis - tugas-tugas tersebut dapat dilakukan pada standar yang mungkin berkali lipat lebih baik daripada yang terdapat dalam berbagai keluarga saat ini. Dengan demikian, terdapat pilihan yang riil, standar hidup yang lebih tinggi dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang dapat menggantikan kemiskinan, keterkucilan dan penindasan yang dialami oleh banyak perempuan kelas buruh saat ini.
REVOLUTION berjuang untuk:
mencegah adanya penindasan terhadap perempuan dalam Revolution dan dalam aliansi atau fron bersatu yang kami bentuk dengan kelompok-kelompok lainnya.
Melawan perlakuan perempuan sebagai benda di media.
Hak setara bagi perempuan – hak memilih, hak bekerja, hak untuk dididik, hak tak terbatas untuik berpartisipasi dalam semua kegiatan publik dan sosial.
Upah yang setara untuk pekerjaan yang setara
Layanan pemeliharaan anak yang gratis tersedia selama 24 jam yang didanai melalui pajak terhadap orang kaya.
Kontrasepsi yang tersedia kapanpun bila diperlukan.
Aborsi yang tersedia kapanpun bila diperlukan.
Hak perceraian yang cepat dan sederhana dengan pembagian sumber daya/kekayaan rumah tangga secara adil apabila diminta oleh salah seorang (suami atau istri).
Adanya gerakan perempuan kelas buruh yang berjuang dengan laki-laki melawan diskriminasi berdasarkan jender dan melawan penindasan terhadap perempuan.
Hak perempuan bermusyawarah dalam organisasi-organisasi kelas buruh.
Hak perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan tunjangan agar dapat meninggalkan hubungan di mana terdapat kekerasan rumah tangga.
Aksi-aksi lokal untuk membela korban kekerasan rumah tangga dan untuk menanggapinya secara serius, dibandingkan dengan cara penanganan saat ini oleh polisi dan hukum.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Arsip Blog

Traffic Info

PK PMII UNISLA Veteran
Flag Counter